Kenapa Sistem Pemerintah Sering Down saat Dibutuhkan?

- Penyimpanan data yang mengutamakan kendali fisik
- Arsitektur server yang terfragmentasi dan beban akses serentak
- Keterbatasan SDM dan tata kelola teknologi
Menjelang penutupan tahun anggaran (TA), aktivitas administrasi keuangan pemerintah sedang sibuk-sibuknya. Para pegawai harus menyelesaikan berbagai kewajiban, mulai dari pencairan anggaran hingga penyusunan laporan keuangan. Di tengah kondisi tersebut, Sistem Informasi Pemerintah (SIPD) milik Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) justru dilaporkan mengalami gangguan yang berdampak langsung pada proses pencairan dana tingkat daerah. Keluhan pun ramai bermunculan di media sosial X. Sejumlah pengguna mengaku kesulitan mengakses situs SIPD sejak November 2025.
Ketika SIPD mengalami gangguan, salah satu dampaknya adalah keterlambatan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) sebagai ujung tombak pengelolaan keuangan dan perpajakan di lingkungan instansi pemerintah. Gangguan ini semakin terasa saat volume transaksi meningkat seperti pembayaran gaji, TPP (Tambahan Penghasilan Pegawai), tunjangan, atau tutup buku akhir tahun. Selain itu, Organisasi Perangkat Daerah (OPD) juga tidak dapat menginput data rekanan baru maupun memproses pembaruan data yang diperlukan. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidaksesuaian data keuangan yang dapat memengaruhi kualitas laporan keuangan daerah.
Sebenarnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di SIPD saja. Sejumlah layanan digital milik pemerintah kerap mengalami masalah serupa ketika beban akses melonjak atau saat masyarakat membutuhkan layanan untuk mengakses pelayanan publik secara daring. Lantas, mengapa sistem pemerintah sering bermasalah ketika dibutuhkan. Terlebih, di periode krusial seperti akhir tahun anggaran? Untuk menjawabnya, mari cermati satu per satu penyebabnya melalui artikel berikut!
1. Penyimpanan data yang mengutamakan kendali fisik

Server pemerintah umumnya tidak menggunakan cloud publik. Data negara dianggap sebagai aset strategis yang secara kebijakan harus disimpan dan dikelola langsung oleh instansi terkait. Maka dari itu, hampir setiap kementerian, lembaga, atau badan memiliki unit khusus bernama Pusat Data dan Informasi (PUSDATIN) sebagai lokasi penyimpanan dan pengelolaan server. Contohnya, PUSDATIN Kemendikdasmen, PUSDATIN Kemhan, dan seterusnya.
Merubah kebijakan penyimpanan data di cloud, tidak semudah yang dipikirkan. Hal ini karena menyangkut regulasi, undang-undang, dan risiko kebocoran data negara. Proses kajian dan risetnya panjang sehingga adopsi teknologi cloud atau hybrid cloud tidak bisa dilakukan secara cepat. Akibatnya, kapasitas sistem sering kali terbatas secara fisik dan tidak elastis saat terjadi lonjakan akses mendadak.
2. Arsitektur server yang terfragmentasi dan beban akses serentak

Setiap direktorat atau unit kerja biasanya memiliki aplikasi dan server sendiri-sendiri. Artinya, satu instansi besar bisa mengelola puluhan aplikasi dengan arsitektur terpisah. Ketika pengguna melakukan akses atau klik secara serentak. Misalnya, saat pendaftaran, pengajuan, atau penutupan anggaran, server harus melayani permintaan dalam jumlah besar pada waktu yang hampir bersamaan.
Sebagai gambaran, misalnya MyASN milik Badan Kepegawaian Negara (BKN). Satu instansi ini memuat berbagai aplikasi seperti SIASN, Simpegnas, SIKEJAB, BKN Pedia, Manajemen Kinerja Organisasi (MAKO), dan lain sebagainya. Sebagian server memang sudah dibekali load balancer untuk membagi beban ke beberapa mesin. Namun, load balancer tidak selalu cukup jika kapasitas awal server memang tidak dirancang untuk trafik tinggi. Jika beban melebihi ambang batas, server bisa hang bahkan down total.
3. Keterbatasan SDM dan tata kelola teknologi

Kualitas sumber daya manusia (SDM) di bidang teknologi informasi menjadi faktor penting yang menentukan keandalan sistem pemerintahan. Di banyak instansi, jumlah tenaga TI masih terbatas dan belum sepenuhnya berpengalaman dalam mengelola sistem berskala besar. Kondisi ini diperparah oleh pola rekrutmen ASN yang tidak berlangsung setiap tahun, sehingga regenerasi dan penguatan tim teknis berjalan lambat. Akibatnya, pemantauan sistem secara real-time belum optimal, rendahnya kesiapan menghadapi insiden, dan respons terhadap gangguan server kerap tertunda.
Selain itu, koordinasi antarunit teknis yang belum solid, proses pengadaan yang panjang, dan birokrasi internal turut memperlambat pembaruan dan perbaikan sistem. Saat gangguan muncul, waktu yang dibutuhkan untuk menelusuri akar masalah hingga menerapkan solusi sering kali lebih lama dari kondisi ideal. Situasi ini menegaskan pentingnya penguatan kapasitas SDM, perbaikan tata kelola teknologi, dan penerapan manajemen insiden yang lebih terstruktur di lingkungan pemerintahan.
4. Beban berat query database dan kompleksitas relasi data

