Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Potensi Pragmatisme Brasil Bersama Carlo Ancelotti

ilustrasi sepak bola (unsplash.com/baraida)

Jakarta, IDN Times - Brasil rupanya tidak main-main dalam rangka meningkatkan prestasi Timnasnya. Terbaru, Seleccao resmi mendatangkan Carlo Ancelotti sebagai pelatih menggantikan Dorival Junior.

Dilansir situs resmi Federasi Sepak Bola Brasil (CBF), Ancelotti akan menyandang status sebagai pelatih Brasil per 26 Mei 2025. Laga Kualifikasi Piala Dunia 2026 melawan Ekuador pada 6 Juni 2025 nanti bakal jadi debut Ancelotti di Brasil.

Bersamaan dengan kedatangan Ancelotti, satu kemungkinan muncul ke permukaan. Akankah Brasil jadi tim yang pragmatis dan menghilangkan ciri khas Jogo Bonito?

1. Ancelotti erat dengan skema pragmatis

Sebagai orang Italia, Ancelotti sering menerapkan skema pragmatis di setiap tim yang diasuhnya. Sejak menangani Juventus, AC Milan, Chelsea, Real Madrid, Bayern Munich, hingga Paris Saint-Germain (PSG), hal itu sudah dia pertontonkan.

Pragmatisme inilah yang tak jarang membuat Ancelotti dianggap miskin taktik. Dia hanya mengedepankan kuatnya pertahanan, kemudian mengandalkan serangan balik cepat. Namun, hasil dari filosofinya nyata.

Di setiap kompetisi yang disinggahi, mulai dari Premier League, Serie A, Ligue 1, Bundesliga, dan LaLiga, Ancelotti selalu jadi juara minimal sekali. Hal ini jadi bukti kualitas eks pemain AS Roma itu.

2. Brasil sudah erat dengan pragmatisme

Bicara Jogo Bonito, hal itu sejatinya sudah hilang dari Brasil sejak 2010 silam. Ketika mereka ditangani Carlos Dunga di Piala Dunia 2010, Brasil sudah menunjukkan perubahan filosofinya dan lebih pragmatis.

Tepat setelah generasi Ronaldinho dan Ronaldo Nazario tuntas, para pemain Brasil yang sudah banyak terpapar gaya Eropa mulai lebih pragmatis. Mereka tidak lagi mengedepankan permainan indah, karena paling penting adalah hasil.

Hal itu didukung juga oleh talenta-talenta Brasil yang belakangan memang tidak terlalu menonjol. Mereka tidak lagi memiliki pemain artistik Kaka, Ronaldinho, Ronaldo Nazario, hingga Rivaldo.

Memang ada Neymar, namun sendirian memikul beban sebagai harapan Brasil. Bahkan, banyak para pemain yang ada di skuad Brasil sekarang urung mentas bersama tim besar.

3. Dua hal yang saling bertemu

Tak heran, dengan kondisi sekarang, Brasil tidak lagi soal permainan indah. Mereka sudah menjelma laiknya tim Eropa, lebih pragmatis dan coba memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk menang.

Seiring pragmatisme yang Brasil usung, hadirlah Ancelotti sebagai pelatih di tim mereka. Tentu, ini bak kelindan takdir, tetapi bukti di atas lapangan tetap harus ada. Apakah pragmatisme ini bisa membawa pada kesuksesan?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us