WANSUS IKOHI: Pernyataan Fadli Zon soal 1998 Upaya Pengaburan Sejarah

- Fadli Zon menyangkal pemerkosaan massal 1998, disebut "ngawur" oleh IKOHI.
- IKOHI melihat penyangkalan Fadli Zon sebagai upaya mengaburkan sejarah dan penderitaan korban.
- IKOHI mendampingi korban peristiwa 1998, termasuk pemerkosaan massal terhadap etnis Tionghoa.
Jakarta, IDN Times - Pernyataan Fadli Zon yang menyangkal adanya pemerkosaan massal 1998 memunculkan berbagai respons publik. Pernyataan ini membuka kembali nadir dan luka lama pemerkosaan yang Mei 1998 yang hingga sampai saat ini saja masih belum jelas arah hukumnya.
Sekretaris Umum Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), Zaenal Muttaqin membagikan perspektifnya soal pernyataan Fadli ini yang salah satunya dianggap "ngawur".
Fadli Zon mengatakan, apa yang terjadi di peristiwa Mei '98 masih bisa diperdebatkan, termasuk informasi mengenai ada pemerkosaan massal. Menurut dia, selama ini tidak pernah ada bukti pemerkosaan massal pada peristiwa Mei '98.
"Kalau itu menjadi domain kepada isi dari sejarawan. Apa yang terjadi? Kita gak pernah tahu, ada gak fakta keras kalau itu kita bisa berdebat. Nah, ada perkosaan massal. Betul gak ada perkosaan massal? Kata siapa itu? Itu gak pernah ada proof-nya (bukti). Itu adalah cerita. Kalau ada, tunjukkan. Ada gak di dalam buku sejarah itu? Gak pernah ada," ucap Fadli Zon dalam program Rela Talk with Uni Lubis by IDN Times, Senin (8/6/2025).
Berikut adalah wawancara khusus IDN Times dengan Zaenal terkait pernyataan Fadli Zon dan bagaimana kasus pemerkosaan massal ini menjadi jejak luka yang tak pernah disembuhkan.
1. Bagaimana anda menanggapi pernyataan Fadli Zon?
Ya, pertama itu penyangkalan yang terlalu ngawur ya. Karena itu kan peristiwa ’98, kerusuhan ’98, di mana ada korban yang terbunuh, ada pemerkosaan massal, dan kebakaran di berbagai tempat di Jakarta ya, terutama di Mall Klender. Itu kan sebagai fakta sejarah dan ditulis dalam laporan Tim Gabungan Pencari Fakta ya, TGPF ya, di tahun ’98 itu. Jadi sebenarnya itu tidak bisa disangkal.
Dari peristiwa itu pula yang mendasari dibentuknya Komnas Perempuan, dari hasil laporan TGPF itu. Jadi sejarah Komnas Perempuan itu kan oleh Presiden Habibie, kemudian dibentuk untuk menjaga peristiwa itu. Dan itu kan pidato Presiden Habibie di depan MPR waktu itu ya, atau DPR RI, itu kan sudah menjadi legitimasi bahwa peristiwa itu memang terjadi.
Memang banyak korban, walaupun tidak dilakukan penyidikan hingga ada pengadilan. Tapi kan Tim Gabungan Pencari Fakta itu dari berbagai unsur ada dari masyarakat sipil, ada dari tim ahli, aktivis HAM, ada dari kepolisian, kejaksaan.
Sehingga pernyataan Pak Fadli Zon itu memang pernyataan yang ingin mengaburkan sejarah. Dan justru memang menjadi kontraproduktif dari upaya untuk menulis sejarah, dengan menghilangkan satu babakan perjalanan bangsa ini. Karena MPR itu kan penanda dari reformasi politik. Jadi tidak mungkin ada peristiwa besar dalam ’98, kemudian menjadi penanda kejatuhan Presiden Soeharto waktu itu, kalau memang tidak ada peristiwa itu.
