5 Kesalahan Umum Pendaki Pemula saat Salah Memahami Grade Gunung

Mendaki gunung memang selalu jadi aktivitas yang menantang sekaligus menyenangkan. Banyak orang menganggap bahwa mendaki hanyalah soal kekuatan fisik dan semangat. Padahal, ada faktor penting yang sering diabaikan, yaitu pemahaman tentang grade gunung atau tingkat kesulitan pendakian.
Grade gunung biasanya digunakan untuk menggambarkan seberapa sulit medan pendakian, mulai dari jalur yang relatif mudah hingga ekstrem dan hanya bisa dilalui pendaki berpengalaman. Sayangnya, banyak pendaki pemula yang salah memahami konsep ini. Alhasil, sering melakukan kesalahan yang bisa berdampak pada keselamatan dan kenyamanan selama pendakian.
Nah, berikut lima kesalahan umum yang sering dilakukan pendaki pemula ketika salah memahami grade gunung.
1. Menganggap grade mudah berarti tanpa risiko

Banyak pendaki pemula mengira bahwa jika suatu gunung memiliki grade mudah, maka pendakian bisa dilakukan tanpa persiapan matang. Padahal, sekalipun jalurnya tidak terlalu curam, risiko seperti dehidrasi, cuaca ekstrem, hingga cedera tetap bisa terjadi.
Misalnya, Gunung Andong di Jawa Tengah dikenal sebagai gunung untuk pemula. Namun, jika pendaki tidak membawa air minum cukup atau mengabaikan kondisi cuaca, risiko tetap bisa menghampiri. Jadi, meski grade-nya mudah, tetap butuh persiapan mental, fisik, serta perlengkapan dasar.
2. Menyamakan semua grade di setiap gunung

Kesalahan lain adalah menganggap grade gunung berlaku sama di semua tempat. Faktanya, sistem grade bisa berbeda di tiap negara atau komunitas pendaki.
Contoh, jalur dengan durasi 3 jam di gunung dengan medan landai bisa dianggap easy grade, tetapi durasi yang sama di gunung berbatu terjal bisa masuk kategori moderate atau bahkan hard. Jadi, jangan langsung menyamakan arti grade tanpa mencari tahu detail jalurnya.
3. Mengabaikan faktor cuaca dan musim

Banyak pemula hanya melihat grade di musim normal, lalu menganggap kondisi jalur akan sama sepanjang tahun. Padahal, grade bisa berubah tergantung cuaca dan musim.
Contohnya, jalur menuju puncak Gunung Rinjani pada musim kemarau mungkin dianggap moderat. Namun, saat musim hujan, jalur menjadi licin dan rawan longsor sehingga tingkat kesulitannya jelas meningkat. Mengabaikan faktor ini bisa membuat pendakian jauh lebih berbahaya.
4. Meremehkan pentingnya fisik dan mental

Beberapa pendaki pemula hanya fokus pada jalur, tanpa mempertimbangkan kesiapan fisik dan mental. Para pemula mengira jika grade gunung rendah, maka semua orang bisa sampai puncak dengan mudah.
Padahal, meskipun jalur ringan, kondisi fisik yang tidak terlatih atau mental yang kurang siap bisa membuat pendakian terasa berat. Napas tersengal, otot cepat lelah, atau rasa panik di ketinggian sering kali muncul, bahkan di gunung dengan grade rendah sekalipun.
5. Tidak membekali diri dengan informasi lengkap

Kesalahan terakhir adalah hanya melihat grade tanpa mencari informasi detail. Banyak pendaki pemula yang tidak membaca review jalur, peta rute, atau pengalaman pendaki lain. Akibatnya, akan kaget saat menemukan tanjakan curam, jalur berbatu, atau minim sumber air.
Membaca grade memang penting, tetapi informasi lapangan jauh lebih krusial. Pendaki sebaiknya juga menyiapkan alternatif, seperti membawa peta offline, bertanya kepada porter, atau bergabung dengan komunitas pendaki agar lebih siap menghadapi kondisi nyata.
Memahami grade gunung memang bisa membantu pendaki mempersiapkan diri, tetapi jangan sampai salah kaprah. Grade bukan satu-satunya penentu keamanan dan kenyamanan pendakian. Masih ada faktor cuaca, kondisi fisik, mental, serta pengetahuan tentang jalur yang perlu diperhatikan.
Dengan menghindari lima kesalahan umum di atas, pendakian akan terasa lebih aman, menyenangkan, dan tentunya lebih berkesan. Jadi, sebelum memutuskan untuk naik gunung, pastikan sudah memahami arti grade dengan benar sekaligus membekali diri dengan persiapan matang.