Penjualan Ritel AS Turun Tajam di Tengah Ketidakpastian

- Warga buru-buru belanja sebelum tarif bikin harga naik.
- Beberapa sektor ritel anjlok, sebagian lainnya tetap tumbuh.
- Ekonomi AS masih bertahan, tapi awan gelap membayangi.
Jakarta, IDN Times – Penjualan ritel di Amerika Serikat (AS) turun 0,9 persen pada Mei, lebih besar dari ekspektasi penurunan 0,6 persen menurut konsensus Dow Jones. Angka ini sudah disesuaikan secara musiman, namun belum memperhitungkan inflasi. Penurunan ini menyusul kontraksi 0,1 persen pada April dan terjadi saat ketidakpastian tarif serta ketegangan geopolitik meningkat.
Dibandingkan tahun lalu, penjualan ritel naik 3,3 persen. Bila sektor otomotif dikeluarkan, penjualan tetap melemah 0,3 persen, berbanding terbalik dengan proyeksi kenaikan 0,1 persen. Namun untuk kelompok kontrol, yang tak mencakup dealer mobil, pompa bensin, dan toko bangunan, penjualan justru tumbuh 0,4 persen, indikator penting bagi penghitungan produk domestik bruto (PDB).
Menurut CNBC International, angka dari kelompok kontrol inilah yang digunakan pemerintah dalam menghitung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kinerja tersebut menunjukkan pola konsumsi yang kompleks di tengah tekanan ekonomi. Perbedaan mencolok antara sektor-sektor menunjukkan dampak selektif dari kebijakan dan sentimen konsumen.
1. Warga buru-buru belanja sebelum tarif bikin harga naik

Di awal musim semi, konsumen AS sempat membanjiri pasar, khususnya untuk membeli mobil dan barang-barang mahal. Aksi ini dipicu kekhawatiran akan tarif baru yang digulirkan Presiden AS Donald Trump. Akibatnya, penjualan ritel sempat melonjak tajam pada Maret.
Namun, tren ini tidak bertahan lama. Pengeluaran mulai menurun secara drastis pada bulan-bulan berikutnya, termasuk Mei. Konsumen kini terlihat lebih berhati-hati dan selektif dalam membelanjakan uang.
“Orang Amerika membeli mobil pada bulan Maret sebelum tarif dan menjauh dari dealer mobil pada bulan Mei. Keluarga waspada terhadap harga yang lebih tinggi dan jauh lebih selektif dalam membelanjakan uang mereka,” kata Heather Long, kepala ekonom di Navy Federal Credit Union, dikutip dari CNBC International, Selasa (17/6).
Ia menambahkan, banyak orang hanya mau berbelanja jika ada penawaran yang benar-benar menarik.
2. Beberapa sektor ritel anjlok, sebagian lainnya tetap tumbuh

Toko bangunan dan perlengkapan taman mencatatkan penurunan 2,7 persen, sementara pompa bensin ikut terdampak penurunan harga energi hingga 2 persen. Sektor kendaraan bermotor dan suku cadang bahkan turun lebih tajam, yaitu 3,5 persen. Penurunan juga terlihat di bar dan restoran yang mencatat penurunan 0,9 persen.
Meski begitu, tidak semua sektor mengalami tekanan. Pengecer lain-lain berhasil mencatat kenaikan 2,9 persen, tertinggi di antara kategori lainnya. Penjualan online juga tumbuh 0,9 persen, sementara toko furnitur mengalami peningkatan 1,2 persen.
Perbedaan performa antar sektor ini mencerminkan dinamika pengeluaran konsumen yang berubah cepat. Beberapa jenis belanja masih diminati karena dianggap lebih fleksibel atau mendesak. Di sisi lain, sektor-sektor tradisional yang tergantung pada mobilitas dan bahan mentah justru terpukul.
3. Ekonomi AS masih bertahan, tapi awan gelap membayangi

Penurunan konsumsi memicu kekhawatiran lebih luas tentang prospek ekonomi nasional. Beberapa ekonom menilai, penurunan pengeluaran bisa berdampak pada perlambatan pertumbuhan secara keseluruhan, termasuk perekrutan tenaga kerja dan pendapatan.
“Setiap kali ada penurunan dalam pengeluaran konsumen, itu cenderung menyebabkan perlambatan dalam PDB secara keseluruhan dan aktivitas ekonomi yang lebih luas, yang berdampak pada penjualan yang lebih lambat, perekrutan, dan pada gilirannya pertumbuhan pendapatan yang lebih lambat,” kata Gregory Daco dari Ernst & Young kepada CNN International, Selasa (17/6).
Meskipun survei menunjukkan bahwa sentimen konsumen membaik pada Mei, optimisme masih rapuh. Perang dagang dan retorika tarif dari pemerintahan Trump telah menanamkan kecemasan selama berbulan-bulan. PDB kuartal pertama tercatat turun 0,2 persen secara tahunan, tapi diproyeksikan tumbuh 3,8 persen pada kuartal berikutnya menurut pelacak GDPNow dari Federal Reserve Atlanta.
Harga impor tetap datar, meleset dari perkiraan penurunan 0,4 persen. Sementara itu, harga ekspor menurun 0,9 persen menurut data Biro Statistik Tenaga Kerja. Di sisi lain, pasar tenaga kerja masih stabil dengan tingkat pengangguran rendah di 4,2 persen.
“Konsumen berada di pinggir lapangan karena pasar tenaga kerja melemah dan orang Amerika bergulat dengan harga yang lebih tinggi,” kata David Russell dari TradeStation.
Ia menyebut kondisi ini bisa menjadi jeda sementara atau justru sinyal awal dari perlambatan ekonomi yang lebih luas.