Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
delunula.com

Menunggunya itu ritual yang tidak tahu bagaimana caranya istirahat. Sedangkan mengejarnya itu semacam ibadah yang tidak ada arah kiblat. Dan keduanya semacam bid’ah yang aku ciptakan sendiri. Menjadi hal yang begitu fardhu kujalani. Dan yang paling tidak bisa kujelaskan kepada orang lain adalah, aku tidak tahu, aku mengejarnya atau menunggunya. Dan kali ini pun kegiatan yang aku tidak bisa menyebutkan namanya.

Duduk di pantai memunggungi laut. Ombak berada di belakangku, mungkin saja saling berkejaran. Karena memang demikian selalu adanya yang kita sebut ombak. Dan aku tahu itu dari suaranya, bersahutan bagai burung di pagi hari. Di depanku berjajar warung yang sampai sekarang aku selalu menyebutnya warung kopi. Meski dengan sadar aku tahu, menu utama yang dijualnya adalah minuman dingin, terlebih kelapa muda. Khas minuman pantai. Di samping kanan dan kiri berlarian anak-anak. Turis domestik yang memakai baju tertutup dan turis asing yang hanya berbikini. Kontras sekali.

Tapi aku menjadi satu satunya kekontrasan di pantai ini. Menikmati pantai tanpa memandang pantai. Entah kebiasaanku seperti ini sudah berapa lama kujalani. Setiap minggu pagi aku datang ke pantai ini. Jarak yang begitu jauh kutempuh. Tiga jam duduk di bangku motor maticku. Sesuatu yang entah kenapa jadi selalu ringan setiap minggu. Setiap aku ingin datang ke pantai ini. Tetapi sebenarnya hari ini berbeda dari sebelumnya.

Hari ini aku datang ke tempat favoritku atas undangannya. Atas permintaan Siska, sahabat yang begitu lama menemaniku. Sembilan tahun yang pendek untuk kurasakan. Dan sembilan tahun yang panjang jika ingin kukisahkan. Aku dan dia memulai kisah tanpa kasih, dengan masing-masing memiliki ceritanya sendiri. Dia dengan kasihnya, aku dengan kisahku. Sembilan tahun aku tak pernah bosan mendengarnya bercerita, dan aku pikir dia pun tak pernah bosan memberikan kepadaku kisah yang sama.

Editorial Team

Tonton lebih seru di