Bukan Sekadar Pungutan, Ini Alasan Dibalik DJP Pungut PPh 22

- DJP menerapkan PPh 22 oleh marketplace untuk inklusifitas dan responsivitas perpajakan digital.
- DJP optimalkan potensi ekonomi digital yang belum tergarap dengan pendekatan tidak bersifat represif.
- Kebijakan ini bertujuan menanam fondasi ekosistem perpajakan digital yang berkeadilan dan meningkatkan kepatuhan pajak di sektor UMKM.
Jakarta, IDN Times - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) resmi memberlakukan ketentuan pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh marketplace, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Kebijakan ini merupakan bagian dari upaya adaptif DJP dalam menjawab tantangan dan dinamika ekosistem digital yang terus berkembang.
Lantas, apa saja alasan DJP menerapkan ketentuan ini?
1. DJP ingin ciptakan sistem perpajakan yang lebih inklusif dan responsif terhadap transaksi digital.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Kemenkeu, Rosmauli, menjelaskan langkah strategis ini bertujuan membangun sistem perpajakan yang lebih inklusif, setara, dan responsif, terhadap realitas transaksi ekonomi daring.
Marketplace, sebagai penyelenggara transaksi digital, dinilai memiliki posisi strategis dan kemampuan teknis untuk mendukung proses pemungutan pajak secara otomatis, tanpa menambah beban administratif bagi pelaku usaha.
"Tujuan utama kebijakan ini bukan untuk memberatkan, melainkan justru mempermudah pelaku usaha dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, terutama bagi pelaku UMKM yang selama ini belum tersentuh sistem administrasi perpajakan secara optimal," ujar Rosmauli kepada IDN Times, Kamis (17/7/2025).
2. DJP optimalkan potensi ekonomi digital yang selama ini belum tergarap

Dia menjelaskan DJP akan melakukan pengawasan yang lebih kuat terhadap potensi ekonomi digital yang belum sepenuhnya tercatat dalam sistem perpajakan nasional.
"Hasil pengamatan dan pemadanan data yang dilakukan DJP menunjukkan sebagian pelaku usaha digital belum secara konsisten melaporkan penghasilan mereka sesuai ketentuan yang berlaku," kata Rosmauli.
Meski demikian, pendekatan yang diambil bukan bersifat represif. Melalui sistem pemungutan otomatis oleh platform, akan mendorong terwujudnya compliance by design.
"Pelaku usaha tidak perlu lagi repot mengurus pelaporan dan pembayaran secara terpisah. Sistem ini diharapkan mampu menanamkan budaya kepatuhan pajak sejak dini, khususnya di sektor digital yang sangat dinamis," ujar Rosmauli.
3. Menanam fondasi ekosistem perpajakan digital yang berkeadilan

DJP menegaskan kebijakan ini tidak diarahkan untuk mengejar peningkatan penerimaan jangka pendek, melainkan untuk membangun fondasi ekosistem perpajakan digital yang sehat dan berkeadilan. Fokus utamanya adalah memperluas basis pajak serta membiasakan pelaku usaha digital untuk patuh terhadap regulasi perpajakan secara berkelanjutan.
Terkait potensi penerimaan pajak dari sektor digital yang selama ini belum sepenuhnya tercatat atau disetorkan, Rosmauli memilih untuk tidak memberikan rincian. Namun, dia menekankan pendekatan yang diambil DJP dalam kebijakan ini bersifat fasilitatif, bukan represif.
"Dalam merancang PMK 37/2025, kami juga tetap memperhatikan keberpihakan terhadap pelaku usaha kecil. Hal ini diwujudkan melalui ketentuan pengecualian bagi pedagang orang pribadi yang memiliki omzet di bawah Rp500 juta per tahun," katanya.
Dengan demikian, kebijakan ini memberikan ruang bagi UMKM untuk tumbuh tanpa langsung terbebani kewajiban perpajakan yang kompleks, sekaligus menjaga kesetaraan dengan pelaku usaha yang lebih besar dan telah patuh lebih dulu.
4. Pedagang digital yang omzetnya Rp500 juta per tahun kena PPh pasal 22

Jika pedagang dalam negeri yang omzetnya telah melebihi Rp500 juta dalam tahun pajak berjalan, maka:
Pedagang wajib memberitahukan kepada pihak pemungut pajak (misalnya platform e-commerce) omzetnya sudah melebihi batas tersebut.
Pemberitahuan itu harus dilakukan melalui surat pernyataan yang menyatakan omzet pedagang telah melebihi Rp500 juta pada tahun pajak berjalan.
Surat pernyataan ini harus disampaikan paling lambat pada akhir bulan saat omzet tersebut melebihi Rp500 juta.
Pedagang dalam negeri yang berjualan lewat platform online akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5 persen dari total pendapatan kotor (omzet) yang tercantum dalam tagihan. Pajak ini tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
5. Dongkrak kepatuhan pajak di sektor UMKM

Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Fajry Akbar, menilai mekanisme pemungutan oleh pihak ketiga, seperti marketplace, akan mendorong tingkat kepatuhan pajak, terutama di sektor UMKM.
"Mayoritas merchant di e-commerce adalah UMKM. Sementara itu, Gross Merchandise Value (GMV) ekonomi digital Indonesia, sekitar 72 persennya berasal dari sektor e-commerce," ujarnya.
Menurut Fajry, mekanisme pemungutan serupa sudah diterapkan untuk layanan digital asing, seperti video streaming, dan terbukti efektif meski pelaku usaha berada di luar negeri. Tingkat kepatuhan pajak juga biasanya lebih tinggi bila dilakukan melalui pihak ketiga, seperti PPh 21 karyawan yang dipotong oleh perusahaan.