Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Sejauh Mana Implementasi Data Analitik Memengaruhi Sepak Bola?

ilustrasi latihan sepak bola (unsplash.com/@jannesglas)
ilustrasi latihan sepak bola (unsplash.com/@jannesglas)
Intinya sih...
  • Revolusi data dalam sepak bola dimulai dari catatan sederhana hingga penggunaan Big Data dan algoritma Statistik untuk analisis yang lebih mendalam.
  • Data analis mengalami kesulitan dalam mengintegrasikan data dengan sepak bola karena keterbatasan data pada masa lalu dan resistensi budaya di klub-klub profesional.
  • Data mampu mengubah kebijakan klub, seperti Liverpool yang menggunakan analisis data untuk merekrut pemain berdasarkan atribut yang undervalued di pasar saat itu.

Dalam 1 dekade terakhir, percakapan tentang data dan sepak bola mengalami kenaikan drastis. Dari sekadar laporan pertandingan berbasis narasi, kini klub-klub memburu angka demi angka untuk mengevaluasi dan merekrut pemain. Namun, seiring perkembangan pesat ini, apakah benar data telah mengubah wajah permainan?

Jawabannya tidak sesederhana ya atau tidak. Di satu sisi, kita menyaksikan lonjakan adopsi teknologi canggih dan berdirinya departemen data di banyak klub profesional. Di sisi lain, masih terdapat ruang keraguan, terutama di tengah keterbatasan sumber daya dan tantangan komunikasi antardivisi dalam klub.

1. Revolusi data dalam sepak bola terjadi saat munculnya big data dan algoritma

Statistik dalam sepak bola bermula dari catatan sederhana. Pada masa-masa awal, informasi yang tersedia sebatas skor akhir, pencetak gol, dan nama klub yang menang atau kalah. Catatan ini biasanya disusun secara manual dalam laporan koran atau buletin pertandingan lokal.

Seiring waktu, jenis data yang dikumpulkan makin beragam. Dari hanya jumlah gol dan kartu, statistik mulai mencakup jumlah operan sukses, intersepsi, hingga jumlah tembakan ke gawang. Namun, analisis ini tetap bersifat terbatas hingga kemunculan era digital dan sensor pintar seperti GPS serta kamera definisi tinggi.

Revolusi besar terjadi ketika teknologi big data dan algoritma pembelajaran mesin mulai digunakan dalam skala luas. Klub-klub profesional kini bisa melacak pergerakan tiap pemain, menghitung beban kerja fisik secara presisi, dan bahkan memprediksi risiko cedera sebelum terjadi. Tak sekadar mengubah cara pelatih menyusun strategi, analitik data juga membuka jalan baru dalam penilaian performa dan pengambilan keputusan taktis.

2. Para data analis sempat kesulitan dalam mengintegrasikan data dengan sepak bola

Meskipun kini analitik menjadi bagian penting dalam sepak bola modern, jalan menuju penerimaan penuh tidaklah mulus. Salah satu hambatan utama ialah keterbatasan data pada masa lalu, termasuk definisi ambigu mengenai aksi-aksi permainan seperti key pass (umpan kunci) atau aerial challenge (duel udara). Perbedaan definisi ini menyulitkan konsistensi data lintas penyedia maupun periode waktu yang berbeda.

Resistensi budaya pun turut memperlambat penerapan data secara menyeluruh. Ian Graham, mantan direktur riset olahraga Liverpool, mengungkapkan pada masa awal kariernya, banyak pelatih dan manajer memandang sinis data. Hal serupa juga dialami Sarah Rudd, salah satu data analis awal di Arsenal, tentang bagaimana menjelaskan hasil analisis dalam bahasa sepak bola agar diterima staf pelatih.

Terlebih lagi, staf data di klub-klub profesional di English Premier League (EPL) pun harus palugada. Satu orang kerap harus merangkap peran sebagai data engineer, analis, sekaligus ilmuwan data. Studi Traits Insights yang dihimpun The Athletic pada 2024 mencatat, rata-rata jumlah staf analis di klub Premier League papan bawah hanya separuh dari klub Big Six, yang memiliki sekitar 14 staf analitik. Ketimpangan ini membuat implementasi terbaik sering kali hanya mungkin dilakukan klub-klub besar dengan sumber daya melimpah.