Salah satu penyebab teknis paling umum dari server down adalah query database yang sangat berat. Sistem pemerintahan umumnya menggunakan Relational Database Management System (RDBMS) dengan struktur data yang kompleks. Database tersebut sebenarnya sudah dinormalisasi, tetapi memiliki relasi antartabel yang sangat banyak karena mengikuti struktur birokrasi dan regulasi.
Dalam praktiknya, satu proses atau satu klik pengguna bisa memicu query dengan banyak join dan dependency. Ketika ribuan pengguna melakukan proses serupa secara bersamaan, beban resource database melonjak drastis. Dampaknya bisa berupa timeout, aplikasi tidak merespons, atau koneksi ke database terputus meski web server masih aktif.
5. Tidak dirancang untuk high availability dan lonjakan masif

Masalah skalabilitas merupakan isu klasik yang dialami layanan administrasi publik digital. Sistem tidak siap menghadapi lonjakan trafik yang begitu masif. Banyak portal pemerintah tidak dirancang untuk melayani ribuan atau jutaan pengguna sekaligus, sehingga ketika akses melonjak, server menghadapi bottleneck dan layanan menjadi tak responsif.
Server yang tidak dilengkapi load balancing, CDN (Content Delivery Network), atau solusi cloud elastis berisiko mengalami timeout dan crash saat beban puncak. Dalam konteks SIPD Kemendagri, lonjakan volume transaksi pada periode akhir tahun anggaran memperlihatkan betapa pendeknya kapasitas yang tersedia untuk menangani aktivitas tinggi. Tanpa perencanaan kapasitas dan solusi skalabilitas yang matang, downtime menjadi hampir tak terhindarkan.
Berbeda halnya marketplace atau platform digital komersial yang menerapkan auto-scaling, sistem pemerintah umumnya bersifat statis. Ketika trafik naik tajam, jumlah server tidak ikut bertambah secara otomatis. Akibatnya, sistem yang berjalan normal di hari biasa bisa langsung tumbang saat diakses secara massal.
6. Birokrasi dan kendala anggaran dalam digitalisasi

Tantangan lain yang sering terabaikan adalah birokrasi pengadaan teknologi dan keterbatasan anggaran yang membatasi kemampuan pemerintah memperbarui sistem secara cepat. Proses pengadaan perangkat keras, perangkat lunak, atau layanan cloud yang memadai sering melibatkan tahapan administrasi yang panjang dan regulasi yang ketat. Hal ini membuat inovasi dan respons terhadap perubahan menjadi lambat.
Keterbatasan dana juga membuat banyak instansi mengandalkan infrastruktur yang sudah tua atau menggunakan solusi murah yang tidak scalable. Padahal layanan pemerintahan modern membutuhkan investasi signifikan pada infrastruktur, keamanan, dan pemeliharaan jangka panjang. Tanpa alokasi anggaran yang memadai dan fleksibel, sistem digital menjadi rentan terhadap gangguan.
7. Adaptasi dan beban psikologis ASN terkait sistem berbasis digital

Di luar persoalan teknis, tekanan psikologis yang dialami aparatur sipil negara (ASN) juga tidak bisa dipandang sepele. Tidak sedikit ASN yang bekerja dalam rasa cemas seperti takut terjadi kesalahan input, kehilangan data, atau gagal memenuhi tenggat waktu yang ketat. Jika sebelumnya arsip dapat disimpan secara fisik dalam map atau berkas, kini seluruh proses harus tercatat dan terintegrasi dalam satu sistem digital yang sama.
Perubahan ini menuntut ASN untuk beradaptasi lebih cepat di era berbasis teknologi. Bagi mereka yang terbiasa menggunakan metode manual, transisi tersebut tentu bukan hal yang mudah. Meski begitu, sebagian ASN generasi muda justru menyambut kehadiran SIPD sebagai langkah untuk memangkas birokrasi yang lambat guna memperkuat transparansi dan akuntabilitas publik.
8. Perencanaan kapasitas dan anggaran yang terikat siklus tahunan

Pada dasarnya, layanan digital selalu memiliki batas kapasitas. Bahkan layanan sebesar Google pun memiliki limit secara teori. Masalah muncul ketika lonjakan permintaan tidak diimbangi dengan perencanaan kapasitas yang matang. Dalam sistem pemerintahan, tantangan ini diperparah oleh mekanisme anggaran tahunan.
Jika terjadi lonjakan kebutuhan di luar perencanaan awal, penambahan kapasitas server tidak bisa dilakukan secara cepat. Ada keterbatasan biaya, perangkat, listrik, hingga SDM yang semuanya harus menunggu siklus anggaran berikutnya. Akibatnya, ketika kapasitas tercapai, layanan menjadi lambat atau tidak dapat diakses.
Gangguan pada sistem pemerintah tidak serta-merta menandakan rendahnya kompetensi pengembang. Masalah ini jauh lebih kompleks karena melibatkan kebijakan data, arsitektur teknis, kualitas pengembangan, dan keterbatasan perencanaan dan anggaran. Banyak sistem sejatinya beroperasi di ambang kapasitas optimal, sehingga kerentanannya baru terlihat ketika beban akses meningkat tajam dalam waktu bersamaan.
Beragam faktor seperti penggunaan teknologi lama, keterbatasan skalabilitas, lemahnya tata kelola teknologi, kendala pendanaan, dan kompleksitas regulasi turut memengaruhi rendahnya keandalan layanan digital pemerintah. Tanpa perhatian serius, persoalan seperti sistem down, keterlambatan layanan, dan gangguan operasional berpotensi terus berulang. Ke depan, peningkatan layanan digital tidak cukup hanya berfokus pada aplikasi semata, tetapi juga harus mencakup kebijakan, perencanaan kapasitas, standar pengembangan, dan pengujian performa yang memadai. Artinya, sistem pemerintahan diharapkan benar-benar siap melayani publik dalam berbagai kondisi.


















