Konflik Timteng Buat Harga Saham Berfundamental Bagus Anjlok

Jakarta, IDN Times - Ketegangan geopolitik di Timur Tengah telah berdampak terhadap pasar modal Indonesia. Hal itu membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terus merosot dari sebelum libur hingga setelah Lebaran.
Sebelum libur Lebaran, IHSG nangkring pada posisi 7.286. Namun, setelah libur Lebaran atau per penutupan Selasa, 4 Mei 2024 IHSG malah semakin anjlok ke level 7.087.
Selain berdampak ke IHSG, konflik geopolitik Timur Tengah, terutama serangan balik Iran ke Israel, membuat kurs rupiah terpuruk hingga level Rp16 ribu lebih per dolar AS setelah libur panjang Lebaran.
1. Pengaruh konflik geopolitik terhadap harga saham

Sejalan dengan ambruknya IHSG, harga saham pun ikut terpengaruh. Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah menyatakan, saham-saham berfundamental bagus yang merangkak naik sejak akhir 2023 dan terbang tinggi selama Februari dan Maret 2024 langsung anjlok akibat meningkatnya ketidakpastian.
Demikian pula saham-saham non-bank berkapitalisasi besar juga turut mengalami penurunan.
“Faktor Timur Tengah telah membuat saham-saham berguguran, tidak hanya saham medioker tetapi juga saham-saham berkapitalisasi besar penopang index lintas sektor seperti perbankan, energi, manufaktur dan telekomunikasi,” kata Piter kepada wartawan di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
2. Harga saham perbankan

Piter kemudian mencontohkan harga saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) atau BCA yang sebelum libur Lebaran sempat menembus angka Rp10.325 per saham.
Namun, kemudian jatuh ke harga Rp9.475 pasca serangan Iran ke Israel pada 16 April 2024 dan mencapai harga terendah Rp9.350 pada 22 April 2024. Hal yang sama terjadi pada saham bank PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) atau BRI, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) alias BNI.
Jatuhnya harga saham perbankan itu pun jadi anomali mengingat secara fundamental, emiten-emiten tersebut punya kinerja cukup apik selama kuartal-I 2024.
BCA mencatatkan keuntungan Rp12,9 triliun selama periode tersebut atau naik 11,7 persen year on year (yoy). Bank Mandiri juga mencetak laba Rp12,7 triliun, naik 1,13 persen yoy, Kemudian BRI membukukan laba Rp15,88 triliun, naik 2,45 persen yoy dan BNI mendapatkan laba bersih Rp5,33 triliun atau naik 2 persen yoy.
“Artinya penurunan harga saham sama sekali tidak berhubungan dengan kinerja keuangan perusahaan (emiten),” kata Piter.
3. Harga saham non-perbankan

Di sisi lain, harga saham emiten non-perbankan juga turut mendapatkan tekanan. PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) misalnya yang dalam tiga bulan terakhir harga sahamnya terkikis 12,6 persen.
Jika dihitung sejak awal tahun atau year to date (ytd) harga saham Telkom juga mengalami penurunan hingga 12,1 persen.
Sementara itu, kinerja keuangan atau fundamental Telkom dalam tiga bulan pertama tahun ini juga cenderung baik dengan mencatatkan pertumbuhan pendapatan 3,7 persen yoy ke angka Rp37,4 triliun. Adapun EBITDA Telkom tumbuh sebesar 2,2 persen yoy menjadi Rp19,4 triliun dengan laba bersih mencapai Rp6,1 triliun.
Piter melihat kinerja Telkom didukung oleh kinerja anak-anak perusahaannya. Pada kuartal-I 2024, Telkomsel masih menjadi kontributor terbesar pendapatan Telkom. Menurut Piter, meskipun sama-sama mampu menjaga tingkat keuntungan, kinerja Telkom di industri telekomunikasi selayaknya lebih diapresiasi bila dibandingkan dengan BCA ataupun bank-bank himbara.
"Kemampuan Telkom menjaga pertumbuhan pendapatan dan juga tingkat keuntungan di kala Telkom sedang melakukan strategi transformasi di tengah gelombang disruption industri telekomunikasi patut dihargai. Proses transformasi di Telkom dilakukan saat perusahaan masih sehat dan berlangsung cukup mulus," ucap Piter.