3. Data mampu mengubah arah kebijakan klub, salah satunya Liverpool

Liverpool menjadi contoh nyata bagaimana data dapat menjadi landasan keputusan strategis. Ian Graham mengisahkan momen ketika meyakinkan Pelatih Juergen Klopp untuk merekrut Sadio Mane dari Southampton. Saat itu, Klopp sebenarnya sangat menginginkan Mario Goetze yang masih bermain di Bayern Munich. Namun, berkat analisis data yang disajikan Graham, fokus transfer akhirnya beralih kepada Mane.

The Reds melihat Mane menawarkan atribut-atribut yang undervalued di pasar saat itu, seperti agresivitas dalam pressing, kemampuan eksplosif di ruang sempit, dan konsistensi dalam menciptakan peluang yang tidak selalu tercermin dalam angka-angka konvensional. Pendekatan ini mencerminkan filosofi data Liverpool yang lebih menekankan efisiensi dan kecocokan taktik, bukan popularitas nama besar atau ekspektasi media.

Model seperti ini juga diterapkan Brentford dan Brighton & Hove Albion. Dengan dukungan perusahaan analitik seperti Smartodds dan Starlizard, mereka mampu menemukan pemain potensial seperti Kaoru Mitoma dan Moises Caicedo sebelum menjadi bintang. Pendekatan ini bukan hanya tentang angka, tetapi juga tentang strategi pencarian nilai dalam pasar pemain yang kompetitif.

Fungsi data meluas ke ranah performa fisik dan taktik. Arsenal, melalui Sarah Rudd dan timnya, pernah menghadapi kesulitan ketika mencoba mengukur seberapa efektif pergantian sisi permainan. Setelah diskusi dengan staf pelatih, definisi metrik pun diubah untuk lebih mencerminkan intensi taktik yang diinginkan, yaitu menciptakan keunggulan jumlah pemain di sisi lapangan tertentu. Perubahan kecil dalam definisi ini menunjukkan, data yang kuat pun membutuhkan dialog yang sehat antardivisi.

4. Pakar data masih meragukan penerapan analitik secara menyeluruh di sepak bola

Meskipun data digunakan secara luas, tak sedikit pihak yang mempertanyakan dampaknya terhadap esensi permainan. Michael Cox dari The Athletic menyoroti banyak narasi mengenai revolusi data bersumber dari buku, bukan transformasi konkret di lapangan. Ia bahkan membatalkan niat untuk menulis satu bab tentang analitik dalam edisi baru bukunya, karena menurutnya efeknya kalah signifikan dibanding perubahan regulasi seperti penguasaan bola dari tendangan gawang.

Salah satu contoh yang sering dijadikan bukti keberhasilan data analitik dalam mengubah permainan yakni menurunnya frekuensi tembakan jarak jauh. Namun, laporan The Athletic menunjukkan, tren ini sebenarnya telah berlangsung jauh sebelum konsep expected goals (xG) dikenal luas. Pada 1970, tercatat 62 persen tembakan dilepaskan dari luar kotak penalti. Angka tersebut menurun menjadi 54 persen pada 2006, dan terus menyusut hingga saat ini. Fakta ini mengindikasikan, perubahan preferensi posisi tembakan kemungkinan besar lebih dipengaruhi evolusi taktik alami ketimbang intervensi langsung dari analisis data.

Ian Graham sendiri mengekspresikan keraguan atas pengaruh analitik yang sering didengungkan. Ia menyatakan, mayoritas klub Premier League belum benar-benar serius dalam mengintegrasikan data ke dalam proses mereka. Banyak sistem analitik yang masih bersifat tambahan, bukan landasan utama dalam pengambilan keputusan.

Dalam dunia sepak bola yang terus bergerak dinamis, data bukanlah jaminan kemenangan, tetapi ia memberi kejelasan dalam ketidakpastian. Masa depan analitik di sepak bola akan sangat ditentukan oleh kemampuan untuk menjembatani angka dengan intuisi manusia di balik permainan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us