5 Fakta High Functioning Depression (HFD), Nyaris Tak Terdeteksi!

Pengidap depresi biasanya diidentikkan dengan murung, lesu, sulit berkonsentrasi, menarik diri dari interaksi sosial, penurunan nafsu makan, serta cenderung tak produktif dalam keseharian.
Kendati demikian, gejala tersebut rupanya tak melulu kentara bagi semua pengidap depresi. Selain dipengaruhi tahap keparahan dari depresi dan faktor pencetus lahirnya depresi, jenis depresi pun ikut andil dalam hal tersebut.
Pasalnya, ada pula jenis depresi yang sekilas justru menunjukkan hal normal, terutama saat berbaur dengan orang-orang lain. Misalnya saja, seseorang yang sejatinya mengidap depresi namun malah tampak seperti sosok yang tak depresi atau yang kerap dikenal sebagai High Functioning Depression (HFD).
Nah, mari simak penjelasannya berikut ini.
1. HFD termasuk jenis depresi kronis dengan tahapan yang relatif masih ringan

High Functioning Depression (HFD) termasuk ke dalam jenis depresi kronis, namun masih dalam tahapan yang relatif masih ringan. Kendati demikian, gejala dari HFD ini dapat terus berlangsung bahkan hingga minimal 2 tahun walaupun secara kasat mata tak begitu terpantau dengan kentara oleh orang-orang disekitarnya.
Pasalnya, depresi jenis ini memang belum mengakibatkan efek yang mengganggu secara krusial dalam pola aktivitas pengidapnya. Namun, pengidap HFD sejatinya mengalami penurunan dorongan untuk menjalani keseharian sebab pudarnya makna hidup. Dengan kata lain, pengidapnya seolah hanya sekadar menjalani rutinitas semata, tanpa esensi.
Faktor pencetusnya dapat beragam, seperti gangguan ada otak, perubahan kadar hormon, penyakit medis tertentu, karakteristik genetik, stres, trauma mendalam, bahkan imbas dari penyalahgunaan zat berbahaya.
2. Sesuai namanya, pengidap HFD memiliki fungsi hidup yang sangat baik namun tanpa makna

Perasaan yang kehilangan makna hidup inilah yang menjadi cikal-bakal dari nama High Functioning Depression (HFD). Walaupun pengidapnya mengalami penurunan semangat hidup yang terbilang signifikan, namun sosok tersebut tetaplah menjalankan fungsi atau perannya dengan baik, bahkan sangat baik.
Misalnya, menyabet juara hingga dipromosikan menjadi manajer karena berprestasi. Padahal, sosok ini sejatinya tengah menjalani peperangan situasi mental yang terjadi secara internal di dalam jiwanya, namun luput dari pantauan orang-orang sekitar.
3. Orang lain kerap tak menduga seseorang tengah mengidap HFD sebab gejalanya yang tak kentara

Walau kadang saling tumpang-tindih dengan gejala jenis depresi lain, namun beberapa gejala berikut agaknya cukup khas sebagai patokan indikasi terhadap High Functioning Depression (HFD).
- Pengidap HFD akan lebih rentan murung; padahal tengah kumpul sanak-keluarga yang dirindukan, ataupun saat diberi penghargaan atau kenaikan pangkat.
- Pengidap HFD akan cenderung bersikap kritis berlebihan; ini merupakan salah satu imbas dari pikiran negatif yang meluap-luap kepada diri sendiri maupun orang lain.
- Pengidap HFD terus mengalami krisis keraguan; seperti pada bakat, minat, hingga kapabilitas diri walaupun pencapaian yang sudah sangat baik.
- Pengidap HFD akan cenderung lekas marah walau hanya soal sepele; terutama terhadap hal-hal yang tak sesuai dengan keinginan atau ekspektasi akibat dari gangguan mood yang sulit dikendalikan kadar emosinya.
- Pengidap HFD terlalu memikirkan masa lalu dan masa depan; mulai dari rentan meragukan keputusan yang sudah dibuat ataupun cemas berlebihan terhadap hal yang belum tentu terjadi.
Pengidap Functioning Depression (HFD) dapat mengalami satu atau bahkan semua gejala yang terkait erat dengan depresi jenis itu. Sayangnya, gejala tesebut memang tak begitu tampak secara jelas, apalagi di muka umum.
4. Sejatinya, pengidap HFD mengalami pergolakan batin secara internal yang akan kian memburuk

Tak kentaranya gejala tersebut pula yang menyebabkan pengidap Functioning Depression (HFD) kerap tak terdeteksi sebagai seseorang yang tengah berjuang keluar dari jeratan depresi. Pasalnya, pengidap HFD justru tampak sebagai sosok yang aktif, optimis, bahkan memiliki kehidupan yang kerap didamba orang kebanyakan seperti keluarga utuh, pekerjaan dan pendapatan memuaskan, secara fisik pun bugar, dan lainnya.
Padahal, pengidap HFD justru mengalami pergolakan bathin yang menyerangnya dengan konsisten. Walau tak diungkapkan secara literal, pengidap HFD sesungguhnya dicerca dengan banyak pikiran negatif oleh dirinya sendiri, yang tanpa disadari akan kian memburuk.
Mulai dari menganggap bahwa memperlihatkan ciri depresi merupakan sebuah kelemahan, dapat membebani orang lain, bahkan merasa dunia mungkin akan lebih baik apabila dirinya tak ada alias tumbuhnya keinginan untuk bunuh diri.
5. Pengidap HFD sangat disarankan untuk lekas berkonsultasi dengan para ahli

Alih-alih berbagi cerita dengan orang terdekat ataupun mengunjungi psikolog hingga psikiater, sebagian besar penderita depresi sering memilih untuk memendam situasi mentalnya sendiri. Padahal kebiasaan tersebut justru memperburuk keadaannya.
Selain itu, stigma buruk terhadap pengidap depresi pun menjadi salah satu faktor dari kebungkaman tersebut. Pasalnya, selain wawasan yang terbilang dangkal terkait kesehatan mental, orang-orang yang tak pernah mengalami pengalaman berjuang melawan situasi mental memang akan sangat sulit untuk memahami, dan menunjukkan empati yang tepat terhadap pengidap depresi.
Oleh sebab itu, akan lebih bijak untuk berkonsultasi dengan ahlinya seperti psikolog atau psikiater sebab mereka adalah orang-orang yang dapat menangani pengidap depresi (Setidaknya secara keilmuan) dengan lebih bijak. Para ahli tersebut akan menentukan tindakan yang tepat mulai dari pemberian obat anti depresan hingga hipnoterapi.
Adakah orang terdekatmu yang mengalami High Functioning Depression (HFD)? Jangan diacuhkan, namun rangkul dengan hangat dan sirami dengan empati yang tak cuma sekadar kata. Mereka membutuhkanmu, mari bersama bantu mereka untuk lepas dari pergolakan situasi mentalnya.
Semangatlah, kamu! Hidup ini indah apabila ada kamu, percayalah.