Indeks Sentimen Konsumen AS Anjlok ke Titik Terendah

- Indeks sentimen konsumen turun ke level terendah kedua dalam sejarah, dipicu perang dagang besar-besaran.
- Konsumen menyebut tarif sebagai kekhawatiran utama, meskipun ada pengumuman jeda tarif sementara dengan China.
Jakarta, IDN Times – Indeks sentimen konsumen dari University of Michigan jatuh ke angka 50,8 pada Mei. Angka ini turun 2,7 persen dari April dan menjadi level terendah kedua dalam sejarah. Catatan tersebut hanya sedikit di atas rekor terburuk 50 yang terjadi pada Juni 2022 saat inflasi mencapai rekor 41 tahun.
Sejak dimulai pada 1952, indeks ini telah mencerminkan berbagai krisis seperti resesi, perang, hingga pandemi global. Namun penurunan tahun ini dipicu oleh perang dagang besar-besaran yang menyebabkan sentimen konsumen anjlok hampir 30 persen sejak Januari. Sebagian besar survei dilakukan sebelum Amerika Serikat (AS) dan China mengumumkan jeda tarif pada 12 Mei.
Direktur Survei Konsumen University of Michigan, Joanne Hsu menyampaikan hal itu dalam wawancara dengan Bloomberg TV pada Jumat (16/5/2025).
“Sudah sangat jelas bahwa konsumen sedang bersiap menghadapi ketidakpastian dan ketidakstabilan kebijakan tarif,” kata Hsu, dikutip dari CNN International, Sabtu (17/5/2025).
1. Kecemasan atas tarif melonjak di kalangan responden survei

Dilansir dari CNBC Internasional, mayoritas konsumen kini secara spontan menyebut tarif sebagai kekhawatiran utama mereka. Pada Mei, hampir tiga perempat responden menyebutkan tarif, naik dari sekitar 60 persen pada April. Ketidakpastian kebijakan perdagangan dianggap mendominasi cara pandang masyarakat terhadap perekonomian.
Hsu mengungkapkan dalam rilis surveinya, lonjakan penyebutan tarif ini menunjukkan betapa dominannya isu tersebut di benak publik. Bahkan setelah pengumuman penghentian tarif sementara dengan China, kekhawatiran tetap kuat. Tarif impor China sebelumnya sempat mencapai 145 persen, namun kini diturunkan menjadi 30 persen setelah kesepakatan jeda selama 90 hari.
Meskipun sejumlah indikator menunjukkan sedikit perbaikan setelah kesepakatan itu, Hsu menilai dampaknya belum cukup signifikan.
“Peningkatan awal ini terlalu kecil untuk mengubah gambaran besar — konsumen masih menyuarakan pandangan muram tentang perekonomian,” ujarnya.
2. Ekspektasi inflasi konsumen mengalami lonjakan signifikan

Dalam survei yang sama, ekspektasi inflasi satu tahun ke depan naik menjadi 7,3 persen dari sebelumnya 6,5 persen. Untuk jangka panjang, proyeksi inflasi juga meningkat dari 4,4 persen menjadi 4,6 persen. Angka-angka ini menunjukkan kekhawatiran akan harga tinggi semakin mengakar.
Para ekonom dari berbagai spektrum politik sepakat tarif berpotensi menaikkan harga dalam jangka pendek. Namun mereka masih belum sepenuhnya yakin apakah dampaknya akan bertahan lama. Data inflasi terbaru, termasuk indeks harga konsumen dan produsen untuk April, justru lebih rendah dari perkiraan.
Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell juga menyoroti pentingnya menjaga ekspektasi inflasi tetap terkendali. Ia menekankan lonjakan ekspektasi karena tarif dapat menghambat rencana penurunan suku bunga. Para investor pun kini mengalihkan perhatian pada rilis akhir indeks sentimen bulan ini, yang dijadwalkan pada 30 Mei 2025.
3. Kekhawatiran ekonomi melebar hingga pasar tenaga kerja

Tak hanya tarif, konsumen juga mulai mencemaskan pelemahan pasar kerja. Semakin banyak responden yang melaporkan penurunan pendapatan mereka bulan ini. Fenomena ini disebut Hsu sebagai tanda awal keretakan dalam ketahanan ekonomi rumah tangga.
Ia menyoroti bahwa penurunan pendapatan mulai terjadi pada berbagai lapisan masyarakat.
“Ini adalah retakan yang mengkhawatirkan dalam ketahanan konsumen,” ujar Hsu.
Sementara itu, para ekonom sebelumnya memperkirakan indeks akan menyentuh angka 55 pada Mei, menurut proyeksi FactSet. Namun kenyataannya, angka awal jauh di bawah ekspektasi. Meski ada harapan pemulihan usai jeda tarif, laporan awal menunjukkan bahwa pemulihan tersebut masih belum terasa.