Angka Pernikahan Turun, Bisnis Wedding Organizer China Terancam Drop

Banyak pasangan juga memilih menikah secara sederhana

Jakarta, IDN Times - Industri wedding organizer di China kembali menghadapi ancaman besar usai pandemik COVID-19. Menurunnya jumlah pasangan yang menikah telah membuat industri bernilai hampir 500 miliar dolar AS (sekitar Rp7 kuadriliun) ini semakin meredup.

Menurut data yang dipublikasikan di situs Kementerian Urusan Sipil, hanya 6,83 juta pasangan yang menikah di seluruh China pada 2022. Jumlah ini turun sekitar 800 ribu dari tahun sebelumnya.

“Jumlah pernikahan menurun dan hanya sedikit yang bersedia mengeluarkan banyak uang untuk pernikahan,” kata Yuan Jialiang, yang menjalankan bisnis wedding organizer selama hampir satu dekade di Shanghai, sebelum kemudian beralih ke wedding photography.

“Masa depan industri ini tampaknya tidak menjanjikan.”

Baca Juga: Angka Pernikahan di China Merosot, Rekor Terendah dalam Sejarah!

1. Fenomena ini berdampak langsung terhadap penurunan angka kelahiran

Penurunan jumlah pernikahan otomatis akan berdampak pada merosotnya angka kelahiran di China, yang kini menjadi salah satu negara dengan penuaan tercepat di dunia. Tingkat kelahiran di negara itu tahun lalu turun mencapai rekor terendah, yaitu 6,77 kelahiran per seribu orang.

Sementara itu, memiliki anak di luar nikah kerap dipandang buruk. Banyak kota juga menolak tunjangan pengasuhan anak atau layanan kesehatan bagi ibu yang belum menikah.

"Ada banyak konsumen yang hanya mengatakan 'baiklah, pernikahan bukanlah hal yang tepat bagi saya' dan banyak orang dewasa muda di China merasa bahwa membesarkan anak itu terlalu mahal," kata Ben Cavender, pengelola direktur dan kepala strategi di China Market Research Group.

"Industri pernikahan tradisional China mungkin sedang menghadapi masa-masa sulit."

Baca Juga: Diduga Selingkuh, Eks Menlu China Qin Gang Diselidiki

2. Calon pengantin China biasanya akan habiskan milyaran rupiah untuk acara pernikahan

Sebelum dilanda pandemik, pernikahan merupakan bisnis besar di China. Daxue Consulting memperkirakan industri ini bernilai 3,6 triliun yuan (sekitar Rp7,5 kuadriliun) pada 2020. Calon pengantin biasanya akan memilih perhiasan emas, dekorasi yang rumit dan tempat mewah untuk acara spesial mereka.

Namun Frank Chen, yang mengelola Chen Feng Wedding Planning di Shanghai, mengungkapkan bahwa tahun ini hanya sedikit yang memiliki anggaran lebih dari 100 ribu yuan (sekitar Rp210 juta).

“Orang-orang lebih cenderung memilih pernikahan yang sederhana dan khusus,” kata Chen, seraya menambahkan bahwa satu dekade lalu, adalah hal biasa bagi pasangan untuk menghabiskan jutaan yuan.

Sementara itu, 2023 menjadi tahun yang lebih sibuk bagi beberapa perusahaan, setelah banyak pernikahan yang direncanakan pada 2022 terpaksa ditunda akibat lockdown.

Perusahaan perhiasan Chow Tai Fook dan TSL memperkirakan bahwa permintaan perhiasan pernikahan tahun ini akan kembali ke tingkat sebelum pandemi. Namun TSL mengatakan masa depan industri ini dalam jangka panjang akan bergantung pada kekuatan perekonomian.

“Ini hanya timbunan dari COVID,” kata wedding organizer Xueyi. "Beberapa klien saya yang pemesanannya dijadwal ulang sebenarnya telah berpisah."

3. Ketidaksetaraan gender di lingkungan kerja hingga situasi ekonomi membuat banyak kaum enggan menikah

Banyak generasi muda di China, terutama perempuan, semakin tidak peduli terhadap ekspektasi masyarakat untuk menikah dini.

“Pernikahan adalah tentang kebebasan. Tidak semua orang perlu menikah sesegera mungkin,” kata Jingyi Hou, perempuan berusia 29 tahun yang bekerja sebagai guru sekolah di provinsi Shanxi.

Menurut Ye Liu, dosen senior di Lau China Institute di King's College London, ketidaksetaraan gender masih tertanam kuat di lingkungan kerja, termasuk adanya evaluasi kandidat perempuan berdasarkan kemungkinan kehamilan dan kebutuhan cuti melahirkan. Hal ini memaksa banyak perempuan muda untuk memilih antara karier mereka atau berkeluarga.

“Ketika perempuan menghabiskan waktu lebih lama dalam pendidikan, tentu saja mereka menunda usia memasuki pernikahan dan menjadi orang tua,” kata Ye.

Kemerosotan ekonomi China baru-baru ini juga berkontribusi pada kurangnya minat pernikahan di kalangan generasi muda. Pada 2023, jumlah pengangguran di antara kaum muda di negara itu mencapai rekor tertinggi, yaitu sebesar 20,8 persen.

Xiao Gang, seorang insinyur perangkat lunak, mengatakan bahwa PHK yang meluas di industri teknologi telah mendorongnya untuk rutin bekerja lembur karena takut dipecat.

“Ketika teman-teman mengajak saya jalan-jalan dengan perempuan, saya tidak punya tenaga untuk keluar,” katanya.

Baca Juga: Bisnis Wedding Venue Bangkit Perlahan di Tengah Pandemik

Fatimah Photo Verified Writer Fatimah

null

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Anata Siregar

Berita Terkini Lainnya