Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Lukisan di Loteng

ilustrasi hutan berkabut (pixabay.com/mila-del-monte)

Hari itu, langit desa kelabu sejak pagi. Angin membawa bau hujan dan tanah basah saat Rani membuka pintu rumah peninggalan kakeknya yang baru saja wafat. Rumah kayu bergaya kolonial itu sudah lama kosong, tapi wasiat terakhir sang kakek memintanya untuk tinggal dan menjaga tempat itu. Rani bukan tipe yang percaya takhayul. Namun, saat pertama kali melangkah masuk ke ruang tamu, ia merasa ada sesuatu yang mengawasinya. Ia menepis perasaan itu dan mulai membersihkan debu yang menempel tebal di setiap sudut.

Tiga hari berlalu dengan tenang. Sampai suatu malam, ia mendengar suara langkah kaki dari atas—dari arah loteng. Ia diam di tempat, jantungnya berdebar cepat. Rumah itu seharusnya kosong. Ia menenangkan diri, mengambil senter, dan naik ke loteng. Loteng itu sempit dan penuh barang-barang tua, tapi tidak ada siapa-siapa di sana. Ia hampir kembali turun sampai matanya menangkap sebuah lukisan tua yang tergeletak di balik lemari kayu. Lukisan itu menggambarkan seorang perempuan dengan gaun putih berdiri di tengah hutan. Matanya menatap lurus, seolah mengawasi siapa pun yang melihatnya.

Ada sesuatu yang aneh. Latar lukisan tampak seperti hutan di belakang rumah. Yang lebih aneh, wajah perempuan itu mirip sekali dengan dirinya. Rani membawa lukisan itu turun ke kamarnya dan meletakkannya di meja.

Saat hendak tidur, ia kembali mendengar suara. Kali ini bukan langkah kaki, tapi bisikan pelan. Ia bangun dan menyusuri asal suara dan menyadari bahwa suara itu datang dari arah lukisan. Ia menatap lukisan itu dengan waspada. Kini latar belakangnya terlihat berbeda: ada kabut yang tak ada sebelumnya. Perempuan dalam lukisan juga tampak sedikit tersenyum. Merinding, Rani membungkus lukisan itu dan menyimpannya kembali di loteng.

Keesokan harinya, ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak soal rumah dan lukisan itu. Ia mengunjungi Bu Tari, tetangga tua yang sudah tinggal di desa sejak muda.

“Lukisan itu?” tanya Bu Tari dengan mata melebar. “Itu milik nenekmu. Ia menghilang dulu, tanpa jejak. Lukisan itu ditemukan beberapa minggu kemudian di loteng. Dan sejak itu, desas-desus aneh mulai muncul. Orang bilang lukisan itu bisa berubah, tapi hanya jika orang yang melihatnya punya hubungan darah dengan perempuan dalam lukisan.”

“Hubungan darah?” Rani terdiam. “Tapi itu, kan ... nenek saya?”

Bu Tari mengangguk. “Ia dulu dikenal sebagai perempuan cantik, tapi misterius. Konon katanya, ia menghilang di hutan belakang rumah.”

Malam berikutnya, Rani tidak bisa tidur. Ia akhirnya memberanikan diri naik ke loteng dan membuka kembali lukisan itu. Kini, latar belakangnya berubah lagi: hutan terlihat lebih gelap dan sosok perempuan itu tampak lebih dekat, seolah melangkah ke arah penonton. Ketika ia menyentuh permukaan lukisan, tiba-tiba matanya menjadi berat. Dalam sekejap, pandangannya gelap.

Ia terbangun di tengah hutan yang sama seperti di lukisan. Kabut tebal menyelimuti segalanya. Rani mencoba berjalan, memanggil-manggil, hingga ia melihat sosok bergaun putih di kejauhan. Perempuan itu membalikkan badan. Wajahnya adalah wajahnya sendiri.

“Siapa kau?” tanya Rani.

“Aku adalah bagian dari dirimu yang dikurung,” jawab perempuan itu dengan suara tenang. “Aku tertinggal di sini saat nenekmu mencoba melarikan diri dari takdir keluarga.”

“Apa maksudmu?”

“Nenekmu memanggil sesuatu dari hutan ini, sebuah kekuatan untuk melindungi keluarga. Tapi, harganya adalah pengorbanan. Satu keturunan harus selalu tinggal di rumah itu menjaga perjanjian. Kini, giliranmu.”

Rani menolak percaya. Ia berlari, menembus hutan, sampai mendapati dirinya kembali di loteng dengan berkeringat dan gemetar. Lukisan itu kini kosong. Tidak ada sosok di dalamnya. Hanya hutan dan kabut.

Beberapa hari kemudian, seorang pemuda datang ke rumah itu. Ia adalah penjelajah dari kota yang mendengar kabar tentang lukisan gaib. Ia ingin melihat langsung.

Rani menunjukkan lukisan itu. Anehnya, bagi si pemuda, lukisan itu hanya gambar biasa. Tidak ada sosok perempuan, tidak ada kabut. Namun, bagi Rani, hutan dalam lukisan itu semakin nyata. Ia tahu … suatu hari nanti, ia akan kembali ke sana. Bukan karena ia ingin, tapi karena perjanjian itu belum selesai.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha
EditorYudha
Follow Us