Kalau Pak Fadli Zon kan bilang bahwa Presiden Soeharto jatuh karena krisis ekonomi. Padahal, ada banyak peristiwa itu di Jakarta, di Solo, di Lampung, di Medan, di Surabaya. Itu terjadi peristiwa yang hampir mirip, terutama di Jakarta dan Solo, di mana memang ada pembakaran aset-aset milik kelompok Tionghoa. Kemudian ada pemerkosaan yang memang itu fakta, yang sayangnya memang tidak ada proses hukum.
Itu sih yang kemudian kami di berbagai komunitas organisasi korban memang sangat kecewa dengan pernyataan itu, kemudian melakukan konsolidasi untuk melawan narasi yang ingin disampaikan dan upaya untuk menghilangkan sejarah itu.
2. Apakah IKOHI melihat penyangkalan ini sebagai bentuk pengingkaran pada fakta sejarah dan penderitaan korban, apalagi jika dilihat dari sisi korban?
Satu hal lagi, penyangkalan yang sangat bertentangan. Presiden Jokowi sendiri, atas nama Presiden Republik Indonesia, sudah mengakui terjadinya peristiwa itu. Menyesali, pada tanggal 11 Januari 2023, hasil kerja Tim PPHAM itu. Itu kan jelas bahwa telah terjadi 12 kasus pelanggaran berat, dari peristiwa ’65 hingga ’98. Itu yang coba akan dihilangkan oleh Fadli Zon dengan tim penulis buku sejarah barunya itu.
Itu kan masuk lembaran negara. Masuk sejarah bangsa ini juga. Pidato resmi Presiden Republik Indonesia. Itu tentu akan ada problem ketatanegaraan dalam negara Indonesia.
3. Apakah IKOHI sendiri adalah organisasi yang mencakup keluarga korban-korban seperti itu atau bagaimana?
Jadi kami mendampingi korban peristiwa kebakaran di Mall Klender pada tanggal 11–13 Mei 1998. Memang untuk korban-korban perkosaan itu langsung didampingi Komnas Perempuan dan PINTI-Perempuan Tionghoa Indonesia, organisasi Tionghoa Indonesia khusus perempuan.
Jadi setiap tahun kami mengadakan, IKOHI, Komnas Perempuan, dan PINTI, mengadakan peringatan tahunan yang dipusatkan di Taman Pemakaman Umum Pondok Rangon, Jakarta Timur. Jadi kita sudah ada kerja tahunan, masing-masing mendampingi. Kami mendampingi keluarga korban yang terbakar di Mall Klender atau di kawasan Jakarta Timur.
Dari peristiwa itulah Komnas HAM mengeluarkan surat keterangan korban pelanggaran HAM. Jadi yang didampingi Ikohi itu ada 25 korban, keluarga korban dalam kerusuhan itu. Kemudian PINTI juga memiliki data untuk korban kerusuhan, korban pemerkosaan.
Karena tidak ada proses hukum, maka korban masih trauma, tidak berani terbuka. Ada serangan balik dari militer, misalnya seperti itu. Dianggap pencemaran nama baik. Dan banyak dari mereka tidak pulang ke Indonesia. Ada yang di Amerika, ada yang ke Taiwan, ada yang ke Australia. Jadi mayoritas kami pertemuan tiap tahun, konsolidasi tiap tahun di Komnas Perempuan. Mereka masih trauma dengan peristiwa itu. Tidak ada upaya untuk menyelesaikan.
4. Fadli Zon mengeluarkan klarifikasi yang mengatakan permasalahannya ada di data. Namun bagaimana IKOHI melihatnya?
Lebih dalam IDN Times menanyakan apakah kondisi minimnya data juga mempertebal kesulitan untuk dapat memperluas akses terhadap terbukanya informasi soal kasus-kasus Mei 1998, termasuk pemerkosaan massal?
