Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Rizal Mallarangeng: Tarif 19 Persen Jadi Peluang Ekspor Indonesia

IMG_3781.JPG
Pengamat politik Rizal Mallarangeng dalam acara IDN Times Leadership Forum di Menara Global (Dok. IDN Times)

Jakarta, IDN Times – Pengamat politik, Rizal Mallarangeng, menilai kebijakan Presiden Donald Trump yang menurunkan tarif impor bagi produk-produk asal Indonesia menjadi 19 persen dari sebelumnya 32, merupakan peluang positif bagi kedua negara.

Menurut Rizal, hal yang paling penting adalah akses pasar Amerika tetap terbuka sehingga laju perdagangan antara kedua negara bisa terus berlangsung dan saling menguntungkan.

"Bagus (tarif diturunkan), kita kan tetap bisa berdagang secara terbuka dengan Amerika. Akses pasarnya besar. Jadi sama-sama untung, berdagang itu tidak harus satu untung satu rugi," kata kepada IDN Times Rabu (16/7/2025).

1. Dampak tarif harus dilihat berdasarkan komoditasnya

WhatsApp Image 2025-07-16 at 10.48.23.jpeg
Infografis Tarif Ekspor RI ke AS Salah Satu Terendah di ASEAN (IDN Times/Aditya Pratama)

Rizal menilai tarif 19 persen yang diberikan Trump kepada Indonesia cukup kompetitif dibandingkan negara-negara lain di Asia Tenggara. Namun, seberapa besar dampak dari implementasi tarif juga harus dilihat berdasarkan komoditasnya atau barangnya.

Dia mencontohkan produk sepatu, Amerika masih mengimpor dari sejumlah negara karena tidak memproduksinya secara massal.

"Kalau Vietnam dapat tarif 20 persen, kita 19 persen. Jika bersaing di pasar yang sama dengan produk sama, tentu kita lebih kompetitif. Contohnya produk sepatu, kalau biaya produksinya sama, dan kita menjual ke AS jika sepatu Vietnam dikenai tarif 20 persen dan kita 19, ya kita punya keuntungan komparatif sebesar 1 persen,"jelasnya.

Sebelumnya, Vietnam juga berhasil melakukan negosiasi, sehingga Trump menurunkan tarif impornya mencapai 20 persen.

Namun, untuk barang-barang yang diimpor langsung dari Vietnam, dan 40 persen untuk barang yang dikirim ulang dari negara ketiga melalui Vietnam.

Sementara itu, negara-negara lain seperti Malaysia dikenakan tarif sebesar 25 persen

2. Rizal meminta pemerintah jaga sisi efsiensi ekonomi dan biaya produksi rendah

IMG_3804.JPG
Pengamat politik Rizal Mallarangeng dalam acara IDN Times Leadership Forum di Menara Global (Dok. IDN Times)

Seiring diturunkannya tarif impor menjadi 19 persen, Rizal meminta pemerintah menjaga efisiensi ekonomi merupakan kunci untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global.

"Yang terpenting sekarang adalah bagaimana (pemerintah) bisa menjaga efisiensi. Biaya produksi harus rendah, kualitas tetap bagus, dan akses pasar tidak tertutup," ujar Rizal.

Tarif impor sebesar 19 persen yang diterapkan Amerika Serikat terhadap produk Indonesia dinilai masih dalam batas bisa diterima, selama akses pasar tetap terbuka.

"Dengan 19 persen itu tinggi, tapi masih bisa kita hadapi. Yang penting negara lain jangan sampai dapat tarif lebih rendah dari kita, karena itu akan memengaruhi posisi tawar di pasar internasional," ujarnya.

3. Masih ada peluang ekonomi RI tumbuh ke 8 persen

Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)
Ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Arief Rahmat)

Dalam diskusi Leadership Forum IDN Times, Andi menjelaskan kenaikan tarif perdagangan secara drastis di era Presiden Amerika Serikat Donald Trump memunculkan kekhawatiran akan terjadinya badai ekonomi global.

Meski terjadi lonjakan tarif yang mencapai 25–32 persen tampak mencemaskan, situasinya tidak seburuk era Smoot-Hawley Tariff Act pada awal abad ke-20. Saat itu, AS menerapkan tarif efektif sebesar 20 persen di tengah Depresi Besar 1929, yang kemudian memperparah krisis ekonomi global dan menjadi salah satu pemicu munculnya rezim chauvinisme di Eropa seperti Benito Mussolini dan Adolf Hitler.

"Tarif Trump memang tiba-tiba naik tinggi. Tapi, dia datang bukan di saat ekonomi dunia sedang guncang total. Ini bukan perfect storm seperti tahun 1930-an," ujar Rizal.

Meskipun ada perlambatan, kondisi ekonomi global saat ini masih jauh lebih stabil dibanding masa antara perang dunia kedua.

Ironisnya, kebijakan Trump yang proteksionis muncul di tengah pertumbuhan ekonomi Amerika relatif kuat dalam dua dekade terakhir.

Bagi Indonesia, kondisi global ini menjadi tantangan tersendiri. Pertumbuhan ekonomi dalam dua dekade terakhir memang relatif stabil yakni di era Presiden SBY mencatat rata-rata 6 persem era Jokowi di kisaran 5 persen, sementara era Soeharto sempat mencapai 7–8 persen. Namun, belakangan pertumbuhan menurun ke sekitar 4,8 persen (kuartal I 2025).

"Apakah ini penurunan jangka panjang ekonomi Indonesia? Atau hanya dampak kebijakan pemerintah yang berbeda?" ujar Rizal.

Dia menjelaskan semakin besar skala ekonomi sebuah negara, kian sulit untuk tumbuh pesat. Hal ini terbukti di Amerika, Jepang, dan Eropa yang kini tak mungkin lagi mencatatkan pertumbuhan 5–6 persen seperti negara berkembang.

Namun, Indonesia masih punya peluang untuk mewujudkan target Presiden Prabowo Subianto merealisasikan pertumbuhan ekonomi tumbuh ke 8 persen

Menurutnya, tantangan utama ke depan adalah memperkuat iklim investasi baik domestik maupun asing dan memastikan regulasi tidak justru menghambat potensi pertumbuhan.

"Kita perkuat ekonomi dan kemampuan kita dong. Jangan sampai kita business-nya kurang friendly pada investment (baik dalam maupun luar negeri)," ujarnya

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Satria Permana
EditorSatria Permana
Follow Us