Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran Jumbo

Mulai dari urusan utang luar negeri hingga nuansa politis

Jakarta, IDN Times - Kementerian Pertahanan (Kemenhan) berencana memodernisasi serangkaian alat utama sistem persenjataan (alutsista) yang dimiliki oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dana jumbo senilai Rp1,7 kuadriliun akan disiapkan melalui utang luar negeri.

Kemungkinan, pemerintah bakal menempuh pinjaman bilateral. Pembiayaan ini dinilai lebih ideal. Namun, wacana utang yang ingin dilakukan Kemenhan menuai polemik. Apalagi, pemerintah sedang banting tulang untuk mengendalikan COVID-19 di Indonesia serta menjaga perekonomian tetap kokoh di tengah guncangan.

Hingga saat ini, belum ada konfirmasi dari Kementerian Pertahanan terkait pembiayaan mana yang akan ditempuh. Di sisi lain, anggaran modernisasi alutsista dibalut kecurigaan tentang bancakan untuk kontestasi politik di 2024. Benarkah demikian?

Baca Juga: Polemik Alutsista Rp1,7 Kuadriliun, Anggarannya Disusun Dadakan?

1. Macam-macam sumber pembiayaan pinjaman luar negeri

Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran JumboIlustrasi Utang (IDN Times/Arief Rahmat)

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad, menyebut secara umum belanja kementerian/lembaga (K/L) bisa bersumber pada dua jenis pinjaman, yakni Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman luar negeri. Pinjaman luar negeri itu bisa dalam bentuk bilateral maupun multilateral.

"Kalau bilateral (pinjaman) dari negara tertentu. Multilateral itu dari lembaga kreditur asing, misalnya Bank Dunia, ADB, IMF. Kalau (pinjaman) itu (umumnya) untuk isu ekonomi," kata Tauhid kepada IDN Times, Selasa (8/6/2021).

Sementara pengamat militer dari Binus University Curie Maharani menyoroti sejumlah respons keberatan dari masyarakat terkait besaran anggaran modernisasi alutsista. Apalagi dalam konteks ekonomi sedang lemah karena pandemik.

Dia mengatakan anggaran modernisasi alutsista sudah pasti membebani keuangan negara. Oleh sebab itu, dia menilai sebaiknya ada alternatif pembiayaan baik dari dalam maupun luar negeri. "Karena dengan pinjaman yang pembayarannya dicicil, bebannya lebih ringan, terbagi dalam periode yang lebih panjang," sambungnya.

Sejumlah pihak memprediksi pinjaman bilateral. Definisinya menurut jdih.kemenkeu.go.id:

Pinjaman bilateral adalah pinjaman luar negeri yang berasal dari pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga keuangan dan/atau lembaga nonkeuangan yang ditunjuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman.

Curie menilai anggaran yang tertuang dalam rencana strategis Kementerian Pertahanan untuk memodernisasi alutsista, cenderung konservatif. Artinya, perkiraan sumber dana diprediksi berdasakan pada sumber dana dengan tingkat kepastiannya yang tinggi, 

"Apabila angka ini dihitung menurut asumsi ekonomi makro, tingkat kenaikan ongkos produksi senjata, dan periode renstra yang panjang hingga mencapai 25 tahun (2020-2045), maka angka ini cukup konservatif," kata Curie kepada IDN Times.

Perkara opsi pinjaman mana yang akan dipilih pemerintah, masih menjadi tanya tanya besar saat ini. IDN Times sudah meminta konfirmasi kepada Juru bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Anzar Simanjuntak, terkait sumber pinjaman luar negeri mana yang akan ditempuh. Namun, hingga kini belum ada respons atas pertanyaan tersebut.

Baca Juga: Cara Kemenhan Habiskan Rp1,7 Kuadriliun untuk Alutsista Dipertanyakan

2. Plus minus jika memilih opsi utang bilateral

Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran JumboIlustrasi alutsista TNI (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)

Curie menjelaskan, selama ini ada dua sumber pembiayaan yang umum digunakan dalam pengadaan alutsista, yakni yang berasal dari Kreditor Swasta Asing (KSA) dan Lembaga Penjamin Kredit Ekspor (LPKE).

Mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, berikut penjelasan tentang KSA dan LPKE:

KSA adalah lembaga keuangan asing, lembaga keuangan nasional, atau lembaga non keuangan asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Negara Republik Indonesia, yang memberikan pinjaman kepada pemerintah berdasarkan perjanjian pinjaman tanpa jaminan dari lembaga penjamin kredit ekspor.

