Kenapa di Bali Tidak Ada Gedung Tinggi? Ini Alasannya!

Saat ke Bali, kamu hampir tidak akan menemukan gedung pencakar langit yang menjulang tinggi seperti di kota besar lainnya. Meski Pulau Dewata dikenal sebagai destinasi wisata internasional dengan berbagai daya tariknya , Bali memilih membatasi tinggi bangunan secara ketat.
Di Bali, langit yang bersih dari gedung-gedung tinggi merupakan pemandangan sehari-hari yang tak biasa kamu temui di tempat lain. Dengan begitu, banyak wisatawan yang datang setiap tahun.
Mungkin kamu bertanya-tanya, apa alasan di balik kebijakan tersebut? Kenapa Bali, yang dikenal dengan keindahan alamnya, memilih menjaga langitnya tetap bebas dari gedung pencakar langit? Ini jawaban dari kenapa di Bali tidak ada gedung tinggi!
1. Peraturan daerah tentang ketinggian bangunan

Dilansir Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2023 mengenai Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2023—2043, batas maksimum ketinggian bangunan di Pulau Dewata hanya setinggi 15 meter. Dengan kata lain, bangunan yang ada di Bali hanya setara dengan gedung setinggi 4 lantai saja.
Kebijakan yang berlaku tersebut dirancang untuk mencegah dominasi struktur beton yang bisa merusak keindahan visual pulau. Penetapan batas ini bertujuan menjaga agar bangunan tidak mengganggu pemandangan alam Bali yang memesona, termasuk gunung yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat. Dengan aturan ini, Bali mempertahankan keaslian visual pulau dan mencegah dampak negatif pembangunan yang tidak terkontrol.
Kebijakan ini juga mengakomodasi pengecualian untuk bangunan dengan kepentingan khusus, seperti infrastruktur peribadatan dan fasilitas umum. Meskipun begitu, penetapan batas ini sangat memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan dan perlindungan terhadap keindahan alam serta warisan budaya Bali. Upaya ini merupakan bagian dari strategi jangka panjang untuk memastikan bahwa Bali tetap menjadi destinasi yang menarik dan nyaman bagi pengunjung maupun penduduk lokal.
2. Menerapkan filosofi Tri Hita Karana

Filosofi Tri Hita Karana, yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan spiritualitas, sangat mempengaruhi pembatasan ketinggian bangunan di Bali. Prinsip Tri Hita Karana ini menekankan pentingnya hubungan harmonis antara pembangunan dan lingkungan sekitar, serta menjaga keseimbangan antara kebutuhan manusia sekaligus pelestarian alam. Dalam konteks ini, pembatasan ketinggian bangunan bertujuan untuk memastikan bahwa pembangunan tidak mengganggu hubungan harmonis ini.
Penerapan Tri Hita Karana dalam perencanaan kota dan pembangunan infrastruktur di Bali memastikan bahwa segala bentuk pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan dampaknya terhadap lingkungan dan nilai-nilai spiritual. Filosofi ini dasar dari kebijakan yang menekankan pentingnya menjaga keseimbangan antara modernisasi dan pelestarian budaya, sehingga pembangunan tidak mengorbankan nilai yang telah lama ada di Bali.
3. Sebagai peghormatan terhadap tempat suci yang ada di Bali

Kehadiran tempat-tempat suci, seperti Gunung Agung, memiliki pengaruh besar terhadap kebijakan pembatasan ketinggian bangunan. Gunung ini dianggap sebagai pusat spiritual dan tempat tinggal para dewa oleh masyarakat Bali, sehingga penting untuk menjaga agar pandangan ke arah gunung ini tidak terganggu oleh struktur bangunan yang tinggi. Dalam budaya Bali, menghormati pandangan ke arah gunung-gunung suci merupakan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai spiritual dan keagamaan yang sangat dihargai.
Lebih jauh lagi, pembatasan ketinggian bangunan juga berfungsi memastikan bahwa arsitektur modern tidak merusak keindahan alam Bali. Menghormati lanskap alam dan tempat-tempat suci adalah bagian integral dari bagaimana masyarakat Bali mempertahankan identitas budaya mereka. Dengan melindungi pandangan ini dari gangguan struktural, Bali tidak hanya menjaga warisan spiritual tetapi juga memastikan bahwa keindahan alamnya tetap terjaga.
4. Mengurangi dampak lingkungan dan kepadatan

Pembatasan ketinggian bangunan juga berfungsi mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Bangunan tinggi sering kali memerlukan infrastruktur yang lebih kompleks, seperti sistem transportasi dan utilitas yang lebih besar, yang dapat menambah beban pada lingkungan.
Kepadatan yang diakibatkan oleh pembangunan tinggi dapat menyebabkan masalah, seperti pencemaran udara dan penurunan kualitas hidup penduduk. Dengan membatasi ketinggian, Bali berusaha menjaga agar pertumbuhan kota tetap terkendali dan dampak negatif terhadap lingkungan bisa diminimalisir.
Langkah ini juga membantu memastikan bahwa Bali tidak mengalami overpopulasi yang dapat merusak kualitas lingkungan. Pembatasan ini dirancang memfasilitasi pertumbuhan yang lebih berkelanjutan dengan mempertimbangkan kapasitas infrastruktur yang ada dan kebutuhan lingkungan. Dengan demikian, Bali dapat mempertahankan daya tariknya sebagai destinasi wisata sambil menjaga kualitas hidup bagi penduduk lokal.
5. Pengecualian dan kasus khusus

Walau terdapat larangan pembangunan gedung tinggi, tetapi di Bali sebenarnya terdapat beberapa bangunan yang melebihi batasan ketinggian yang ditetapkan pemerinth daerah setempat, lho. Contoh paling mencolok adalah Hotel Grand Inna Bali Beach dan Patung Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Hotel Grand Inna Bali Beach yang berada di Sanur satu-satunya hotel di Bali dengan ketinggian kurang lebih 10 lantai. Grand Inna Bali Beach jadi salah satu pengecualian, karena hotel ini dibangun pada 1966, sebelum adanya aturan mengenai pembatasan ketinggian gedung diresmikan.
Sementara itu, patung GWK, yang merupakan simbol budaya dan agama Bali, juga memiliki ketinggian melebihi batas yang ditetapkan. Patung ini merupakan mahakarya seniman I Nyoman Nuarta dan berdiri di bekas tambang batu kapur.
Keberadaan Patung GWK dan Hotel Grand Inna Bali Beach dapat dipahami sebagai pengecualian yang dirancang untuk menjaga potensi pariwisata sekaligus melambangkan identitas budaya Bali. Patung GWK, dengan ukuran dan ketinggiannya, tidak hanya berfungsi sebagai landmark, tetapi juga sebagai simbol kebanggaan budaya dan spiritual masyarakat Bali.
Hal ini menunjukkan bagaimana kebijakan ketinggian bangunan dapat diadaptasi untuk mendukung proyek-proyek yang memiliki nilai budaya dan pariwisata yang signifikan. Namun, ada perdebatan mengenai apakah pengecualian ini berpotensi merusak estetika pulau atau justru memperkaya pengalaman wisatawan. Evaluasi diperlukan untuk memastikan bahwa pengecualian tersebut tetap sejalan dengan tujuan pelestarian dan pengembangan Bali.
Melihat Bali tanpa gedung tinggi bisa jadi pengalaman yang unik. Meski ada pro dan kontra, jelas bahwa peraturan ini bukan hanya tentang batasan tinggi bangunan, tetapi juga menjaga keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian budaya. Bali menjadi contoh bagaimana menjaga keindahan alam dan warisan budaya bisa berjalan beriringan.