[CERPEN] Gumpalan Kertas

- Obi sering dilecehkan dan diejek oleh teman-temannya di sekolah karena hobinya menulis puisi dan cerpen.
- Bono dan gengnya meremehkan karya tulis Obi, menyebutnya sampah, dan tidak menghargai seni sastra yang ia hasilkan.
- Meskipun sering dilecehkan, Obi tetap percaya bahwa suatu hari nanti Bono dan teman-temannya akan mengerti nilai dari karya tulisannya.
Dibakar di tempat sampah, diinjak kaki-kaki bersepatu sampai remuk, dilempar ke selokan kumuh; Obi membayangkan berbagai skenario yang mungkin menimpa tulisan-tulisannya yang ia simpan di laci meja sekolah. Kemarin ia lupa membawa pulang kumpulan kertas berisi puisi-puisi dan cerita pendek yang ia tulis di jam kosong. Begitu mendekati ruang kelas, ia ingin lari bergegas, tetapi tubuhnya mendadak berhenti ketika sebuah bola kertas menghantam kepalanya dari depan. Obi mendengar suara tawa yang khas, merayap di udara dan bergema di telinganya. Disusul oleh lemparan bola kertas kedua, kali ini mengenai bahunya. Suara tawa semakin keras. Obi menundukkan kepala, mengambil dua bola kertas di lantai keramik. Ada sesuatu dalam dirinya yang tercabik.
"Selamat pagi, Obi," sapa salah satu orang setelah menuntaskan tawanya.
Obi mendongakkan kepala, menatap para teman-teman sekelasnya yang kini jongkok-berdiri-duduk di depan kelas. Obi berjalan melewati mereka dan duduk di kursinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Karena ini memang bukan apa-apa. Mereka cuma tidak tahu kalau yang dilakukan tadi itu salah, kata Obi pada dirinya sendiri.
Hal semacam ini sudah terlalu sering dialami Obi. Saat ia pindah ke sekolah di pinggir kota ini satu setengah tahun lalu, ia langsung mendapat perlakuan tidak mengenakkan di kelasnya. Suara Obi tidak begitu keras, jadi ia harus mengulang perkataannya waktu sesi perkenalan. Seorang anak bernama Bobo mengatai Obi marmut karena kata bocah itu suara Obi mirip marmut yang mencicit. Perkataan itu disambut tawa oleh anak-anak yang lain.
Sejak saat itu, ia dipanggil Obi marmut. Bobo punya geng kecil-kecilan yang mengikutinya dan memperlakukannya seperti raja mungil di kerajaan kurcaci. Sekali Bobo mengejek Obi, pengikutnya pun melakukan hal yang sama.
"Kenapa kamu suka mengejek aku? Mengejek orang itu sangat tidak baik!" kata Obi waktu itu.
"Gila, ini orang bahasanya keren banget. Ngalahin Bu Sri. Persis bener sama yang di buku-buku. Orang dari kota gede ngomongnya begini semua, ya?" sahut Bobo terkikik geli.
Obi mengernyit, tidak paham.
"Apa lagi yang lucu? Aku bicara normal, bukan lagi bercanda."
Tawa Bobo dan kawan-kawannya malah semakin nyaring.
"Wah, si marmut marah nih," kata Bobo. "Udah udah, biar kita akrab, gua tanya nih, lu sukanya apa?"
"Menulis dan membaca," jawab Obi.
"Hah, apaan? "
"Menulis dan membaca!" Ulang Obi lebih keras.
"Ohhh, nulis sama baca. Pantesann." Bono mengangguk-angguk. "Kutu buku ternyata."
Saat itu, Obi sungguhan tidak mengerti semua perkataan Bono. Selain diejek karena suaranya yang kecil, Obi juga merasa kalau aktifitas menulia dan membacanya tidak disukai oleh Bono dan gerombolannya.
Suatu kali di pagi Obi sedang asyik menulis sebait puisi tentang matahari, Bono datang entah dari mana merebut kertas di tangan Obi, membacanya sebentar, lalu tanpa kata-kata membuangnya ke tempat sampah. Obi tercenung sejenak sebelum mengambil kertasnya lagi tanpa bersuara, tapi Bono menghempasnya kembali ke tanah. "Ini sampah, nggak ada gunanya, buang ajaa."
“Itu bukan sampah, itu seni,” kata Obi.
“Seni apaan? Lu pikir lu seniman. Gambar lu aja jelek. Seni itu itu tuu yang di tembok belakang kelas, gambar pala pake pilok. Siapa yang buat? Gua yang buat.”
“Puisi juga seni, kok. Dia termasuk karya sastra. Dan karya sastra itu termasuk seni sebagai bahasa sebagai mediumnya,” balas Obi.
“Kawan-kawan, pelajaran bahasa Indonesia telah dimulai,” ejek Bono. “Nggak peduli. Lu aneh karena suara lu kecil terus ngomong kek buku teks dan suka nulis puisi manja. Aneh.”
Bagi Obi, tidak ada yang aneh dalam menulis puisi atau cerpen. Ia menyukainya sejak kecil. Ibunya berkata kalau dua hal itu adalah salah satu cara untuk melestarikan kearifan budaya. Tapi Bono dan kawan-kawannya sepertinya tidak berpikir demikian. Karena setiap kali Obi menulis, kertas berisi karya selalu diambil, dicemooh, lalu diperlakukan seolah barang hina dina.
Seperti yang terjadi hari ini, kumpulan cerpen dan puisi Obi yang mendarat di mukanya. Karya yang ia buat dari dalam lubuk hatinya masih dianggap sampah. Meskipun begitu, Obi tidak merasakan dendam. Mungkin belum saatnya saja. Bono dan kawan-kawannya suatu hari pasti akan mengerti. Obi percaya hal itu.