Pengelolaan Data Pribadi di AS, Pengamat: Memiliki Implikasi Serius

- Kesepakatan dagang RI-AS mengenai data pribadi
- Indonesia mengakui kemampuan AS dalam mengelola data pribadi di wilayahnya
- Pakar keamanan siber menilai kesepakatan tersebut berdampak serius terhadap kedaulatan digital dan posisi geopolitik Indonesia
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah mengumumkan poin kerja sama perjanjian dagang mengenai tarif resiprokal dengan Indonesia. Lewat keterangan resmi yang diumumkan di situs Gedung Putih, dijelaskan kesepakatan RI dan AS soal perdagangan, layanan, dan investasi digital.
Salah satu kesepakatan Gedung Putih menyatakan, Indonesia mengakui kemampuan Amerika mengelola data di wilayah Amerika Serikat. Nyatanya menurut pakar keamanan siber, kesepakatan tersebut memiliki implikasi serius terhadap kedaulatan digital dan posisi geopolitik Indonesia.
Punya implikasi serius
Pernyataan resmi dari Gedung Putih yang menyebut bahwa Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan mentransfer data pribadi ke luar wilayahnya, khususnya ke Amerika Serikat, memiliki implikasi serius terhadap kedaulatan digital dan posisi geopolitik Indonesia, menurut Chairman Communication & Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha.
"Dalam lanskap global saat ini, di mana data telah menjadi komoditas strategis yang setara dengan sumber daya alam, pernyataan tersebut bukanlah sekadar pernyataan dagang, melainkan sinyal politik yang sangat kuat tentang arah hubungan digital antara Indonesia dan kekuatan global seperti AS," ujarnya kepada IDN Times.
Kedaulatan digital merupakan prinsip bahwa negara berhak mengatur, mengelola, dan melindungi seluruh aktivitas digital yang terjadi dalam yurisdiksinya, termasuk data warganya.
Melepaskan sebagian kontrol atas data

Pratama menerangkan, dengan membuka kemungkinan aliran data pribadi ke luar negeri tanpa mekanisme yang ketat dan transparan, Indonesia berpotensi melepaskan sebagian kontrol atas data yang sangat penting bagi keamanan nasional dan pembangunan ekonomi digital jangka panjang.
"Setelah data pribadi warga Indonesia berada di luar negeri, terutama di AS yang sistem perlindungan datanya belum setara dengan General Data Protection Regulation (GDPR) di Uni Eropa, maka kedaulatan negara atas data tersebut menjadi lemah. Data tersebut bisa diakses oleh entitas asing, termasuk badan intelijen atau perusahaan teknologi besar, tanpa pengawasan penuh dari otoritas Indonesia," jelasnya lebih dalam.
Secara geopolitik, pernyataan ini juga menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih rentan dalam percaturan kekuatan digital global.
Menguntungkan Google cs

Presiden Trump telah memperluas pengaruhnya melalui diplomasi digital, termasuk dengan menekan negara-negara mitra untuk membuka akses terhadap data dan infrastruktur teknologi.
Dalam konteks ini, komitmen Indonesia untuk memfasilitasi transfer data pribadi ke AS berisiko memperkuat dominasi perusahaan teknologi besar asal negeri Paman Sam seperti Google, Meta, Amazon, dan Microsoft, yang sangat bergantung pada data lintas batas.
Ketergantungan ini dapat melemahkan kemampuan Indonesia untuk membangun ekosistem digital mandiri, menciptakan ketimpangan dalam kompetisi digital global, dan pada akhirnya membatasi kedaulatan pengambilan keputusan dalam ranah teknologi dan informasi.
"Sikap Indonesia yang terkesan akomodatif terhadap kepentingan data Amerika Serikat dapat menimbulkan dampak diplomatik terhadap negara-negara lain, terutama China dan sesama negara anggota ASEAN. Di tengah meningkatnya rivalitas digital antara AS dan Tiongkok, langkah Indonesia ini bisa ditafsirkan sebagai keberpihakan yang akan mempengaruhi posisi tawar Indonesia dalam kerja sama digital regional dan global," Pratama mengatakan.
Padahal, Indonesia selama ini berusaha menjaga posisi netral dan non-blok dalam urusan geopolitik digital, termasuk dengan mendorong prinsip-prinsip seperti keadilan data, inklusivitas digital dan kedaulatan siber.
Jangan mengorbankan prinsip kedaulatan digital
Tantangan lain yang muncul adalah risiko hilangnya nilai tambah ekonomi dari data. Jika data pribadi dan perilaku digital warga Indonesia terus mengalir ke luar negeri tanpa kontrol yang memadai, maka nilai strategis data tersebut akan dimanfaatkan oleh perusahaan asing untuk pengembangan produk, layanan, dan algoritma berbasis akal imitasi (artificial intelligence/AI) yang akan kembali dijual ke pasar Indonesia.
"Dalam skenario seperti ini, Indonesia tidak hanya kehilangan kontrol, tetapi juga potensi ekonomi yang seharusnya bisa dinikmati oleh masyarakat dan pelaku industri dalam negeri," katanya.
Pratama mengatakan bahwa Indonesia harus menyikapi pernyataan tersebut dengan sangat hati-hati. Komitmen internasional dalam bidang perdagangan digital tidak boleh mengorbankan prinsip-prinsip kedaulatan digital dan perlindungan data pribadi.
"Pemerintah Indonesia perlu membangun mekanisme regulasi yang tegas dan transparan terkait transfer data lintas batas, termasuk memastikan bahwa negara tujuan memiliki sistem perlindungan data yang setara atau lebih tinggi," imbuh Pratama.
Selain itu, Indonesia harus memperkuat posisi dalam forum-forum global seperti G20 dan ASEAN Digital Ministers Meeting untuk mendorong tata kelola data yang adil dan berkelanjutan. Tanpa langkah strategis ini, negara kita berisiko menjadi pasar data pasif yang dieksploitasi oleh kekuatan global, tanpa mendapatkan manfaat jangka panjang dari ekosistem digital yang inklusif dan berdaulat.