Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Transfer Request, Saat Pemain Menolak Main demi Hengkang

potret pemain sepak bola sedang melakukan latihan
potret pemain sepak bola sedang melakukan latihan (unsplash.com/@terracegrain)
Intinya sih...
  • Beberapa pemain berhasil mengajukan transfer request demi pindah klub, seperti Lionel Messi, Harry Kane, dan Philippe Coutinho.
  • Pertarungan transfer antara pemain dengan klub hingga melibatkan agen pemain, seperti kasus Alexander Isak, Yoane Wissa, Rasmus Hojlund, dan Alejandro Garnacho.
  • Gonjang-ganjing transfer pemain berawal dari putusan Bosman pada 1995 yang memungkinkan pemain untuk pindah klub secara gratis setelah kontrak selesai.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bursa transfer musim panas 2025 diwarnai berbagai gebrakan di beberapa klub. Selain kedatangan pemain baru, konflik internal antara pemain dan klub juga menjadi salah satu daya tarik. Beberapa pemain tampak menolak bermain untuk klub karena keinginan untuk hengkang. Sebut saja Viktor Gyokeres ketika menolak mengikuti sesi latihan dan pramusim bersama Sporting CP sebelum pindah ke Arsenal.

Kasus serupa terjadi kepada Alexander Isak di Newcastle United, Yoane Wissa di Brentford, hingga Rasmus Hojlund di Manchester United. Situasi ini, yang dikenal sebagai transfer request, bukan lagi bertindak sebagai dokumen formal, melainkan sebagai instrumen yang menentukan arah karier seorang pemain sepak bola.

1. Beberapa pemain berhasil mengajukan transfer request demi pindah klub

Transfer request dulunya hanya dipahami sebagai permintaan resmi pemain untuk pindah klub. Namun, seiring berkembangnya industri sepak bola, transfer request berubah menjadi senjata untuk menekan klub agar membuka jalan keluar. Lionel Messi pernah mengajukan transfer request menggunakan Burofax, layanan pos resmi dari Spanyol, pada 2020 untuk menyampaikan niat hengkang dari Barcelona.

Contoh nyata juga terlihat dari Harry Kane yang secara terbuka menyatakan ingin meninggalkan Tottenham Hotspur yang pada 2021 karena ambisi meraih trofi. Dengan 3 tahun tersisa dalam kontraknya, Kane sempat menolak hadir pada sesi latihan pramusim demi menekan klub agar melepasnya. Walau gagal kala itu, ia berhasil pindah ke Bayern Munich dengan banderol 86,4 juta (Rp1,894 triliun) setelah kembali mengajukan permintaan 2 tahun kemudian.

Philippe Coutinho pun melalui jalan serupa ketika berusaha hengkang dari Liverpool pada 2017. Saat klub menolak beberapa tawaran dari Barcelona, Coutinho mengajukan transfer request dan akhirnya berhasil pindah pada Januari 2018 dengan nilai 142 juta pound sterling (Rp3,113 triliun) termasuk add-ons. Hingga saat ini, transfer Coutinho ke Barcelona masih menjadi rekor penjualan termahal dari English Premier League.

Namun, tindakan seperti ini bagai pisau bermata dua. Pemain yang berusaha memaksa keluar sering kehilangan hak atas bonus loyalitas dan menurunkan citra mereka di mata suporter. Jika kepindahan tidak terwujud, maka mereka bisa terasingkan dari skuad utama.

2. Pertarungan transfer antara pemain dan klub hingga melibatkan agen pemain

Dalam dinamika transfer, kekuasaan tidak pernah tunggal. Klub memegang kontrak resmi, pemain memiliki keputusan akhir, sedangkan agen memainkan peran sebagai negosiator di balik layar. Situasi Alexander Isak menjadi salah satu contoh paling menonjol pada musim panas 2025. Striker Swedia ini menolak tampil bagi Newcastle United karena dikabarkan berambisi pindah ke Liverpool, hingga absen dari skuad utama serta menjauh dari latihan reguler.

Yoane Wissa mengambil langkah serupa dengan menolak mengikuti latihan di Brentford agar bisa pindah ke Newcastle United demi bermain di Liga Champions Eropa 2025/2026. Sikap tersebut membuat klub berada dalam posisi sulit untuk menentukan keputusan. Mereka harus memilih antara mempertahankan pemain dengan risiko mengganggu keharmonisan tim atau melepasnya dengan nilai transfer yang lebih rendah dari harapan.