LPKE adalah lembaga yang ditunjuk negara asing untuk memberikan jaminan, asuransi, pinjaman langsung, subsidi bunga, dan bantuan keuangan untuk meningkatkan ekspor negara yang bersangkutan, atau bagian terbesar dari dana tersebut dipergunakan untuk membeli barang/jasa dari negara bersangkutan yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah negara Republik Indonesia.

Selain KSA dan LPKE, masih ada dua sumber pinjaman luar negeri yang bisa dilakukan berdasarkan Pasal 6 beleid, yakni Kreditor Multilateral, Kreditor Bilateral.

Kreditor Multilateral sangat kecil kemungkinannya ditempuh oleh pemerintah. Lain halnya dengan Kreditor Bilateral, yang masih berpotensi menjadi pilihan pemerintah. Pengertiannya dalam aturan itu:

Bilateral adalah pemerintah negara asing atau lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah negara asing atau lembaga yang bertindak untuk pemerintah negara asing yang memberikan pinjaman kepada Pemerintah.

Tauhid Ahmad menilai jika dikomparasikan, opsi utang melalui pinjaman luar negeri lebih menguntungkan. Bunga SBN tercatat sebesar 6 - 7 persen. Sementara bunga pinjaman luar negeri relatif lebih rendah, yakni 1 - 2 persen.

Kendati bunga yang ditawarkan oleh pinjaman luar negeri lebih rendah, namun utang tersebut bersifat mengikat. Artinya, perjanjian yang ada dalam pinjaman bilateral tersebut harus dipatuhi.

"Komponen yang dibeli harus ABCD, tenaga kerjanya dari mereka. Alih alih mencari nilai tambah malah gak dapet apa-apa," ucapnya.

Namun di sisi lain, pemerintah bisa mencari nilai tambah dengan cara membangun industrinya di Indonesia. Hal tersebut akan memberi banyak manfaat untuk perekonomian Tanah Air. Semua tergantung konsolidasi dari kedua negara.

"Kalau misalnya dibangun di sini, ini ada alih teknologi, ada bahan baku yang dipake, material, teknologi. Bagusnya ada alih teknologi, kemudian ada penggunaan komponen dalam negeri, kemudian pekerja dari kita," tuturnya.

"Bilateral bisa beberapa tergantung jenisnya, tergantung komponennya. Kalau dia join satu alat alutsista dibangun oleh beberapa negara itu bisa mengajukan," tambahnya.

Bagaimana pun, Tauhid juga mengingatkan bahwa utang luar negeri yang akan dilakukan pemerintah akan tetap membebani APBN. Sebab, bunga utang dan pokok yang harus dibayarkan masuk dalam belanja pemerintah dalam APBN.

"Misalnya beli alat dari Tiongkok, tergantung pemerintah Tiongkok ngasih pinjaman berapa banyak dan berapa tahun. Itu tetap APBN (terbebani), karena bunga utang dan pokoknya muncul pada belanja pemerintah pusat," terangnya.

Baca Juga: Cegah Mafia Pembelian Alutsista, Prabowo Nego Langsung Negara Lain

Jika Indonesia jadi mengajukan pinjaman luar negeri untuk anggaran pengadaan alutsista, ketentuannya sudah diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Tata Cara Perencanaan, Pengajuan Usulan, penilaian, Pemantauan, dan Evaluasi Kegiatan yang Dibiayai dari Pinjaman Luar Negeri dan Hibah.

Sementara, aturan teknis pelaksanaannya diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah. Alur prosesnya adalah sebagai berikut:

Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran JumboAlur proses pinjaman luar negeri untuk alutsista (IDN Times/Aditya Pratama)

3. Anggaran alutsista diwarnai nuansa politis

Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran JumboANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Curie Maharani juga menyoroti kontroversi seputar anggaran alutsista yang sarat dengan upaya politisasi. Ada kepentingan nonpertahanan yang mewarnai wacana ini hingga menjadi kontroversi publik.

"Politisasi tidak terhindarkan, karena pertama, Menhannya ketua partai yang dianggap punya kepentingan di 2024," ucap Curie.

"Kedua, proses pengajuan anggaran dianggap belum sesuai prosedur karena renstra jangka panjang yang biasanya digunakan sebagai basis penyusunan anggaran hingga 2045 juga belum selesai. Ketiga, ada berita semua pengadaan akan dikendalikan satu PT," tambahnya.

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto mengatakan bahwa anggaran untuk alutsista sebesar Rp1,7 kuadriliun belum tentu disetujui. Sebab, besaran nilai untuk memodernisasi alutsista dalam negeri masih terus digodok.

