Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Labirin

Foto objek wisata labirin dari ketinggian. (instagram.com/wisata.tanahlaut)

Hari jadi terasa sangat singkat. Aku baru bisa terbangun saat matahari sudah berteriak dengan teriknya. Haruskah kubeli obat tidur di apotek dekat rumahku?

Ah, tapi pun, itu tak manjur buat mata malamku. Pernah sekali-kalinya ku beranikan diri untuk menenggak obat tidur yang kubeli di apotek dekat rumahku. Namun, hasilnya tetap sama saja, aku malah tetap terjaga sampai pagi setelah meminumnya.

Sekian bulan aku terkungkung dalam kubikal yang disebut dinding rumah. Berkat peristiwa dahsyat bernama pandemik COVID-19 ini, aku jadi bisa merasakan apa yang dulu dirasakan wanita-wanita sebelum emansipasi datang.

Dan benar juga apa yang dirasakan oleh para ibu rumah tangga yang sejatinya menghabiskan sebagian besar waktu yang ia miliki untuk tetap berada di dalam rumah. Aku juga jadi mengerti mengapa Allah menghadiahi surga bagi istri-istri yang berhasil melawan egonya dengan tetap berada di dalam rumah dan berbakti sepenuhnya kepada suaminya.

Ternyata, di rumah saja memang tak semenyenangkan itu. Sebagai seorang karyawati yang terbiasa kerja lembur hingga larut malam, jelas saja aku sering merindukan masa-masa pulang kerja yang terasa melelahkan itu.

Rasanya, tak masalah lagi bila aku harus menghabiskan banyak waktu di kantor. Aku juga tak masalah kalau harus berdesak-desakan di kereta pagi, dalam perjalanan menuju kantor. Justru naik kereta pagi dengan kondisi yang sangat lowong jadi terasa sangat mengerikan.

Aku sudah kehabisan ide, ingin berbuat apa lagi hari ini dan juga esok. Aku seperti ada di dalam labirin yang bukan dikelilingi oleh tanaman, melainkan tembok tinggi yang teramat kokoh.

Setiap hari, aku selalu mencari cara untuk keluar dari labirin ini. Namun, sayangnya setiap hari juga aku hampir putus asa karena belum juga menemukan jalan keluarnya. Rasanya ingin sekali kuruntuhkan tembok-tembok ini. Aku benci untuk terus berputar-putar di tempat yang sama.

Apakah ini hukuman buat aku yang sering lupa waktu saat di luar rumah? Atau justru hadiah untuk bisa menikmati banyak waktu bersama keluarga? Apakah aku ini dungu karena tak pandai bersyukur? Atau ini wajar karena aku hanya sedang mengaduh kesakitan, bukan mengeluh lantas mencaci maki Tuhan?

Ya sudahlah. Mau apa lagi? Hei, labirin, please be nice to me.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Indiana Malia
EditorIndiana Malia
Follow Us