Seni di Era AI, Kreativitas yang Melenakan atau Ancaman bagi Seniman?

Kemajuan kecerdasan buatan (AI) telah mengubah berbagai aspek kehidupan manusia, termasuk dunia seni dan industri kreatif. Terbaru, World Economic Forum (WEF) merilis laporan bertajuk Future of Jobs Report 2025. Laporan ini sekaligus mengingatkan bahwa pekerjaan desainer grafis diperkirakan akan lenyap dalam 5 tahun ke depan. Hilangnya pekerjaan desain grafis ini dipicu oleh dorongan AI dan teknologi pemrosesan informasi serta perluasan akses digital.
Saat ini, beban kerja tidak sepenuhnya dilimpahkan kepada manusia. Laporan WEF 2025 menunjukkan bahwa keterlibatan mesin dan algoritma menyumbang 22 persen. Sementara manusia tetap mengandalkan kreativitasnya sebesar 47 persen dan 30 persen diselesaikan oleh kolaborasi keduanya. Dari sini, jelas terlihat bahwa AI makin mengambil peran dalam dunia kerja, termasuk dalam industri kreatif, meskipun kreativitas manusia tetap menjadi faktor utama yang membedakan hasil karya yang dihasilkan.
Kondisi ini tentu saja menjadi hal yang kontradiktif dan penuh dilema. Teknologi AI bagaikan dua sisi mata pisau. Di satu sisi, AI mampu menciptakan lukisan, naskah film, hingga desain visual dalam hitungan detik. Di sisi lain, AI juga membuka peluang baru bagi seniman untuk mengeksplorasi kreativitas tanpa batas. Menilik nasib profesi desainer grafis atau ilustrator yang juga berperan sebagai seniman digital, muncul kekhawatiran akan terkikisnya orisinalitas dan tergesernya peran seniman manusia oleh AI. Lantas, apakah seni di era AI ini kreativitas yang melenakan atau justru menjadi ancaman bagi seniman? Mari ulas bersama!
1. Garis waktu perkembangan desain grafis dari masa ke masa

Kreativitas yang diciptakan dalam media visual sebenarnya telah ada selama beribu-ribu tahun. Desain grafis telah mengalami perjalanan panjang yang penuh liku. Perjalanan desain grafis dimulai sejak zaman Romawi yang menjadi cikal bakal seni komunikasi visual. Pada 1447, Johannes Gutenberg menemukan mesin cetak yang memungkinkan produksi tulisan secara massal. Revolusi Industri abad ke-19 membawa angin segar bagi desain grafis melalui pameran The Great Exhibition 1851 yang memperkenalkan gabungan budaya dan teknologi. Desain mulai terkoneksi dengan arsitektur dan seni, seperti desain bangunan besi dan kaca oleh Joseph Paxton. Pada 1892, Henri Toulouse-Lautrec menggabungkan industri dan seni lewat lukisan kehidupan Paris.
Di masa modernisme, prinsip “form follows function” yang digagas oleh Louis Sullivan telah mengubah fokus desain dari estetika menjadi fungsi melalui mesin yang semakin mendominasi dunia desain. Gerakan Dadaisme yang muncul pada 1916 mulai menekankan keseragaman desain. Sementara Theo Van Doesburg memperkenalkan elemen desain seperti bentuk segi empat dan warna dasar. Pada 1918, konstruktivisme membawa perubahan lewat penggunaan huruf sans-serif dan desain fungsional, diikuti oleh gerakan Bauhaus pada 1919 yang mengutamakan fungsi dibanding estetika. Pada 1950-an, Swiss Style muncul dengan desain minimalis dan tipografi sans-serif. Helvetica merupakan font yang diciptakan Max Miedinger pada 1951 menjadi ikon desain grafis. Perkembangan teknologi pada 1984 seperti penggunaan komputer oleh majalah Émigré turut menandai peralihan desain grafis ke dunia digital.
Di abad ke-20, desain grafis berkembang pesat tidak hanya terbatas pada media cetak, tetapi juga meluas ke pakaian, kemasan, dan sistem informasi visual. Teknologi yang makin maju memungkinkan desain grafis diterapkan dalam berbagai sektor kehidupan. Di abad ke-21, desain grafis menjadi profesi global melalui istilah "desain komunikasi visual" untuk menggambarkan peran desainer dalam menyampaikan pesan melalui elemen visual. Kemajuan perangkat digital dan perangkat lunak desain membuat pekerjaan desainer semakin cepat dan efisien, serta menciptakan karya visual yang lebih dinamis. Desain dapat dibuat dan diedit dengan cepat menggunakan alat digital sehingga mengurangi ketergantungan pada proses manual. Pada saat yang sama, desain grafis berkembang menjadi lebih kompleks, mencakup desain web, media sosial, dan branding perusahaan yang lebih dinamis. Seiring waktu, desain grafis semakin mengintegrasikan elemen-elemen interaktif dan animasi untuk menciptakan pengalaman visual yang lebih mendalam bagi audiens.
2. Gempuran AI berbasis generatif dan era baru dalam mendulang kreativitas

