Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mau Terus Maju, Industri Logistik Hadapi 3 Tantangan Pelik

Ilustrasi logistik dan transportasi (Pixabay.com/Tumisu)

Jakarta, IDN Times - Industri logistik Indonesia kian menggeliat terutama dalam dua tahun terakhir. Namun, sejumlah tantangan masih mengadang industri logistik dalam negeri untuk berkembang lebih jauh lagi.

Pandemik COVID-19 memang telah mendorong aktivitas e-commerce dan membuat industri logistik tumbuh luar biasa. Kendati begitu, industri logistik masih memiliki beberapa kekurangan khususnya, inefisiensi akibat informasi rantai pasok (supply chain) nasional yang tidak terhubung. Hal ini menimbulkan tantangan pada alur distribusi.

Selain itu, biaya logistik yang masih terlampau tinggi juga menjadi masalah. Hal itu terbukti lewat biaya logistik di Indonesia yang mencapai 23 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Angka tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga seperti Thailand (15 persen dari PDB negaranya) dan Malaysia (13 persen dari PDB negaranya).

Rumitnya penanganan informasi serta susunan kerja birokrasi yang ketat menghasilkan inefisiensi. Hal itu pun kemudian menjadi tantangan lain dalam menurunkan biaya logistik di Indonesia. Berikut adalah tiga faktor utama yang menjadi penyebab rumitnya rantai pasok di Indonesia.

1. Transparansi data yang rendah

Ilustrasi logistik di laut(Pexels.com/Tom Fisk)

Untuk saat ini, penyedia jasa logistik di Indonesia masih mengalami tantangan terkait transparansi data pelanggan.

Hal itu kemudian menimbulkan berbagai masalah seperti terbatasnya informasi yang sampai ke pelanggan dan berimbas pada ketidakpercayaan ke penyedia logistik.

"Transparansi pengiriman barang masih kurang jelas, jadi itu tidak real-time. Kita melihat kendaraan di Indonesia ada banyak. Kita harus bisa memberikan real-time data (pengiriman),” jelas Raymond Sutjiono, Co-Founder McEasy, salah satu pemain logistik terkemuka di Indonesia yang didukung oleh East Ventures.

Transparansi yang tidak memadai di antara para pemangku kepentingan merusak efisiensi rantai pasokan. Itu juga diperparah dengan kurangnya jadwal transportasi yang dapat diakses dan kebijakan pemerintah yang kurang efektif.

Pelanggan pun akhirnya merasa frustrasi karena solusi logistik yang ada kerap tidak jelas. Pelanggan terkadang hanya mendapat kompensasi terbatas dan parsial setelah proses pelaporan yang panjang.

Untuk mengatasi tantangan ini, perusahaan logistik dapat mengadopsi teknologi seperti Transportation Management System (TMS) dari McEasy, sebuah solusi Software-as-a-System (SaaS) yang dirancang untuk meningkatkan transparansi dan efisiensi dalam manajemen transportasi.

2. Kurangnya kolaborasi antarpemangku kepentingan

ilustrasi logistik (pexels.com/Chanaka)

Laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2023 menyoroti kolaborasi kurang optimal di antara para pemangku kepentingan, seperti pemerintah pusat, pelaku usaha, dan lembaga keuangan, yang mengakibatkan beberapa masalah.

Backhauling atau mengembalikan kargo dari tempat tujuan (titik B) ke tempat asalnya (titik A) mempunyai tantangan tersendiri yang disebabkan biaya awal yang tinggi dan menyebabkan 70-80 persen masalah pada industri truk.

Pemangku kepentingan yang tidak konsisten juga menghambat rantai pasok yang terintegrasi. Hal itu diperparah dengan perbedaan topografi dan budaya yang beragam di Indonesia.

Terlepas dari tantangan tersebut, mendorong kolaborasi antara lembaga pemerintah, bisnis logistik, dan asosiasi menjadi sangat penting untuk meningkatkan industri logistik.

Terkait kolaborasi tersebut, McEasy telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam mengadakan sesi sosialisasi secara aktif tentang implementasi teknologi digital di berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Kendala penyimpanan barang yang menumpuk di gudang seringkali terjadi karena kemacetan di pelabuhan, hambatan regulasi, dan kesalahan dalam perencanaan inventaris. Hal ini membuat perusahaan harus menyimpan stok lebih banyak untuk mengatasi ketidakpastian prediksi permintaan dan kelancaran aliran rantai pasok.

3. Inefisiensi pelaporan

Ilustrasi logistik. (dok. Kemenhub)

Banyak penyedia layanan logistik di Indonesia masih sangat bergantung pada proses manual atau sistem berbasis kertas. Hal itu tentu saja memicu keterlambatan, kesalahan, dan biaya yang lebih tinggi. Selain itu, kesenjangan adopsi teknologi dalam rantai pasok juga memperparah inefisiensi pelaporan.

Inefisiensi teknologi juga memengaruhi pemeriksaan bea cukai di Indonesia, terutama untuk pengiriman dalam jumlah besar. Bea cukai Indonesia membutuhkan waktu rata-rata tujuh hari dibandingkan dengan negara-negara Asia Pasifik lainnya yang hanya membutuhkan waktu 2,6 hari.

Namun, peraturan pemerintah tentang bea cukai sangat berpengaruh. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyederhanakan prosedur, meningkatkan otomatisasi, dan mengurangi birokrasi. Meskipun demikian, mendorong peningkatan baik dari segi digitalisasi, manajemen Sumber Daya Manusia (SDM), dan perbaikan infrastruktur juga diperlukan untuk meningkatkan efisiensi.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ridwan Aji Pitoko
EditorRidwan Aji Pitoko
Follow Us