"Bernegara itu tidak gampang. Bernegara itu ada prosesnya, ada prosedurnya, ada sistemnya, ada tata cara, tata kelola. Jadi kita teknis, menteri itu saya di bidang pertahanan, saya diwajibkan menyusun rencana pertahanan. Anggaran berapa? Saya ajukan," kata Prabowo dalam channel YouTube Deddy Corbuzier.

Prabowo menambahkan, proses pengajuan anggaran untuk alutsista masih harus melalui beberapa proses persetujuan. Dia meyakinkan bahwa pengajuan utang untuk Alutsista dilakukan dengan hati-hati.

"Presiden setuju atau enggak? presiden pasti minta saran. Bagaimana menteri keuangan? Bagaimana Menteri (PPN)/Kepala Bappenas? Kan nanti ditanya lagi menteri-menteri lain. Itu belum disetujui," terangnya.

4. Anggaran jumbo yang tak pernah terserap habis

Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran JumboIlustrasi Alutsista (Website/tni.mil.id)

Dalam APBN, porsi anggaran untuk Kementerian Pertahanan selalu berada di posisi teratas. Pada 2021 misalnya, alokasi pagu belanja Kemenhan tercatat sebesar Rp136,99 triliun. Angka ini merupakan belanja terbesar kedua setelah Kementerian PUPR.

Dari jumlah tersebut sebesar 12,32 persen atau setara Rp16,89 triliun rencananya akan dialokasikan untuk Alutsista. Secara rinci, alokasi untuk pengadaan Alutsista sebesar Rp9,3 triliun, modernisasi serta pemeliharaan dan perawatan Alutsista untuk TNI AD sebesar Rp2,65 triliun, TNI AL Rp3,75 triliun, dan TNI AU Rp1,19 triliun.

Padahal ketepatan penyerapan anggaran jumbo alutsista juga masih selalu dipertanyakan. Sebab, merunut anggaran alutsista tahun-tahun sebelumnya, tak satu pun pernah 100 persen terpakai.

Ketua Centra Initiative dan Anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, Al A'raf, mengatakan pada periode 2010-2014, pemerintah menganggarkan program modernisasi alutsista Rp156 triliun untuk fase I, yakni minimum essential forces alias (MEF). Berdasarkan data Kemenhan, anggaran itu hanya terealisasi 74,98 persen.

Kemudian, pada periode 2015-2019, anggaran modernisasi alutsista untuk fase II, yakni essential forces hanyalah sebesar Rp157,7 triliun. Anggaran itu hanya terealisasi 62 persen sampai dengan 2018. Lalu, anggaran awal modernisasi alutsista periode 2020-2024 ialah sebesar Rp157,5 triliun.

"Baik fase I maupun II dengan anggaran Rp150 triliun, sebenarnya Kemenhan tidak pernah menyerap anggaran sampai dengan 100 persen. Jadi anggaran untuk belanja Alutsista itu diberikan Rp150 triliun per fase, ada 2 fase, tidak pernah menyerap Rp150 triliun. Paling tinggi fase kedua paling hanya 80 persen. Fase pertama hanya mungkin 60 persen," ungkap A'raf.

Melihat data realisasi anggaran modernisasi alutsista yang tak pernah sampai 100 persen, ia pun mempertanyakan cara pemerintah merealisasikan anggaran Alutsista Rp1,7 kuadriliun yang baru diajukan tersebut.

"Jadi saya bingung, dengan anggaran Rp150 triliun saja tidak bisa menyerap 100 persen, ini meminta Rp1.760 triliun dalam 2,5 tahun. Bagaimana ini menghabiskan belanja Rp1.760 triliun sampai 2024," ujar A'raf.

Meski begitu, menurutnya langkah paling tepat yang harus dilakukan Kemhan adalah memaksimalkan penggunaan anggaran modernisasi alutsista yang sudah ada.

"Buat saya kalau Rp200-250 triliun masih relevan di tengah kondisi krisis. Tapi jauh lebih tepat Rp150 triliun coba dihabiskan 100 persen dulu," ucapnya.

Modernisasi Alutsista: Mencari Opsi Terbaik untuk Beban Anggaran JumboInfografis realisasi belanja anggaran Kementerian Pertahanan. (IDN Times/Aditya Pratama)

Tentunya pemerintah masih harus putar otak untuk penganggaran alutsista pos anggaran dalam rangka mengatasi pandemik dan pemulihan ekonomi masih jadi prioritas. Jadi skema utang seperti apa yang akan dipilih pemerintah untuk modernisasi alutsista dalam negeri?

Baca Juga: Prabowo Akui Ada Mafia Alutsista, Mark Up Harga Hingga 600 Persen

Topik:

  • Hana Adi Perdana
  • Anata Siregar
  • Jumawan Syahrudin

Berita Terkini Lainnya