[CERPEN] Kebenaran yang Tak Boleh Dipertanyakan

Dari kecil, Rahman selalu diajarkan bahwa kebenaran adalah sesuatu yang mutlak. Guru-gurunya bilang, jika seseorang mempertanyakan apa yang telah diajarkan, itu artinya hatinya sudah dikotori oleh keraguan. Dan keraguan adalah jalan menuju kehancuran.
Di kampungnya, tak ada yang berani membantah. Semua patuh pada pemimpin mereka, Ustaz Karim, yang selalu mengingatkan bahwa dunia luar penuh tipu daya. "Mereka ingin menghancurkan kita! Mereka iri karena kita memegang kebenaran!" katanya setiap kali berceramah di masjid. Rahman percaya sepenuhnya.
Suatu hari, datang seorang pemuda bernama Farid. Ia bukan orang asing, dulu pernah tinggal di kampung ini sebelum merantau untuk belajar. Tapi ketika kembali, tutur katanya berubah. Ia banyak bertanya, mempertanyakan doktrin yang selama ini diterima begitu saja oleh Rahman dan orang-orang kampung.
"Apakah kita pernah mencoba memahami apa yang orang lain yakini?" tanya Farid suatu malam ketika mereka duduk di beranda masjid.
Rahman mendengus. "Buat apa? Kita sudah punya kebenaran."
"Tapi bagaimana kalau yang kita anggap kebenaran hanyalah apa yang ingin kita percaya, bukan yang sesungguhnya benar?"
Rahman geram. Kata-kata Farid terasa seperti racun. Apa yang salah dengan keyakinannya? Kenapa seseorang harus mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas?
Berita tentang Farid menyebar cepat. Orang-orang mulai berbisik, menyebutnya pembawa ajaran sesat. Ustaz Karim pun tak tinggal diam. Di hari Jumat, di hadapan jemaah yang memadati masjid, ia berkata, "Di antara kita ada seorang yang telah terpengaruh oleh kaum luar. Ia menanamkan keraguan dalam hati kita. Hati-hati, jangan sampai kita terjerumus!"
Semua mata mengarah ke Farid. Rahman melihatnya duduk tenang di pojok masjid, tidak membalas dengan satu kata pun. Tapi di mata Rahman, ketenangan itu adalah kesombongan. Hatinya membara. Ia tak bisa membiarkan seseorang merusak apa yang selama ini ia percayai.
Malam itu, bersama beberapa pemuda kampung, Rahman mendatangi rumah Farid. Mereka berteriak, menuduhnya sebagai pengkhianat. Farid mencoba berbicara, tapi tak ada yang mau mendengarkan.
"Pergilah sebelum kami mengusirmu!" teriak Rahman.
Farid menghela napas. Ia menatap Rahman sejenak, lalu berkata, "Suatu hari, Rahman, kau akan memahami. Aku harap, saat itu datang, kau belum terlalu jauh tersesat."
Rahman tidak tahu apa maksudnya, tapi kata-kata itu terus terngiang di kepalanya bahkan setelah Farid pergi meninggalkan kampung. Bertahun-tahun kemudian, ketika Rahman akhirnya melihat dunia luar, ketika ia mendengar berbagai pemikiran berbeda yang tidak selalu bertentangan dengan apa yang ia yakini, ia mulai mengerti.
Dan saat itu, ia menyadari bahwa ketakutannya dulu bukan karena Farid membawa kesalahan, tapi karena Farid membawa pertanyaan yang tak boleh ia pikirkan.