Ketika Robot Menulis Berita: Apakah Jurnalis Manusia Masih Relevan?

- AI dapat menjadi asisten efisien dalam meliput berita berbasis data secara real-time, membuka kemungkinan baru bagi cara kerja jurnalis.
- Penggunaan AI generatif membawa dampak signifikan dan tantangan serius bagi industri berita, termasuk risiko akurasi dan bias yang perlu diatasi.
- Penerapan AI tidak hanya memengaruhi cara konten dibuat, tetapi juga mengubah struktur dan alur kerja di ruang redaksi serta menimbulkan isu kepercayaan publik yang perlu diatasi dengan transparansi.
Penggunaan akal imitasi (artificial intelligence/AI) dalam dunia jurnalisme bukanlah hal baru. Jauh sebelum kehadiran ChatGPT yang viral, media-media besar sudah bereksperimen dengan teknologi ini.
Pada awal abad ke-21, kantor berita Associated Press sudah memanfaatkan alat pemrosesan bahasa alami (Natural Language Processing/NLP) untuk mengolah data dan menghasilkan konten. Ini adalah langkah awal yang membuka jalan bagi otomatisasi di ruang redaksi.
Hal ini menjadi pembasan dalam acara daring FP Talks Diskusi AI dengan tema "Sustaining Journalism and Navigating Digital Platforms: U.S Insights for Indonesian Media Leaders", pada Kamis (28/08/2025).
Sejarah singkat
Jurnalis John V. Pavlik menjelaskan, salah satu terobosan besar di era awal AI jurnalisme datang dari L.A. Times. Mereka mengembangkan sebuah bot bernama QuakeBot yang dirancang khusus untuk memantau aktivitas seismik. Ketika terjadi gempa bumi, QuakeBot akan secara otomatis menyusun laporan awal, lengkap dengan data dan lokasi.
Meskipun laporan ini tetap harus diverifikasi dan diedit oleh jurnalis manusia sebelum diterbitkan, kehadiran bot ini menunjukkan bahwa AI bisa menjadi asisten yang sangat efisien dalam meliput berita-berita berbasis data secara real-time.
"Eksperimen terus berlanjut seiring perkembangan teknologi. Sebelum platformnya dibuka untuk publik, OpenAI bekerja sama dengan beberapa organisasi berita untuk menguji coba model bahasa canggih mereka, GPT-3. The Guardian dan The New York Times, termasuk yang pertama mempublikasikan artikel yang sepenuhnya atau sebagian ditulis oleh AI. Hasilnya, meskipun memicu perdebatan, menunjukkan bahwa AI memiliki potensi untuk melahirkan konten yang terstruktur dengan baik, bahkan memiliki gaya penulisan yang menarik, membuka kemungkinan baru bagi cara kerja jurnalis," ujarnya.
Dampak dan tantangan AI generatif

