Kenapa Mobil Listrik Kurang Laku di Jepang?

- Penjualan mobil listrik di Jepang rendah, hanya 2,2% dari total penjualan kendaraan pada 2023.
- Minimnya infrastruktur pengisian daya dan ukuran EV yang dianggap terlalu besar menjadi alasan utama rendahnya minat masyarakat Jepang terhadap mobil listrik.
- Pabrikan Jepang seperti Toyota dan Honda fokus pada mobil hybrid karena investasi besar di teknologi ini sejak 1990-an, dengan alasan khawatir tren mobil listrik bisa merusak rantai pasok ICE dan hybrid.
Mobil listrik (EV) digadang-gadang bakal menjadi masa depan otomotif global, tapi anehnya mobil jenis ini justru gak laku di Jepang. Padahal, masyarakat Jepang dikenal sangat cepat mengadopsi teknologi dan kesadarannya terhadap lingkungan tinggi sangat tinggi.
Tapi, kenapa mereka seperti gak tertarik sama mobil listrik yang diklaim paling ramah lingkungan, ya? Hmm..yuk kita kulik kenapa tren mobil listrik di Jepang tidak seheboh di China dan negara-negara lain.
1. Penjualan mobil listrik di Jepang

Pada 2023, penjualan EV di Jepang mencapai 88.535 unit, naik 50 persen dari 2022 (58.813 unit), tapi hanya menyumbang 2,2 pesen dari total penjualan kendaraan sekitar 4 juta unit. Sebaliknya, mobil hybrid menguasai 55 persen pasar dengan 2,2 juta unit terjual, sementara ICE masih signifikan dengan sekitar 40 persen atau 1,6 juta unit.
Pada 2024, penjualan EV justru anjlok 33 persen menjadi 59.736 unit, dengan pangsa pasar turun ke 1,5 persen. Di sisi lain, hybrid tetap kuat dengan pertumbuhan stabil, dan ICE masih diminati untuk kebutuhan tertentu seperti truk dan mobil pedesaan.
Dari data di atas, bisa dibilang kalau penjualan mobil listrik masih kalah jauh dibandingkan mobil hybrid atau mobil bensin sekalipun.
2. Infrastruktur jadi kendala

Salah satu rendahnya minat masyarakat Jepang terhadap mobil listrik adalah minimnya infrastruktur pengisian daya. Pada Februari 2024, Jepang hanya memiliki 37 ribu titik pengisian umum, jauh lebih sedikit dibandingkan negara seperti Jerman.
Selain itu, banyak rumah di Jepang, terutama di perkotaan, tidak memiliki garasi untuk home charging, dan parkir umum sering tidak dilengkapi charging port standar. Ukuran EV, seperti Tesla Model 3, juga dianggap terlalu besar untuk tempat parkir sempit.
Sementara itu, hybrid tidak memerlukan pengisian eksternal karena baterainya terisi otomatis via pengereman, membuatnya lebih praktis. Budaya Jepang yang rawan gempa juga memengaruhi, seperti mobil tidak boleh parkir di jalan agar tidak menghalangi proses evakuasi sat terjadi gempa.
Selain itu, waktu pengisian EV yang memakan waktu 2-15 jam untuk pengisian penuh juga kurang cocok dengan gaya hidup cepat masyarakat Jepang. Sebaliknya, hybrid menawarkan pengisian bensin cepat di SPBU yang tersedia di mana-mana.
Faktor lain adalah harga EV juga lebih mahal. Misalnya, Nissan Leaf dijual mulai dari 4,5 juta yen, sedangkan hybrid seperti Toyota Corolla Hybrid sekitar 3 juta yen, jauh lebih terjangkau untuk kelas menengah.
3. Strategi Pabrikan

Pabrikan Jepang seperti Toyota dan Honda saat ini hanya fokus pada mobil hybrid karena investasi besar di teknologi ini sejak 1990-an, dengan Toyota Prius sebagai pioner. Mereka melihat hybrid sebagai jembatan menuju nol emisi tanpa mengorbankan kepraktisan.
Alasan lain kenapa pabrikan Jepang belum all out memproduksi mobil listrik karena mereka khawatir tren mobil listrik bisa merusak rantai pasok ICE dan hybrid, mengancam jutaan lapangan kerja, karena EV punya komponen lebih sederhana.
Honda pernah melakukan survei tentang mobil listrik pada 2024. Hasil survei tersebut menunjukkan ada tiga keraguan utama konsumen terhadap mobil listrik, yaitu infrastruktur, nilai jual kembali yang rendah, dan teknologi yang cepat usang.