Manchester United menunjukkan situasi berbeda saat Rasmus Hojlund dan Alejandro Garnacho memilih bertahan meski klub sudah mendatangkan pemain baru. Alih-alih memberi jaminan, klub justru berusaha mendorong mereka hengkang. Bahkan, Garnacho sudah tidak masuk daftar skuad sejak pramusim 2025.

Di sisi lain, agen turut memperkeruh suasana karena bisa memainkan opini publik maupun menekan klub melalui media. Nama-nama seperti Jorge Mendes atau mendiang Mino Raiola sering diasosiasikan dengan strategi agresif dalam memindahkan pemain ke klub besar. Agen bukan hanya mengurus kontrak, melainkan juga memengaruhi keputusan pemain sampai menentukan arah negosiasi melalui spekulasi transfer. Maka, transfer request yang muncul di publik jarang berdiri sendiri. Ia hampir selalu bagian dari strategi besar yang melibatkan aktor-aktor di luar lapangan.

3. Gonjang-ganjing transfer pemain berawal dari putusan Bosman pada 1995

Transfer request hanyalah satu aspek dari pergeseran besar dalam ekosistem sepak bola. Dilansir Sky Sports, putusan Bosman 1995 menjadi titik balik penting dalam dunia transfer sepak bola. Putusan Pengadilan Eropa (European Court of Justice/ECJ) ini lahir dari kasus Jean-Marc Bosman, pesepak bola Belgia yang pada 1990 ingin pindah dari RFC Liege ke klub Prancis Dunkerque setelah kontraknya habis. 

Namun, klubnya tetap menuntut biaya transfer meski kontraknya berakhir. Bosman kemudian menggugat aturan tersebut karena dianggap melanggar kebebasan pekerja di Uni Eropa. Lima tahun setelahnya, putusan pengadilan memenangkan dirinya dengan memberi pemain hak untuk pindah klub secara gratis setelah kontrak selesai.

Dua dekade kemudian, transfer request berkembang sebagai instrumen baru bagi pemain untuk menekan klub ketika ingin hengkang. Dokumen formal ini bukan sekadar surat permintaan pindah, melainkan juga menjadi alat negosiasi yang bisa melemahkan posisi klub. Namun, konsekuensinya sering kali berat bagi pemain karena bisa merusak reputasi pemain, hubungan dengan fans, hingga risiko terasingkan jika kepindahan gagal terwujud.

Kasus hukum terbaru di Eropa kembali menantang dominasi klub atas para pemain. Pada awal Agustus 2025, organisasi independen asal Belanda, Justice for Players (JFP), menggugat FIFA dengan tuduhan aturan transfer menghambat kebebasan kerja. Gugatan ini turut menyoroti dugaan pelanggaran terhadap hukum persaingan di Uni Eropa.

Pemicu gugatan ini adalah kemenangan Lassana Diarra pada 2024, ketika Pengadilan Eropa menyatakan aturan FIFA mengenai sertifikat transfer internasional melanggar hak kebebasan bergerak bagi pemain. Jika gugatan JFP berhasil, pemain bisa memiliki hak untuk mengakhiri kontrak sepihak tanpa kompensasi. Hal ini bisa berpotensi menjadi Bosman 2.0 dan diprediksi mengguncang lanskap sepak bola global.

Namun, revolusi hukum semacam itu juga menyimpan risiko besar. Klub-klub kehilangan kepastian kontraktual, sementara stabilitas finansial bisa terguncang karena kesulitan menjaga nilai aset pemain. Dengan kondisi seperti itu, pasar transfer akan menjadi lebih cepat, penuh spekulasi, dan sarat risiko. Pada masa mendatang, kekuasaan tidak lagi bergantung kepada durasi kontrak, karena yang lebih menentukan adalah kecerdikan tiap pihak dalam memanfaatkan momentum.

Bursa transfer musim panas 2025 membuktikan transfer request bukan lagi sekadar formalitas. Ia telah menjadi simbol pergeseran kekuasaan dalam sepak bola ketika pemain, klub, dan agen saling menarik demi kepentingan masing-masing.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Gagah N. Putra
EditorGagah N. Putra
Follow Us