Pengusaha Sawit Ungkap Trauma Kasus Korupsi Migor

Pengusaha jadi hati-hati kalau ada program pemerintah

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI), Eddy Martono, membeberkan kasus korupsi minyak goreng (migor) yang melibatkan tiga perusahaan di industri minyak kelapa sawit menciptakan sebuah trauma.

Eddy mengatakan, nasib yang dihadapi tiga perusahaan tersebut membuat para pengusaha sawit lebih berhati-hati jika ada program atau penugasan dari pemerintah yang melibatkan sektor swasta. Adapun tiga perusahaan tersebut adalah Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

"Ke depan, perusahaan akan sangat berhati-hati agar masalah ini tidak terjadi lagi. Artinya, setiap ada kebijakan seperti yang lalu, perusahaan akan melihat dulu dampak ke depan," kata Eddy dikutip dari keterangan resmi, Senin (18/9/2023).

1. Pengusaha bakal lebih berhati-hati jika program pemerintah banyak perubahan

Pengusaha Sawit Ungkap Trauma Kasus Korupsi Migorilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Eddy mengatakan, pertimbangan pertama bagi pengusaha usai kasus korupsi tersebut adalah kebijakan yang berubah-ubah. Jika suatu program belum dilengkapi kebijakan yang pasti, menurutnya pengusaha sawit akan lebih banyak mempertimbangkan keputusan untuk berpartisipasi atau tidak.

"Apabila terjadi keraguan, perusahaan akan mendiskusikan terlebih dahulu dengan pemerintah. Artinya, implementasinya tidak bisa cepat karena kehati-hatian perusahaan," ucap Eddy.

Baca Juga: Pemeriksaan Eks Mendag Lutfi untuk Dalami Fakta Kasus Minyak Goreng

2. Kebijakan minyak goreng murah di ritel disebut tak tepat sasaran

Pengusaha Sawit Ungkap Trauma Kasus Korupsi MigorIlustrasi minyak goreng satu harga, Transmart Central Park pada Rabu (19/1/2022). (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Eddy mengatakan, pihaknya sudah pernah mengingatkan risiko ikut dalam program pemerintah kepada Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Menurutnya, kebijakan yang berubah dengan cepat dan terkesan "salah resep".

Ahli Hukum Pidana UNPAD, Nella Sumika Putri, mengatakan bila yang dilakukan oleh perusahaan itu memang melaksanakan aturan hukum pemerintah, maka tindakannya sangat bisa dibenarkan.

"Contohnya, ada sebuah produk, aturan HET-nya maksimal Rp1.000. Namun, karena keadaan tertentu ada suatu aturan lain yang membuat orang boleh jual di atas HET. Contoh, dia jual Rp1.500, nah yang dilakukan orang itu dibenarkan oleh hukum, karena ada aturan pemerintah," tutur Nella.

Lebih lanjut, Peneliti Indef, Rusli Abdullah, pada 31 Juli 2023 silam menyatakan kebijakan pengendalian harga minyak goreng sudah salah sasaran sejak awal.

"Konsumsi minyak goreng rumah tangga 61 persen merupakan minyak curah, namun kebijakan yang dilakukan adalah subsidi pada kemasan. Di sisi lain, infrastruktur untuk pelaksanaan subsidi minyak goreng kemasan dianggap lebih baik dibandingkan infrastruktur minyak goreng curah," kata Rusli.

Rusli memandang kebijakan subsidi tersebut pada akhirnya memunculkan panic buying pada ritel modern akibat respons penurunan harga yang lebih cepat dibandingkan di pasar tradisional.

Padahal, kapasitas pasar ritel modern hanya bisa memenuhi kapasitas konsumsi nasional sekitar 10 persen dari kebutuhan rumah tangga sebesar 3,9 juta kilo liter per tahun atau 325 juta liter per bulan.

Artinya, pasar ritel modern dengan jaringan distributornya hanya mampu menyediakan sekitar 325 ribu liter per bulan atau 3,9 juta liter per tahun. Faktanya, 61 persen atau 2,4 juta kilo liter per tahun kebutuhan minyak goreng ada di jenis minyak goreng curah.

Faktor infrastruktur yang menjadi penyebab tidak efektifnya subsidi minyak goreng sejalan dengan fakta kebutuhan rumah tangga sebagian besar dalam bentuk minyak curah.

"Kritik atas kebijakan subsidi muncul. Salah satu sebabnya adalah kebijakan subsidi dinilai tidak efektif karena bias pasar atau segmen," ucap Rusli.

3. Ombudsman sebut Kemendag tak mampu mitigasi lonjakan harga CPO

Pengusaha Sawit Ungkap Trauma Kasus Korupsi Migorilustrasi tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Di sisi lain, Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, mengatakan penanganan perkara ini tak bisa hanya dilihat dari satu sisi. Dia menyoroti soal strategi pengendalian harga minyak goreng yang semuanya digerakkan berdasarkan aturan yang dibuat pemerintah.

"Dalam Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) kan sudah jelas, jawaban Ombudsman terkait masalah ini. Pangkal mula dari persoalan ini adalah ketidakmampuan Kemendag dalam memitigasi dampak kenaikan harga CPO," kata Yeka pada 25 Agustus 2023 lalu.

Yeka juga menyinggung kerap bergantinya kebijakan pemerintah kala itu dalam rangka mengendalikan harga minyak goreng yang justru berpotensi menimbulkan kebingungan di tingkat pelaksanaan.

"Banyaknya jumlah peraturan menteri yang diterbitkan dalam kurun waktu singkat untuk mengendalikan permasalahan minyak goreng, namun tidak mampu mengatasi permasalahan dalam waktu cepat. Sehingga menimbulkan kerugian pelaku usaha dan masyarakat," ujar Yeka.

Baca Juga: Kejagung Tetapkan 3 Perusahaan Jadi Tersangka Korupsi Minyak Goreng

Topik:

  • Satria Permana

Berita Terkini Lainnya