Kenapa Perang Harga Mobil Justru Merugikan Dunia Otomotif Global?

- Margin keuntungan semakin tipis, produsen rapuh dan terancam bangkrut
- Inovasi dan kualitas bisa dikorbankan karena tekanan harga yang besar
- Ekosistem otomotif ikut terguncang, dari pemasok komponen hingga jaringan diler dan servis
Perang harga di industri otomotif China saat ini menjadi salah satu yang paling brutal dalam sejarah pasar kendaraan global. Diskon besar-besaran diberikan hampir tanpa jeda oleh para produsen mobil listrik maupun konvensional, dengan potongan harga yang mencapai 20 hingga 30 persen dalam waktu singkat. Sekilas, kondisi ini tampak menguntungkan bagi konsumen.
Tapi di balik euforia potongan harga, tersembunyi ancaman serius terhadap keberlanjutan industri otomotif itu sendiri. Lantas, mengapa perang harga mobil yang begitu ekstrem justru bisa membawa dampak buruk bagi industri dalam jangka panjang?
1. Margin keuntungan makin tipis, produsen makin rapuh

Harga jual yang terus ditekan membuat margin keuntungan produsen otomotif semakin menyusut. Menurut data terbaru, rata-rata margin industri otomotif di China pada awal 2025 hanya berada di kisaran 3,9 persen, angka yang jauh dari ideal untuk menopang biaya operasional, pengembangan teknologi, dan distribusi.
Banyak perusahaan, termasuk yang tergolong besar, kini harus mengambil utang tambahan hanya untuk menjaga kelangsungan produksi dan membayar supplier. Beberapa bahkan sudah terlambat membayar kewajiban kepada pemasok komponen. Jika tren ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin akan muncul gelombang kebangkrutan massal dari pemain kecil dan startup otomotif yang belum memiliki basis keuangan kuat.
2. Inovasi dan kualitas bisa dikorbankan

Dalam tekanan harga yang begitu besar, banyak produsen akhirnya memangkas anggaran untuk riset dan pengembangan (R&D), bahkan juga pada kontrol kualitas. Fokus utama menjadi bagaimana menjual sebanyak mungkin, secepat mungkin, dengan biaya produksi serendah mungkin.
Hal ini dapat berujung pada munculnya kendaraan-kendaraan dengan harga murah tapi kualitas yang dikompromikan, baik dari sisi ketahanan baterai, fitur keselamatan, hingga kenyamanan. Dalam jangka panjang, ini justru akan menurunkan kepercayaan konsumen terhadap produk mobil listrik atau produk Tiongkok secara keseluruhan, baik di pasar domestik maupun internasional.
3. Ekosistem otomotif ikut terguncang

Dampak dari perang harga tidak hanya dirasakan oleh produsen mobil, tetapi juga menyeret seluruh rantai pasok otomotif, mulai dari pemasok komponen, produsen baterai, hingga jaringan diler dan servis. Ketika produsen menekan harga, pemasok juga ikut ditekan untuk menurunkan biaya, padahal mereka juga butuh margin untuk bertahan hidup.
Tak sedikit pemasok yang akhirnya kolaps atau menunda produksi. Hal ini menimbulkan efek domino: terhambatnya produksi mobil baru, kekurangan suku cadang, dan memburuknya layanan purna jual karena tekanan biaya yang terus-menerus.
Jadi, perang harga mungkin bisa menjadi solusi cepat untuk mengatasi penumpukan stok dan memikat konsumen, tapi jika dilakukan secara berlebihan, ia akan menjadi jalan pintas berbahaya yang merusak ekosistem industri secara keseluruhan. China, yang saat ini menjadi pusat industri otomotif dunia, terutama di sektor mobil listrik, berisiko kehilangan kestabilannya jika produsen tidak segera menyeimbangkan strategi antara volume penjualan, inovasi, dan keberlanjutan finansial.
Pemerintah Tiongkok sendiri sudah mulai memberikan sinyal untuk menghentikan praktik banting harga tak sehat ini, karena sadar bahwa kompetisi yang terlalu murah justru bisa mengorbankan masa depan industri otomotif nasional.
Sebab, jika China jatuh dalam siklus perang harga tak berujung, bukan hanya pasar lokal yang terguncang, tapi pasar global juga bisa terkena imbasnya. Maka, perlu keseimbangan antara harga yang kompetitif dan strategi bisnis jangka panjang yang sehat.