Ya, khusus pemerkosaan ini, apalagi terhadap etnis Tionghoa. Jadi mereka kan jelas sebagai kelompok minoritas yang ganda—mayoritas Kristen, Tionghoa, perempuan. Itu kan susah untuk—kecuali yang meminta data adalah lembaga resmi, misalnya penyidik ya, yang akan membawa proses pengadilan.
Memang Komnas Perempuan sendiri juga kesulitan untuk meminta, mendata, atau meminta mereka untuk speak up ya. Karena kan tidak ada jaminan. Khawatir kalau tahun-tahun ini mereka speak up soal peristiwa itu, justru akan mendapatkan kriminalisasi. Kan tidak ada jaminan. Masalahnya memang begitu.
Tapi kan kalau merujuknya dari laporan Tim Gabungan Pencari Fakta, oleh Komnas HAM dan penegak hukum tahun 1998 itu, kan mestinya itu menjadi dasar untuk ditindaklanjuti dalam proses penyidikan. Kan Komnas HAM itu sudah selesai melakukan penyelidikan pro Justitia ya, sebagai langkah pertama dalam proses hukum. Kemudian Kejaksaan Agung tidak menindaklanjuti. Jadi memang ada missing link di situ.
Jadi korban itu tidak berani terbuka, tidak berani bicara, atau tidak menunjukkan profilnya karena memang tidak ada jaminan bahwa itu akan masuk proses hukum, akan ada jaminan keamanan, tidak ada serangan balik dari pihak-pihak yang berpotensi mengkriminalisasi mereka.
Jadi kalau ditanya data, ya karena tidak ada jaminan, mereka tidak berani keluar. Itu ya.
Tapi kalau mau minta Komnas HAM ya pasti akan ditunjukkan. Maksudnya, ada kode, ada BAP itu ya, ACP, profilnya segini, alamatnya di mana, apa, kan bisa ditelusuri. Itu kan harus Komnas HAM minta. Makanya Komnas HAM dan Komnas Perempuan kan meng-counter pernyataan Fadli Zon itu.
5. Bagaimana IKOHI melihat pernyataan seperti ini yang kerap berulang. Termasuk juga dengan adanya wacana penulisan sejarah ulang?
IDN Times memperdalam dengan meminta pesan yang bisa IKOHI sampaikan terkait dengan narasi-narasi yang kerap dikeluarkan negara seperti ini?
Ya ini kan upaya yang kesekian kalinya sejak zaman Orde Baru untuk menutup, menutup apa, menyangkal peristiwa, terutama apa, secara spesifik pelanggaran-pelanggaran HAM ya. Dari sejak peristiwa 1965 sampai 1998. Dan itu upaya yang terus, tapi itu kan tidak bisa dibendung ya di era keterbukaan seperti ini.
Ribuan mahasiswa sejarah, jurusan politik, jurusan hukum itu kan sudah melakukan penulisan, rekonstruksi peristiwa itu. Kemudian banyak juga kesaksian-kesaksian yang tersebar entah melalui audiovisual, wawancara dan sebagainya. Itu kan tersebar.
Dan ya dengan rencana penulisan ulang Sejarah Nasional Indonesia itu juga saya kira tidak akan bisa berhasil ya. Karena sekarang kan anak-anak muda bisa mengakses semua peristiwa itu. 1998 itu karya-karya jurnalistik, karya film, dokumen dan sebagainya itu kan sudah banyak tersebar.
Dan kalau tujuannya ingin supaya ada narasi positif—memang sejarah Indonesia tidak penuh dengan peperangan? Sejarah kemerdekaan perang semua. Sejarah kolonial, pahlawan-pahlawan semua itu pahlawan perang semua. Jadi kalau narasinya ingin menghapus kekerasan, peristiwa kekerasan, supaya positif, berarti tidak ada sejarah nasional.
Sejarah nasional di pergerakan nasional itu selalu dengan pemberontakan-pemberontakan, versinya Belanda. Tapi kan bagi Indonesia perjuangan itu. Itu kan pasti akan banyak. Tidak akan berpengaruh apa-apa bagi kami.
