Rupiah Makin Drop di Akhir Perdagangan

Jakarta, IDN Times - Pergerakan nilai tukar rupiah di pasar spot melanjutkan pelemahannya pada akhir perdagangan Jumat (28/2/2025). Rupiah ditutup di level Rp16.595 per dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, rupiah melemah hingga 141,50 poin atau 0,86 persen dibandingkan penutupan kemarin di level Rp16.454 per dolar AS.
1. Semua mata uang di Asia melemah
Hingga pukul 15.00 WIB, pergerakan mata uang di Asia mayoritas melemah. Di mana, won Korea Selatan menjadi mata uang dengan pelemahan terdalam di Asia setelah ambles 0,93 persen.
Sementara itu, yen Jepang anjlok 0,56 persen. Padahal sebelumnya, yen menjadi satu-satunya mata uang di kawasan yang menguat.
Adapun Ringgit Malaysia yang turun 0,36 persen, sedangkan baht Thailand koreksi 0,21 persen. Pun, dolar Taiwan yang ditutup tergelincir 0,25 persen.
Berikutnya, peso Filipina dan rupee India yang sama-sama tertekan 0,16 persen. Lalu, ada dolar Singapura yang turun 0,08 persen. Diikuti, dolar Hongkong yang melemah tipis 0,01 persen pada perdagangan sore ini.
2. Rupiah melemah karena sentimen eksternal
Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas Bank Indonesia Edi Susianto mengatakan, pelemahan rupiah dipengaruhi oleh sentimen dari kebijakan pemerintah AS, salah satunya rencana implementasi kebijakan tarif impor dari Meksiko dan Kanada dalam waktu dekat.
Namun yang perlu dicatat, menurutnya, pelemahan ini juga terjadi di pasar saham domestik dan regional.
"So far faktor (pelemahan rupiah) sentimennya banyak dari global," ungkap Edi kepada IDN Times, dikutip Jumat (28/2/2025).
3. Pasar khawatir atas kebijakan Trump
Pengamat pasar uang Ariston Tjendra menjelaskan bahwa kondisi pasar uang dan pelemahan rupiah yang terjadi lebih disebabkan oleh isu besar dari Presiden AS Donald Trump terkait kenaikan tarif yang bisa memicu perang dagang.
"Sentimen ini akhirnya mendorong pelambatan ekonomi global," tegasnya.
Di sisi lain, turunnya tingkat keyakinan konsumen AS juga dikaitkan dengan ekspektasi kenaikan tarif impor oleh Presiden Trump yang akan menaikkan harga-harga konsumsi dalam negeri.
"Penurunan tingkat keyakinan konsumen AS ini bisa berujung pada pelambatan ekonomi AS karena konsumsi memegang peranan besar dalam pertumbuhan ekonomi AS," tegasnya.