Di balik potensinya, kehadiran AI generatif membawa dampak yang signifikan, termasuk tantangan serius bagi industri berita. Di satu sisi, teknologi ini bisa menjadi alat yang sangat kuat untuk meningkatkan kualitas jurnalisme.
Wall Street Journal menggunakan AI untuk menganalisis dan memvisualisasikan data interaksi Elon Musk di X, mengubah set data yang sangat besar menjadi narasi yang mudah dipahami. Ini membuktikan bahwa AI dapat berfungsi sebagai pendukung yang efisien dalam jurnalisme investigasi dan data.
Namun, tidak semua eksperimen berjalan mulus. Penggunaan AI juga diiringi dengan risiko besar, terutama terkait dengan akurasi dan bias. Kasus yang dialami L.A. Times menjadi pengingat pahit. Saat mencoba menggunakan ChatGPT untuk halaman opini, sistem tiba-tiba mengeluarkan konten rasis, yang secara jelas menunjukkan adanya bias dalam model AI tersebut. Tantangan serupa juga dihadapi CNET yang bereksperimen dengan artikel buatan AI, namun hasilnya penuh dengan kesalahan fakta yang mendasar, mulai dari lokasi geografis hingga perhitungan matematika.
Fenomena ini mendorong pergeseran peran jurnalis manusia. Alih-alih digantikan, jurnalis diharapkan dapat beradaptasi dan berkembang bersama AI. Pavlik menganjurkan teori augmentasi, di mana AI berperan sebagai alat bantu yang melengkapi, bukan menggantikan.
"Dengan AI yang menangani tugas-tugas rutin seperti mengolah data atau meringkas, jurnalis dapat mengalihkan fokus mereka pada pekerjaan yang membutuhkan sentuhan manusiawi, seperti verifikasi mendalam, wawancara, dan membangun cerita. Dengan demikian, jurnalisme bisa menjadi lebih efisien dan berkualitas, selama kita bisa mengatasi tantangan etika dan teknis yang menyertainya," katanya lebih dalam.
Perubahan di ruang redaksi
Penerapan AI tidak hanya memengaruhi cara konten dibuat, tetapi juga mengubah struktur dan alur kerja di ruang redaksi. Sebuah studi dari Reuters Institute menemukan bahwa sebanyak 70 persen staf ruang redaksi di seluruh dunia telah menggunakan AI dalam beberapa bentuk.
Penggunaan ini tidak selalu untuk menulis berita, melainkan lebih banyak mengotomatisasi proses berita. Sebagai contoh, AI bisa mengubah laporan panjang menjadi ringkasan singkat atau postingan yang siap diunggah ke media sosial, membebaskan jurnalis dari tugas-tugas repetitif.
Selain itu, kemunculan agentic AI juga membawa perubahan signifikan. Jenis AI ini mampu menjalankan tugas-tugas kompleks dengan sedikit arahan dari manusia.Pavlik memberikan contoh dengan pengalamannya membuat Custom GPT untuk mengajar etika media.
AI tersebut tidak hanya menarik sumber-sumber yang relevan, tetapi juga mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan bernuansa layaknya seorang mahasiswa. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi tersebut bisa menjadi rekan kerja yang cerdas, membantu jurnalis dalam riset mendalam atau bahkan memilah data historis yang sangat besar, membuat pekerjaan mereka lebih efisien dan terarah.
Isu kepercayaan publik

Perubahan besar-besaran yang dibawa AI ke ruang redaksi memunculkan pertanyaan krusial tentang kepercayaan publik. Publik cenderung skeptis dan waspada, terutama ketika mereka tahu sebuah konten dibuat oleh AI. Sebuah studi menunjukkan bahwa banyak orang khawatir berita yang dihasilkan AI mungkin mengandung misinformasi dan tidak dapat dipercaya. Ini adalah tantangan serius bagi industri jurnalisme yang kredibilitasnya sangat bergantung pada kepercayaan.
Untuk mengatasi hal ini, transparansi menjadi kunci utama. Pavlik menekankan pentingnya kejujuran tentang bagaimana dan kapan AI digunakan dalam proses pembuatan berita. Solusi konkretnya termasuk penggunaan watermark digital pada konten visual yang dibuat AI, serta pelabelan yang jelas pada artikel. Dengan begitu, pembaca dapat membuat penilaian sendiri dan membedakan antara konten yang sepenuhnya buatan manusia dan yang dibantu oleh AI.
Di tengah upaya menjaga kepercayaan, muncul pula fenomena disintermediasi yang menjadi ancaman. Situs seperti News by AI yang sepenuhnya dibuat oleh AI tanpa pengawasan manusia menjadi contoh nyata. Konten yang dihasilkan terlihat asli, lengkap dengan foto-foto palsu, seperti foto LeBron James yang tampak nyata padahal buatan AI.
Situasi ini mengaburkan batas antara berita asli dan berita palsu, membuat publik semakin sulit membedakan mana yang kredibel. Oleh karena itu, bagi jurnalis, mempertahankan standar etika dan transparansi bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk memastikan keberlanjutan jurnalisme yang berkualitas di era disrupsi ini.
Jelas bahwa AI telah mengubah lanskap jurnalisme secara mendalam, dari cara berita diproduksi hingga bagaimana publik mengonsumsinya. Tantangan dan peluang yang dihadapi media global kini juga akan dirasakan oleh media di Indonesia.
Maka, muncul pertanyaan reflektif yang penting untuk masa depan jurnalisme di Indonesia, apakah AI akan menjadi asisten terpercaya yang memperkuat profesi jurnalis dan membantu kita menemukan kebenaran, atau justru menjadi ancaman eksistensial yang mengikis kepercayaan publik dan mengaburkan batas antara fakta dan fiksi?