Ciri-ciri Biker Arogan, Jangan-jangan Kamu Salah Satunya?

- Pengendara arogan merasa dirinya selalu benar
- Sikap tidak mau mengalah dan tidak mau antre sering menjadi akar dari kekacauan lalu lintas
- Pengendara arogan minim empati terhadap pengguna jalan lain
Di jalan raya, kita sering melihat berbagai perilaku pengendara yang bisa bikin geleng-geleng kepala. Ada yang sabar dan tertib, tapi ada juga yang seolah jalanan milik pribadi. Pengendara arogan bukan hanya mengganggu kenyamanan orang lain, tapi juga berpotensi menimbulkan bahaya. Menariknya, sebagian dari mereka bahkan tidak sadar bahwa dirinya termasuk dalam kategori itu. Jadi, sebelum kamu menuding orang lain, ada baiknya kamu bercermin dulu — siapa tahu tanpa sadar kamu pun pernah bersikap arogan di jalan.
Perilaku arogan di jalan tidak hanya soal kecepatan tinggi atau klakson berlebihan. Kadang, hal-hal kecil seperti menyerobot antrian atau enggan memberi jalan bisa mencerminkan karakter sesungguhnya. Jalan raya sebenarnya adalah ruang publik yang menuntut empati, kesabaran, dan rasa hormat antarpengguna. Nah, berikut ini beberapa ciri pengendara arogan yang sering tidak disadari, tapi justru paling sering terjadi di sekitar kita.
1. Menganggap diri paling benar di jalan

Ciri utama pengendara arogan adalah merasa dirinya selalu benar. Mereka cenderung menganggap orang lain lambat, tidak becus berkendara, atau “menghalangi jalan”. Padahal, tidak semua orang punya kemampuan dan refleks yang sama. Ketika seseorang menyalip tanpa memberi tanda, membunyikan klakson panjang, atau memotong jalur orang lain tanpa rasa bersalah, di situlah sikap arogan muncul. Biasanya, mereka lupa bahwa setiap pengendara punya hak yang sama untuk merasa aman dan nyaman di jalan.
2. Enggan mengalah dan tidak mau antre

Sikap tidak mau mengalah sering menjadi akar dari kekacauan lalu lintas. Pengendara arogan cenderung menolak antre di lampu merah, menyalip dari bahu jalan, atau bahkan memaksa masuk ke jalur yang sudah padat. Ironisnya, mereka sering beralasan “cuma sebentar” atau “lagi buru-buru.” Padahal, perilaku ini justru memperlambat arus kendaraan secara keseluruhan. Di sisi lain, pengendara yang sabar dan mau menunggu giliran sering dianggap “bodoh”, padahal merekalah yang sebenarnya menjaga ketertiban.
3. Tidak punya empati terhadap pengguna jalan lain

Ciri lain yang paling kentara adalah minimnya empati. Pengendara arogan jarang memperhatikan keselamatan pejalan kaki, pesepeda, atau pengguna kendaraan kecil. Mereka enggan menurunkan kecepatan saat melewati area sekolah atau pemukiman, dan menganggap lampu hazard sebagai “izin darurat pribadi.” Padahal, empati sederhana seperti memberi jalan, menyalakan lampu sein dengan benar, atau berhenti di zebra cross sudah cukup menunjukkan kedewasaan dalam berkendara.
Jalan raya adalah cermin kepribadian seseorang. Kalau kamu sering marah, mudah tersulut emosi, dan merasa semua orang di jalan salah kecuali dirimu, mungkin saatnya introspeksi. Mengemudi dengan rendah hati bukan berarti lemah — justru menunjukkan bahwa kamu cukup matang untuk mengendalikan ego. Karena pada akhirnya, keselamatan di jalan bukan hanya soal skill mengemudi, tapi soal bagaimana kamu menghormati orang lain di balik kemudi.