[CERPEN] Seloyang Kue Nastar Buatan Ibu

Aroma kue nastar yang baru matang memenuhi ruang tamu. Suara iklan dari televisi. Derit kipas angin tua berdebu ikut mengisi harmoni yang tengah menyeruak di rumah ini. Ibu sibuk menguleni adonan nastar dan aku bergegas mengeluarkan loyang nastar yang baru matang dari oven.
Ibu dan aku sesekali berbincang ria. Namun, kami putuskan untuk fokus membuat kue nastar pesanan dari tetangga sebelah. Jujur saja, aroma manis dari kue kering isian selai nanas ini menggodaku untuk memakannya. Tetapi, Ibu melarangku dengan keras karena aku sudah disisakan seloyang kue nastar terakhir.
Aku kembali berdiri di samping Ibu, membantunya membulat-bulatkan adonan dan memasukkan isian selai nanas lengket ke dalamnya. Kami sedang membuat seloyang kue nastar terakhir untukku. Jelas aku tidak terlalu peduli dengan bentuknya. Yang penting bagiku rasanya yang paling enak di dunia.
Dengan tangan kami yang sibuk, aku membuka percakapan dengan satu pertanyaan. “Kenapa Ibu suka sekali buat kue nastar?” Aku melirik Ibuku yang kini tersenyum tanpa melihatku.
“Karena Ibu menyukainya. Kue nastar menjadi satu-satunya kue kering yang selalu berhasil Ibu buat dan semua orang menyukainya. Rasanya melegakan melihat mereka menyantapnya penuh nikmat.”
“Enaknya punya hal yang disukai. Aku saja bingung aku suka apa. Aku punya bakat apa.” Aku terdiam. Ibu pun memilih diam menungguku untuk melanjutkan obrolan. “Ibu, aku belum ada panggilan wawancara. Dari puluhan lowongan kerja yang telah aku lamar, sampai saat ini belum ada yang menghubungiku. Aku merasa gagal. Ibu, aku minta maaf karena belum menjadi apa-apa.”
Tangan Ibuku berhenti. Aku menatapnya dengan raut wajah sedih dan putus asa. “Cah Ayu, jangan ngomong seperti itu, ya. Ibu tahu kamu sudah berusaha. Nanti jika waktunya sudah tepat, kamu bakal dapat pekerjaan yang bagus. Percaya saja, ya. Jangan putus asa begitu. Ibu tidak mau anak Ibu sedih.”
“Tapi, aku gak kayak teman-temanku. Mereka sudah dapat kerja. Sedangkan aku masih begini saja. Ibu, aku merasa aku gak punya masa depan. Aku gak tahu mau jadi apa. Ibu menyesal gak punya anak kayak aku?” tanyaku sambil menahan air mata. Ibu mencuci tangannya di wastafel dan kembali lagi sambil merangkulku.
“Jangan ngomong seperti itu, ya, Nduk. Ibu sedih kalau kamu menganggap Ibu menyesal. Tidak sama sekali. Ibu dan Bapak bangga sama kamu, Nduk. Kalau ada kehidupan selanjutnya, Ibu mau kamu jadi anak Ibu lagi. Ibu tidak mau yang lain. Ibu malah takut kamu yang menyesal dilahirkan oleh Ibu.”
Aku menggeleng dan menghapus air mataku dengan punggung tangan. “Gak. Aku gak menyesal, kok. Aku cuma takut aku belum bisa dapat kerja. Aku belum bisa membahagiakan Ibu dan Bapak.”
Ibu memelukku dengan erat. Bau keringat khas Ibu dan pelukannya yang hangat. “Percaya saja, Nduk. Doa Ibu dan Bapak selalu menyertai kamu. Nah, sekarang ayo kita selesaikan nastar di loyang ini. Biar cepat selesai.” Kami pun kembali melanjutkan menguleni nastar sambil bercerita tentang masa kecil Ibu yang tak kalah menyenangkan.
Sore itu, aku memakan kue nastar dari loyang terakhir yang Ibu buat. Ibu selalu memberiku semangat bagaimana pun keadaanku. Kue nastar buatan Ibu yang manis dan hangat telah mengembangkan perasaanku yang tawar. Nasehat dan pelukan Ibu telah menyambung kembali semangatku yang patah.
Selamat hari ibu untuk Ibuku tersayang. Hiduplah abadi. Selalu temani aku. Mari bertemu kembali di setiap kehidupan, maka aku akan terus kembali ke dalam pelukanmu yang hangat.