Gelang Digital untuk Perangi Kekerasan Anak dan Perempuan

Keahlian anak Indonesia sudah tidak harus diragukan lagi. Muhammad Sulthan Mazaya (19), Marcellus Michael Herman Kahari (19), dan Daniel Jeans Ricard Silitonga (20) adalah tiga anak muda menciptakan gelang berbasis digital untuk melawan kekerasan terhadap kekerasan perempuan dan anak.
Inovasi yang dilakukan oleh ketiga anak bangsa, yang saat ini kuliah sebagai mahasiswa tahun kedua di Institut Teknologi Bandung (ITB) itu termasuk dalam ajang EU Social DigiThon. EU Social DigiThon ini termasuk dalam Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia, bekerja sama dengan Asosiasi Internet of Things Indonesia (ASIOTI).
Saat ini, gelang tersebut masih dalam tahap pengembangan lebih lanjut sebelum didistribusikan kepada publik. Seperti apa gelang yang dimaksud? Simak ulasannya di sini!
1. Dimulai dari hobi ikut perlombaan penjelasan internet of things
Mazaya mengungkapkan bahwa kesempatan dalam membuat gelang ini diperolehnya ketika dirinya mengikuti berbagai perlombaan yang ada.
“Awalnya ada sebuah pengumuman untuk lomba yang dikhususkan untuk internet of things. Internet of things itu gawai yang bisa disambungkan ke internet, jadi nggak harus misal kayak komputer, bisa aja kulkas yang canggih untuk dihubungkan ke internet, dan itu bisa kita kasih kegunaan yang lebih. Dengan harapan mempermudah masalah yang kita hadapi” tutur Mazaya yang saat ini sedang menempuh studi teknik fisika di ITB.
Dirinya kemudian menambahkan bahwa pada lomba itu, mereka juga mengusung tema hak asasi manusia.
“Tapi memang, saya punya latar belakang internet of things karena jurusan yang saya ambil. Saya akhirnya mencari teman dekat yang ingin melakukan riset bersama. Kami akhirnya brainstorm untuk gelang yang dapat melindungi perempuan dari kekerasan,” lanjutnya.
“Bagi saya, melindungi perempuan merupakan cara untuk melindungi generasi penerus bangsa yang akan terus lahir di masa selanjutnya. Terlebih lagi, peduli terhadap semua orang merupakan kewajiban kita karena kita masih diberi napas kehidupan sampai saat ini,” Daniel juga menambahkan, dirinya pun mendengarkan teman-temannya yang juga pernah mengalami kekerasan, sehingga dirinya terdorong untuk membantu mereka.
Michael adalah seorang mahasiswa jurusan teknik informatika dan Daniel adalah seorang mahasiswa sistem teknologi informasi. Bersama mereka menciptakan gelang yang diharapkan dapat didistribusikan kepada publik.
2. Cara kerja gelang digital

Untuk cara kerja gelang digital yang didesain oleh Mazaya, Michael dan Daniel ini memiliki fitur yang berbeda untuk kekerasan domestik dan non-domestik.
“Fitur pertama itu buat domestik (waktu pencet tombol nanti merekam suara sama manggil kontak darurat) kalau yang satu lagi buat non-domestik (waktu mencet memanggil kontak darurat sama bunyi sirine),” Mazaya menjelaskan fitur gelang digital tersebut.
Tak hanya itu saja, gelang buatan Mazaya juga dapat menghubungi kontak yang terhubung dengan smartphone. Di mana penerima pesan bisa langsung mengetahui lokasi pengirim pesan yang sedang dalam bahaya.
Selain itu, ada juga fitur aplikasi smartphone yang memiliki berbagai fungsi seperti protokol keselamatan darurat.
3. Potensi market
Mazaya, Michael dan Daniel sebenarnya telah mendapatkan suntikan dana untuk membuat gelang ini, termasuk dukungan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM).
“Kita tinggal nyari potential customer dan mengembangkan gelangnya kembali."
Sayangnya saya, Michael dan Daniel itu tidak tinggal bersama-sama sehingga penelitian itu saat ini masih terhenti karena pandemik.
“Riset ini kita beneran dari zero. Ada sih pembimbing dari Uni Eropa, tapi karena pandemik kan kita via webinar, jadi tidak begitu intimate,” lanjut Mazaya.
Selain terkendala jarak bersama temannya, Mazaya juga berharap mendapatkan mentor agar penelitiannya lebih konkret.
“Karena kita hardware pengembangannya lebih kompleks. Karena kita butuh bukti yang konkret, kita ada sedikit challenge di situ. Jadi saya mungkin mau approach mentor yang sekarang mungkin ada di sekolah saya.”
4. Teknologi saja tidak cukup