Munculnya AI berbasis generatif seperti MidJourney, DALL-E, ChatGPT, bahkan AI dalam bentuk media sosial seperti Meta AI membuka cakrawala dan segala kemungkinan baru yang tak terbayangkan sebelumnya. Kini, seni tidak lagi terbatas pada keterampilan teknis manusia. Melalui keterlibatan mesin dan mengandalkan algoritma machine learning, AI mampu mengolah data dari berbagai gaya seni dan menghasilkan karya yang menakjubkan seperti gambar, logo, ilustrasi, dan deskripsi singkat untuk produk visual. Teknologi ini memberikan aksesibilitas lebih luas pada orang-orang dari beragam latar belakang. Bahkan, mereka yang tidak memiliki pengalaman dalam membuat karya seni sekalipun bisa menciptakan karya visual yang mengagumkan hanya dalam beberapa klik saja.
Bagi para seniman digital, AI bisa menjadi alat bantu yang melenakan. Hal ini karena AI mendorong manusia untuk semakin ketergantungan olehnya dan juga memancing mereka agar dapat menemukan inspirasi baru. Misalnya, AI dapat digunakan untuk merancang konsep awal lukisan, membuat variasi warna yang lebih kompleks, atau bahkan membantu musisi menciptakan melodi unik. Perkembangan ini juga memunculkan pertanyaan tentang peran seniman manusia dalam dunia seni dan desain. Apakah kreativitas manusia yang berakar pada pengalaman, emosi, dan persepsi dunia menjadi semakin tak relevan di tengah derasnya arus AI yang bisa menciptakan karya tanpa batas?
3. Seniman atau mesin? Dilema keaslian dalam karya AI

Dilema orisinalitas dan authenticity menjadi persoalan terkait karya seni yang dihasilkan oleh AI. Pada hakikatnya, bagaimana bisa menyebut sebuah karya sebagai "seni" jika ia tidak diciptakan langsung oleh manusia? Mungkin ini yang menjadi kekhawatiran. AI hanya mengolah data dan pola. Namun, rasa dan karsa manusia yang terpatri dalam jiwa seniman tak bisa ditiru atau digantikan. Meski AI generated-image mampu menciptakan visual yang menarik, karya tersebut sering kali terasa hampa bila emosi dan pemaknaan tidak dilibatkan dalam diri setiap insan seniman. Tentu saja, dilema ini wajar dihadapi oleh banyak orang di dunia seni. Apakah karya yang dihasilkan oleh mesin AI maupun algoritma machine learning tetap dianggap sebagai bentuk ekspresi artistik atau mengejar viral berkat dalih artisanal?
Keaslian karya seni bukan hanya soal kaya teknik, tetapi juga meramu konteks dan pemahaman yang dibawa oleh seniman. Perupa seni saat menghasilkan karya tentu meluangkan sedikit banyaknya waktu untuk merenung, merasakan, dan memberi makna dari pengalaman serta perspektif pribadinya. Sementara AI dalam menghasilkan karya punya kelemahan karena tidak memiliki pengalaman hidup atau konteks sosial yang sama dengan manusia. Oleh karena itu, banyak yang mempertanyakan apakah karya tersebut dapat mewakili sesuatu yang lebih dalam atau sekadar salinan dari apa yang telah ada sebelumnya. Seniman yang bergantung pada kecerdasan emosional dan latar belakang personal dalam berkarya merasa bahwa AI mengancam nilai-nilai dasar dalam seni itu sendiri.
4. Datangnya AI, apakah sebuah ancaman atau mitra bagi seniman?

Ancaman kecanggihan teknologi memungkinkan penciptaan karya seni jadi tak natural. Sulit dibedakan memang jika karya seni yang diciptakan apakah menggunakan sentuhan manusia atau algoritma canggih. Ketika seni diciptakan oleh mesin, muncul ketakutan akan hilangnya keunikan dan peran seniman dalam mengungkapkan identitas pribadi melalui karya mereka. Jika karya seni bisa dibuat begitu mudah oleh algoritma, apakah masih ada ruang bagi seniman manusia di masa depan? Lansiran laporan dari WEF semakin membuat bayang-bayang seniman digital jadi makin gelisah karena berkurangnya nilai estetika yang hanya bisa diwujudkan oleh tangan manusia. Tergesernya peran seniman digital semakin terpinggirkan dalam industri seni yang semakin terotomatisasi.
Namun, seperti kata pepatah bahwa tiap masa ada tantangannya sendiri. Banyak seniman melihat AI sebagai mitra yang dapat membantu mereka menyelami kreativitas mereka. Perupa seni maupun seniman bisa leluasa dalam bereksperimen ide-ide baru yang sebelumnya sulit terpecahkan. Misalnya desain yang diciptakan berbasis data atau menciptakan karya seni yang lebih imersif melalui bantuan algoritma. Alih-alih menggantikan seniman, AI bisa menjadi pemecah kebuntuan kreatif yang menginspirasi karya yang lebih inovatif.
AI dalam dunia seni memang menggiurkan berkat potensinya yang luar biasa, tetapi juga menjadi hal yang melenakan bagi seniman digital. Duka yang begitu pelik membelut mereka. Seakan peran mereka tergerus oleh mesin yang bisa menciptakan karya dalam waktu singkat dan biaya yang jauh lebih murah. Pada akhirnya, kreativitas manusia tetap menjadi elemen yang tak tergantikan dalam seni.
Tren teknologi boleh terus berkembang. Tapi, satu hal yang pasti adalah kemampuan rasa dan karsa manusia tak bisa dikalahkan. Selama AI digunakan secara bijak sebagai alat bantu, seni akan terus berkembang dengan caranya sendiri. Hasil karya seni akan tetap abadi karena esensi seni terletak pada kemampuan manusia menghubungkan perasaan, pengalaman, dan nilai-nilai yang melampaui teknologi. Jadi, bagaimana menurut kamu? Apakah AI dalam seni lebih banyak mendatangkan manfaat atau justru membawa mudarat? Bagikan sudut pandang kamu, yuk!