Upaya itu upaya sia-sia untuk menutupi sejarah. Karena sejak reformasi kan hampir semua orang yang peduli dengan sejarah di Indonesia itu kemudian mengungkap, menelusuri, meluruskan sejarah yang ditutup semasa Orde Baru.
Kita tahu bahwa semua jurusan sejarah itu masih kritis-kritis. Sejarah yang dipelajari, metode penulisan skripsi itu kan sejarah kritis semua. Sehingga makanya tidak ada sejarah yang besar ditutup.
Sama dengan ini kan Jepang, Belanda menyangkal telah melakukan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan di tanah jajahannya. Misalnya ada Jugun Ianfu. Atau jadi apa, pemerkosaan terhadap para perempuan Indonesia di masa perang kemerdekaan. Tapi itu kan tidak bisa disangkal karena karya-karya itu sendiri sudah diungkap oleh peneliti-peneliti Belanda sendiri, peneliti Jepang sendiri.
Sampai sekarang misalnya Jepang menyangkal Jugun Ianfu, tapi setiap tahun kan semua korban di seluruh Asia Pasifik memperingati kejahatan Jepang dalam Jugun Ianfu. Itu kan tidak bisa dihindari.
Termasuk hari-hari kemerdekaan nasional di Asia Afrika itu kan puncak dari kekerasan yang dilakukan oleh kolonial. Itu kan walaupun kolonialisme menyangkal hari kemerdekaan 17 Agustus. Itu apa? Itu kan seperti hari pembebasan dari kolonialisme. Sama dengan yang dilakukan oleh—mana? Filipina, yang dilakukan oleh bangsa-bangsa Asia Afrika. Itu kan sama seperti itu.
Dan saya, kami melihat pertama, penyangkalan itu tidak akan berdampak besar bagi generasi baru. Indoktrinasi tentu tidak akan berhasil. Bahkan di masa Orde Baru di mana-mana, di bawah represi militer, itu tidak berhasil.
Kemudian kedua, guru-guru sejarah sekarang itu kompetensinya memang. Mahasiswa sejarah beda dengan yang di zaman Orde Baru. Banyak guru sejarah asal, misalnya guru agama mengajar sejarah, guru olahraga mengajar sejarah. Itu tidak. Tentu mereka sendiri tidak akan mengajarkan pembelokan sejarah seperti itu.
Dan yang berikutnya, ya ini maknanya politis. Dan harus—kalau ingin menghilangkan peristiwa ’98, ya beberkan Komnas HAM, beberkan Komnas Perempuan, beberkan jurusan sejarah.
Kalau itu semua dihapuskan begitu, sejarahnya Komnas HAM itu dari peristiwa kejahatan kemanusiaan di masa Pak Soeharto. Kemudian Komnas Perempuan lahir karena perkosaan massal terhadap etnis Tionghoa. Lahirlah Komnas Perempuan. Lalu ada Komnas Anak juga. Ada Komnas apa yang lain-lain ya. Ombudsman dan sebagainya. Itu jawaban dari peristiwa ’98 itu.
Jadi saya kira, ya itu kami melihat sebagai proyek saja. Karena nanti ada nilai uang ya. Ya penulisan ada 9 miliar, nanti cetak bukunya segala macam. Itu kan lebih ke… dan upaya untuk menghapus kejahatan Soeharto. Itu kan berbarengan dengan rencana, upaya untuk memberikan gelar pahlawan kepada Presiden Soeharto sejak 10 tahun terakhir. Itu kan kemudian selalu gagal karena banyak sejarawan yang mengatakan: bagaimana, kejahatannya banyak, tidak diusut, tidak diberikan gelar pahlawan.
Nah ini upaya yang tersistematis dari Fadli Zon sebagai anak ideologis Soeharto untuk menghapus kejahatan Orde Baru. Seperti itu.