Penemuan teknologi gelang digital oleh Mazaya perlu kita sambut positif. Namun, teknologi saja tidak cukup untuk melawan tindak kekerasan seksual di Indonesia.
“Perkembangan teknologi tentu perlu kita sambut dengan baik, apalagi yang diharapkan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan seksual. Namun, fokusnya harus ditarik dari 'Bagaimana perempuan, korban, dan penyintas kekerasan seksual harus melindungi diri, sampai memikirkan taktik tertentu untuk bisa survive'—menjadi 'Bagaimana kita bisa menghentikan, mencegah, dan membuat sistem yang memberi efek jera bagi pelaku kekerasan seksual'." tutur dr. Alegra Wolter, Partnership Manager PT. Docquity Indonesia dan Dokter Umum Klinik Angsamerah, yang juga seorang aktivis kesehatan mental dan seksual.
Dr. Alegra Wolter melanjutkan bahwa gelang digital bisa menjadi potensi perlindungan, namun bukan solusi utama. Karena pertama, masyarakat Indonesia masih mengglorifikasi rape culture.
“Hal ini muncul dalam bentuk: victim blaming, slut-shaming, objektifikasi seksual, denial terhadap kasus pemerkosaan, hingga menolak untuk mengenali dampak dari pemerkosaan/kekerasan seksual itu sendiri,” Dr. Alegra Wolter menjelaskan.
Kita tidak seharusnya menormalisasi rape culture, yang sering kali terbalut dalam bentuk lelucon yang sering kali dilontarkan dalam masyarakat.
5. Dukungan psikolog dan dokter juga dibutuhkan

Tak hanya mengedukasi masyarakat, pemerintah juga memiliki peran penting dalam melindungi dan memberi keadilan bagi warga negara yang mengalami kekerasan seksual.
“Lamanya pengesahan RUU PKS (Penghapusan Kekerasan Seksual) membuktikan kurangnya komitmen pemerintah dalam melakukan perlindungan terhadap korban dan penyintas kekerasan seksual. Jangan sampai kita menjadi enabler atau orang yang membiarkan ketidakadilan terjadi,” lanjut dr. Alegra.
Korban kekerasan seksual juga membutuhkan pertolongan medis yang berfokus pada pemulihan. Pertolongan seperti pemeriksaan fisik, screening HIV/IMS, kontrasepsi emergensi, dan pertolongan psikologis tentu diperlukan.
Dr. Alegra menjelaskan bahwa seseorang yang mengalami kekerasan seksual berpotensi mengalami tekanan psikologis. Kekerasan seksual merupakan kejadian katastrofe. Orang yang mengalaminya bisa mengalami perasaan takut, insomnia, mimpi buruk, hingga cemas berlebih.
“Salah satu usaha yang sudah dilakukan pemerintah adalah layanan P2TP2A (Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak). Dalam komunitas, yang dapat kita berikan adalah rumah aman, serta perlindungan dari keluarga, teman, dan orang terdekat.”
Dr. Alegra menambahkan bahwa secara umum, tidak ada satu produk yang secara ajaib dapat menyelesaikan masalah kekerasan seksual. Selain usaha sistematis dari pemerintah dan masyarakat, penting bagi kita untuk mengajarkan consent atau persetujuan afirmatif.
Selama ini kita lebih fokus pada kekerasan seksual, yang dilakukan oleh orang tidak dikenal, tetapi data menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual banyak timbul dari orang yang dikenal. Dalam ranah personal, penting bagi kita untuk memberikan batasan: “Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan?”
Mari menghormati satu sama lain, tanpa memberi toleransi bagi orang yang melanggar batasan tersebut.
Mazaya berharap gelang digital ini dapat sesegera mungkin untuk mendapatkan penelitian lebih lanjut agar dapat dipasarkan kepada orang-orang Indonesia. Meski dapat menjadi salah satu perlindungan, masyarakat tetap membutuhkan edukasi apa itu kekerasan terhadap perempuan dan bagaimana tidak menormalisasi kekerasan baik verbal maupun non-verbal.