Aturan Wajib EV 2035 di Eropa Bakal Terganjal Isu Hybrid

Uni Eropa sejak 2023 telah menetapkan target ambisius: hanya kendaraan tanpa emisi yang boleh dijual mulai 2035. Namun, menjelang pertengahan dekade ini, arah kebijakan tersebut mulai mendapat tantangan besar. Sejumlah pemimpin negara Eropa menilai rencana itu terlalu kaku dan berisiko mengganggu stabilitas industri otomotif yang saat ini sedang menghadapi tekanan berat.
Usulan untuk tetap mengizinkan penjualan kendaraan hybrid setelah 2035 pun menjadi perdebatan baru. Di tengah permintaan kendaraan listrik yang melambat dan kompetisi agresif dari produsen China, beberapa negara merasa perlu mempertahankan teknologi peralihan seperti PHEV dan range extender agar industri tetap berjalan.
1. Desakan melonggarkan aturan

Sebuah koalisi pemimpin Eropa—yang terdiri dari Perdana Menteri Italia Giorgia Meloni, PM Polandia Donald Tusk, PM Slowakia Robert Fico, PM Hongaria Viktor Orban, PM Ceko Petr Fiala, dan PM Bulgaria Rosen Zhelyazkov—mengirim surat resmi kepada Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen. Dalam surat tersebut, mereka meminta agar teknologi plug-in hybrid, range extender, dan fuel-cell tetap diizinkan beredar setelah 2035.
Alasan mereka cukup jelas: industri otomotif Eropa tengah menghadapi “badai sempurna”. Penjualan kendaraan listrik melemah, biaya energi naik, upah meningkat, dan tekanan kompetisi dari produsen mobil China semakin terasa. Tidak hanya itu, ancaman tarif perdagangan dari Amerika Serikat juga ikut membayangi. Menurut mereka, menghapus mesin pembakaran internal secara total justru bisa membuat Eropa kehilangan daya saing dan berubah menjadi “gurun industri”.
2. Ketegangan antarnegara dalam kebijakan otomotif

Sejumlah produsen besar seperti Volkswagen, Stellantis, dan Renault kini mencermati ketat perkembangan kebijakan ini. Keputusan mengenai 2035 akan berpengaruh besar terhadap miliaran euro investasi yang sudah ditanam di sektor elektrifikasi.
Italia dan Jerman termasuk pihak yang paling vokal memperjuangkan fleksibilitas teknologi demi melindungi industri nasional mereka. Sebaliknya, Prancis mengambil posisi lebih pro-EV dengan terus mendorong elektrifikasi demi mempertahankan lapangan pekerjaan dan inovasi. Perbedaan pendekatan ini membuat Uni Eropa sulit mencapai konsensus tunggal, terutama ketika masing-masing negara memiliki prioritas ekonomi yang berbeda.
3. Tren global ikut meninjau ulang target

Peninjauan ulang target 2035 ternyata tidak hanya terjadi di Eropa. Di Amerika Serikat, California—yang selama ini menjadi pelopor kebijakan lingkungan agresif—juga mulai mempertimbangkan untuk mengendurkan tenggat. Ketua California Air Resources Board, Lauren Sanchez, menyatakan bahwa pihaknya akan “memikirkan kembali” rencana penghentian total penjualan kendaraan bensin pada 2035.
Rencana tersebut semakin rumit setelah Senat AS yang dikuasai Partai Republik memberikan suara untuk mencabut kewenangan California dalam menetapkan aturan emisi sendiri. Jika keputusan itu bertahan, ambisi untuk melarang penjualan kendaraan bermesin bensin bisa batal atau tertunda. Situasi ini menunjukkan bahwa transisi menuju kendaraan listrik penuh bukan hanya soal teknologi, tetapi juga dinamika politik, ekonomi, dan industri yang sangat kompleks.
Dengan berbagai tantangan tersebut, masa depan aturan wajib EV pada 2035 kini semakin tidak pasti, dan perdebatan tentang peran hybrid menjadi kunci dalam menentukan arah kebijakan otomotif global.


















