Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Tantangan Cinta untuk Si Genius

ilustrasi couple (unsplash.com/@tgrossen)

Di sebuah universitas ternama, ada seorang mahasiswa bernama Virendra, atau yang biasa dipanggil Viren. Ia terkenal sebagai seorang genius dalam bidang fisika. Baginya, semua hal di dunia ini harus masuk akal dan dapat dijelaskan secara ilmiah.

Suatu hari, Viren duduk di perpustakaan sambil membaca buku tentang teori kuantum. Tiba-tiba, seorang gadis bernama Elara muncul di depannya. Elara adalah mahasiswi seni rupa yang penuh warna dan semangat hidup, kebalikan dari Viren yang serius dan kaku.

"Viren, kau selalu serius membaca buku tebal itu. Apa kau tidak bosan?" tanya Elara sambil duduk di kursi sebelahnya.

Viren mengangkat bahu. "Ilmu pengetahuan selalu menarik. Ia memberikan jawaban atas segala hal. Tidak ada yang membosankan dalam logika."

Elara tersenyum jahil. "Oh ya? Jadi menurutmu semua hal bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan?"

"Tentu saja," jawab Viren tanpa ragu.

Elara mencondongkan tubuhnya sedikit. "Lalu, bagaimana dengan cinta?"

Viren terdiam sesaat. "Cinta? Itu hanya reaksi kimia di otak. Sebuah kombinasi antara dopamin, oksitosin, dan serotonin. Tidak ada yang istimewa."

Elara tertawa kecil. "Kau benar-benar seperti robot, Viren. Kau tahu? Tidak semua hal di dunia ini bisa dijelaskan dengan ilmiah."

"Aku tidak setuju. Berikan contoh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan," tantang Viren.

"Cinta itu sendiri," jawab Elara sambil tersenyum.

Malam itu, Viren tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Elara. Ia merasa tertantang.

Keesokan harinya, ia mendatangi Elara yang sedang melukis di taman kampus. "Elara, aku ingin membuktikan bahwa cinta bisa dijelaskan secara ilmiah," kata Viren tegas.

Elara berhenti melukis dan menatap Viren. "Baiklah. Kalau begitu, aku tantang kau untuk melakukan satu hal: jatuh cinta."

"Apa maksudmu?" Viren bingung.

"Kau tidak bisa hanya membaca teori dan menarik kesimpulan. Kau harus merasakannya sendiri," ujar Elara sambil tersenyum penuh arti.

Viren pun menerima tantangan itu. Ia mulai menghabiskan lebih banyak waktu dengan Elara, berpikir bahwa ini adalah cara terbaik untuk mempelajari cinta. Mereka pergi ke pameran seni, berdiskusi di kafe kecil, bahkan berjalan-jalan di bawah hujan.

"Viren, menurutmu, kenapa warna bisa membuat kita merasa sesuatu?" tanya Elara suatu hari.

"Karena panjang gelombang cahaya yang berbeda memberikan stimulasi tertentu pada otak," jawab Viren seperti biasa.

Elara menggeleng. "Bukan itu yang kumaksud. Maksudku, kenapa warna biru membuatku merasa tenang, atau kenapa merah membuatku merasa bersemangat? Itu bukan sekadar soal otak. Itu tentang hati."

Viren tidak menjawab. Ia mulai merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia ukur atau hitung dari pengalaman ini.

Minggu berganti bulan, dan Viren mendapati dirinya berbeda. Ia tidak lagi terlalu fokus pada logika, melainkan mulai menikmati momen-momen kecil bersama Elara.

Suatu malam, saat mereka duduk di tepi danau kampus, Viren berkata, "Elara, aku menyerah. Kau benar. Cinta itu tidak bisa dijelaskan."

Elara menoleh padanya, terkejut. "Oh? Apa yang membuatmu sampai pada kesimpulan itu?"

"Karena setiap kali aku bersamamu, aku merasa sesuatu yang tidak bisa dihitung, diukur, atau dijelaskan. Rasanya aneh, tapi aku suka," ujar Viren sambil tersenyum kikuk.

Elara tersenyum hangat. "Itulah cinta, Viren. Ia tidak ilmiah, tapi ia nyata."

Dan malam itu, di bawah sinar bulan, Viren akhirnya memahami sesuatu yang tidak pernah ia temukan di buku-bukunya: bahwa cinta adalah logika jantung, bukan akal.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us