Alternatif Banyak, Industri Harus Mulai Tinggalkan Timbal

Pastikan banyak alternatif pengganti timbal

Jakarta, IDN Times - Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) memastikan pemerintah berkomitmen untuk mulai mengurangi pemakaian timbal pada industri. Tujuannya agar tidak memberikan dampak negatif kepada masyarakat.

"Saya kira mungkin sampai saat ini kehadiran timbal dari berbagai industri tidak bisa 100 persen dihilangkan. Kami dengar sudah banyak sekarang alternatif pengganti timbal tersebut, namun tampaknya belum bisa diakses oleh seluruh industri," kata Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah Kemenko Marves, Rofi Alhanif, dalam keterangan tertulis, Jumat (20/10/2023).

Berdasarkan data UNICEF yang dipaparkan, lebih dari delapan juta anak di Indonesia memiliki kadar timbal dalam darah di atas lima mikrogram per desiliter (μg/dL). Paparan tersebut bisa menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan anak-anak, untuk masyarakat, bahkan mengakibatkan dampak yang fatal terhadap tubuh manusia.

"Saya kira sudah banyak buktinya di Indonesia yang dampaknya terlihat langsung," kata dia dalam Seminar Nasional Indonesia Bebas Timbal Menuju Masa Depan Lebih Hijau: Mengenal dan Mendukung Produk Non Timbal untuk Keberlanjutan Lingkungan dan Kesehatan.

1. Kemenperin diminta kembangkan teknologi pengganti timbal

Alternatif Banyak, Industri Harus Mulai Tinggalkan Timbalpixabay.com/wilhey

Rofi berharap Kementerian Perindustrian (Kemenperin) bisa mengembangkan teknologi yang dapat menggantikan timbal dalam dunia industri demi meminimalisir dampaknya.

"Saya kira di Kemenperin juga mulai kita kembangkan bagaimana mengeliminasi/meminimalkan zat adiktif seperti timbal ini dalam produk yang utamanya sangat rentan berinteraksi dengan kehidupan sehari-hari oleh masyarakat," ujar Rofi.

Sejalan dengan itu, Kemenko Marves mengapresiasi industri yang sudah berupaya meninggalkan timbal dalam proses produksinya demi keberlangsungan hidup manusia.

Untuk itu, Kemenperin mendukung industri dalam negeri yang mulai beralih menggunakan bahan baku nontimbal. Saat ini sudah terdapat produsen bahan baku nontimbal untuk industri.

"Bahan baku pengganti timbal itu sudah diproduksi dalam negeri, khususnya PT Timah Industri (TI) yang sudah bisa memproduksi tin stabilizer. Namun, karena rendahnya penyerapan dari industri dalam negeri, mayoritas produknya diekspor," kata Ketua Pokja Industri Logam Direktorat Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin, Ginanjar Mardhikatama.

Pihaknya pun mendorong kerja sama antara industri pipa PVC (PolyVinyl Chloride) sebagai pengguna tin stabilizer dengan PT Timah Industri sebagai produsen tin stabilizer.

"Sama-sama mutual benefit, jadi PT Timah tidak perlu mengekspor dan kebutuhan dalam negeri terpenuhi tanpa perlu impor tin stabilizer itu sendiri," sebut Ginanjar.

Baca Juga: Penggunaan Timbal Berbahaya! Kemenko Marves Minta Industri Hijrah

2. Indonesia impor timbal 41.016 ton sejak 2022 hingga 2023

Alternatif Banyak, Industri Harus Mulai Tinggalkan Timbalilustrasi impor (IDN Times/Aditya Pratama)

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sejak 2022 hingga 2023, Indonesia mengimpor timbal sebanyak 41.016 ton dari Korea Selatan, Myanmar, dan Australia.

"Penggunaan timbal paling tinggi digunakan di industri baterai 86 persen, kedua bisa juga digunakan untuk pelapis kabel, kemudian ada juga amunisi, pigmen industri cat, karena biasanya digunakan untuk pigmen industri lain," ujar Kepala Subdit Penetapan B3 KLHK, Yunik Kuncaraning.

KLHK juga sedang melakukan revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya Dan Beracun. Itu bertujuan untuk memasukan timbal sebagai Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dari kategori dapat digunakan menjadi terbatas dimanfaatkan.

"Kami sedang lakukan revisi bersama Kemenperin untuk mencoba menaikan kategori timbal yang tadinya sebagai B3 yang dapat digunakan, menjadi kategori yang terbatas dimanfaatkan," kata Yunik.

Selain itu, KLHK berencana membentuk tim kerja yang terdiri dari para pemangku kepentingan untuk mulai serius menangani timbal.

"Kami berencana membentuk tim kerja yang terdiri dari para pemangku kepentingan terkait, sehingga timbal ini menjadi perhatian bersama. Sehingga, kita bisa bekerja bersama-sama menghindari timbal ini agar tidak berdampak bagi lingkungan," tuturnya.

3. Sosialisasi bebas timbal harus digencarkan

Alternatif Banyak, Industri Harus Mulai Tinggalkan Timbalilustrasi sosialisasi menjaga Bumi (pexels.com/Ron Lach)

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan, timbal sebagai salah satu logam berat dan dengan sifat beracun, seperti sianida.

"Sama kayak sianida. Sianida cepat sekali memberikan efek, timbal ini efeknya pelan tapi pasti dan mematikan juga. Pelan-pelan ini yang menyakitkan karena efeknya luar biasa," kata Sekretaris IDI, dr. Ulul Albab.

Dia menjelaskan, timbal bisa menempel ke beberapa zat yang masuk melalui udara, air, dan makanan yang dikonsumsi. Institute for health metrics and Evaluation (IHME) menyebutkan, pada 2013 terdapat sekitar 853 ribu kematian yang disebabkan oleh efek paparan timbal jangka panjang dan angka tertinggi di negara berkembang.

"Timbal itu menetap dalam tubuh bisa sampai 25 tahun," sebutnya.

IDI merekomendasikan upaya pencegahan timbal pada pekerja dan masyarakat Indonesia. Pihaknya melalui Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupansi Indonesia (Perdoki) tidak hanya memeriksa pasien, tapi memberikan rekomendasi kepada industri untuk kadar timbal.

Rekomendasi paling utama yang dikeluarkan IDI adalah dengan menghentikan dan mengganti timbal. Kampanye Indonesia Bebas Timbal juga sudah dikampanyekan oleh pemerintah.

"Kita harus berani mengampanyekan Indonesia bebas timbal. Kenapa saya pakai 2045? Karena timbal bisa dalam tubuh manusia 25 tahun. Tapi, mulainya bukan 2045 tapi harus sekarang kalau tidak sampai kiamat tidak akan kita bebas timbal," ujarnya.

Baca Juga: PBB: Tak Ada Negara yang Gunakan Bahan Bakar Timbal

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya