TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Isi Surat BPK ke Menkeu tentang Bayar Utang Tidak Perlu Tunggu Audit

Bisa dibayar tanpa perlu tunggu hasil audit BPK

Menteri Keuangan Sri Mulyani (IDN Times/Shemi)

Jakarta, IDN Times - Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Agung Firman Sampurna mengirimkan surat kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani terkait polemik penyelesaian utang atau masalah Dana Bagi Hasil (DBH) Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan Kementerian Keuangan.

Surat itu untuk menanggapi Surat Menteri Keuangan Nomor S-305/MK.07/2020 perihal Penetapan dan Penyaluran Kurang Bayar Dana Bagi Hasil Tahun Anggaran 2019 Dalam Rangka penanggulangan Pandemi Corona Virus Disease 2019.

"Kami sudah berikan surat resmi 28 April 2020," kata Firman dalam virtual workshop, Senin (11/5).

Dalam surat tersebut, Firman menyoroti bahaya hingga keanehan pada DBH Kemenkeu ke Pemprov DKI. Berikut isi lengkap surat BPK ke Menkeu.

Baca Juga: Menkeu Sri Mulyani Sudah Bayar Utang Pusat Rp2,6 T ke Pemprov DKI

1. Aturan DBH dan proporsi pembagian

Ketua BPK RI, Agung Firman (IDN Times/Feny Maulia Agutin)

Dalam surat tersebut Firman menjelaskan definisi DBH menurut Angka 20, Pasal 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.

"Disebutkan bahwa DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi," tulis Firman dalam surat tersebut.

Lebih lanjut, dalam Pasal 11 sampai 24 UU tersebut diatur proporsi pembagian DBH antara pemerintah pusat dengan provinsi dan kabupaten/kota yang seharusnya disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun berjalan.

2. Bahaya penundaan penyaluran DBH

Ilustrasi utang (IDN Times/Arief Rahmat)

Selanjutnya, pada poin kedua surat tersebut Firman menuliskan bahaya penundaan penyaluran DBH. Sebagaimana ditetapkan Perpres No 129 Tahun 2018 tentang Rincian APBN Tahun 2019 menjadi dasar penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

"Oleh karena itu, penundaan yang dilalukan oleh Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Keuangan) akan menyebabkan missmatch antara Pendapatan dan Belanja dalam APBD dalam jumlah yang signifikan," ujar Firman.

Baca Juga: Ada Skenario Hidup Normal Mulai Juni 2020, Ini Respons Sri Mulyani 

3. Pemerintah pusat gunakan DBH sebagai alat pembayaran spontan

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani (IDN Times/Shemi)

Pada nomor 3 dan 4 isi surat BPK ke Menkeu, Firman menyoroti adanya keanehan pada DBH di Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP). Ia menilai artinya selama ini secara tidak langsung merupakan pernyataan bahwa pemernitah pusat menggunakan DBH tersebut sebagai sumber pembiayaan spontan (spontaneous financing) untuk kepentingan pemerintah pusat.

"Meskipun kebijakan tersebut dilaksanakan berdasarkan ketentuan ayat 5 Pasal 11 Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Rahun 2019 terkait prioritas penyelesaian kurang bayar DBH sampai Tahun Anggaran 2018," kata Firman.

Selanjutnya adalah tidak tepatnya DBH yang diperuntukkan bagi penanganan COVID-19. Karena COVID-19 terjadi pada 2020 dan DBH tersebut merupakan utang yang untuk anggaran 2019.

"Oleh karena itu, pelaksanaan DBH tahun 2019 seharusnya disalurkan dengan menggunakan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) untuk Tahun Anggaran yang sama," katanya.

Baca Juga: Bantah Sri Mulyani, BPK: Tidak Perlu Audit untuk Bayar Utang ke DKI

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya