Jepang Luncurkan Stimulus Rp2.275 Triliun, Terbesar Sejak Pandemik

- Pemerintah Jepang merilis stimulus senilai Rp2.275 triliun, terbesar sejak pandemik Covid-19
- Otoritas Jepang siapkan pendanaan tambahan dan bangun koalisi baru
- Pasar keuangan merespons keras berbagai kebijakan baru, sementara tensi dengan China meningkat
Jakarta, IDN Times – Kabinet Jepang merilis paket stimulus raksasa senilai 21,3 triliun yen (Rp2.275 triliun) pada Jumat (21/11/2025). Stimulus ini menjadi yang terbesar sejak pandemik Covid-19.
Perdana Menteri (PM) Jepang, Sanae Takaichi menyebut, inisiatif ini dibangun di atas tiga fokus utama, yaitu menahan kenaikan harga, memperkuat fondasi ekonomi, serta meningkatkan kapasitas pertahanan dan diplomasi. Rinciannya, belanja umum 17,7 triliun yen (Rp1.889 triliun) yang lebih tinggi dibanding tahun lalu sebesar 13,9 triliun, ditambah pemangkasan pajak senilai 2,7 triliun yen (Rp288 triliun).
Bantuan yang langsung menyasar rumah tangga, mencakup peningkatan dana hibah kepada pemerintah daerah, subsidi listrik dan gas mulai Januari 2026 sebesar 7 ribu yen (setara Rp746 ribu) per keluarga standar selama tiga bulan, serta penghapusan penuh pajak bensin.
1. Pemerintah siapkan pendanaan tambahan dan bangun koalisi baru

Otoritas Jepang berencana membentuk dana khusus selama 10 tahun untuk menggerakkan industri galangan kapal sekaligus menaikkan anggaran pertahanan menjadi 2 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada tahun fiskal 2027. Pemerintah juga tengah menyusun anggaran tambahan guna menutup berbagai program baru tersebut dengan target persetujuan sebelum akhir tahun, bahkan bisa lebih cepat pada 28 November 2025.
Partai Demokrat Liberal (LDP) kini menjadi minoritas dan membangun koalisi dengan Japan Innovation Party sehingga total menguasai 231 kursi di Majelis Rendah, dua kursi kurang dari syarat mayoritas dari total 465 kursi. Takaichi menekankan, sebagian besar dana berasal dari penerimaan negara yang ada, sementara sisanya ditutup melalui penerbitan obligasi yang diperkirakan lebih kecil dibanding 42,1 triliun yen (Rp4.493 triliun) tahun lalu.
Ia menilai, keberlanjutan fiskal tetap dijaga sembari menjalankan kebijakan fiskal yang berhati-hati, namun tetap proaktif.
2. Pasar keuangan merespons keras berbagai kebijakan baru

Reaksi pasar berlangsung cepat setelah pengumuman kebijakan terbaru, dengan yen merosot ke titik terlemah dalam 10 bulan. Sedangkan imbal hasil obligasi pemerintah Jepang (JGB) tenor 10 tahun menyentuh 1,817 persen sebelum turun ke 1,785 persen.
Jesper Koll dari Monex Group menilai langkah pemerintah berpotensi mengguncang pasar JGB dan lebih dekat pada kebijakan populis dibanding reformasi mendalam. Koll menilai, Takaichi telah memenuhi janji kampanye lewat anggaran yang lebih besar dari perkiraan.
“Langkah-langkah dukungan pendapatan dan harga hanya memberikan dorongan sementara sekali jalan bagi daya beli masyarakat, tetapi tidak akan menyelesaikan tekanan inflasi yang mendasar,” ujarnya, dikutip dari CNBC.
Menurut dia, solusi inflasi yang berkelanjutan hanya dapat dicapai lewat reformasi sisi penawaran alih-alih stimulus berbasis permintaan.
3. Indikator ekonomi memburuk, sementara tensi dengan China meningkat

Ekonomi Jepang menyusut 0,4 persen pada kuartal Juli–September 2025, kontraksi pertama dalam enam kuartal, dengan pertumbuhan tahunan minus 1,8 persen. Inflasi utama Oktober naik ke 3,0 persen dari 2,9 persen dan bertahan di atas sasaran 2 persen Bank Sentral Jepang (BOJ) selama 43 bulan berturut-turut.
Sementara inflasi inti menyentuh 3 persen. Namun ekspor menunjukkan perbaikan dengan pertumbuhan 3,6 persen (year on year/yoy), ditopang permintaan kuat dari Asia dan Eropa.
Gubernur BOJ Kazuo Ueda mengatakan kepada parlemen, pelemahan yen patut diwaspadai karena bisa memicu lonjakan biaya impor dan kenaikan harga yang lebih luas.
Dilansir dari Times of India, Menteri Keuangan Satsuki Katayama menyatakan kepada AFP bahwa kekhawatiran atas pergerakan valuta asing yang searah dan tajam belakangan ini serta menyebut pemerintah siap mengambil tindakan tepat terhadap pergerakan yang tidak teratur sebagai sinyal kemungkinan intervensi.
Paket stimulus diumumkan ketika hubungan Jepang–China memanas setelah Takaichi mengatakan Jepang bisa merespons secara militer jika Taiwan diserang, sehingga China memanggil Duta Besar Jepang. Laporan menyebut Beijing tengah menyiapkan larangan impor hasil laut Jepang meski belum diumumkan resmi.
Takaichi menilai pengeluaran besar tetap dibutuhkan untuk meringankan beban warga sekaligus menggenjot investasi di sektor strategis seperti akal imitasi (AI), semikonduktor, dan industri galangan kapal.


















