Fake Smile Bisa Bikin Bahagia Benaran? Ini Faktanya!

Memalsukan senyuman tidak bisa selalu menjadi solusi

Senyum, bahasa universal yang menunjukkan kalau seseorang sedang senang dan bahagia. Namun, apakah benar itu yang sedang dirasakan? Apakah di balik senyuman tersebut ada beban atau kesedihan yang disembunyikan?

Tidak jarang seseorang memasang fake smile alias senyum palsu demi terlihat bahagia dan kuat meski kenyataannya sedang rapuh. Ternyata, studi mengatakan kalau fake smile memiliki dampak positif sendiri untuk kondisi mood. Benarkah? Coba, deh, baca artikel ini sambil mendengarkan lagu The Great Pretender yang dibawakan oleh mendiang vokalis Queen, Freddie Mercury.

https://www.youtube.com/embed/mLRjFWDGs1g

Libatkan ribuan partisipan

Facial feedback hypothesis mengutarakan kalau ekspresi wajah bisa memengaruhi emosi. Dimuat dalam jurnal Nature Human Behaviour tahun 2022, sebuah penelitian gabungan mencari tahu akan hal tersebut. Penelitian ini melibatkan 3.878 partisipan dari 19 negara dengan usia rata-rata 26 tahun.

Para partisipan mengerjakan berbagai tugas sebelum mengisi Discrete Emotions Questionnaire (DEQ) untuk mengukur tingkat kebahagiaan mereka. Tingkat ini berkisar dari 1 (tidak bahagia sama sekali) hingga 7 (sangat bahagia). Selain itu, para partisipan juga melaporkan tingkat kecemasan, kemarahan, kelelahan, hingga kebingungan mereka.

Tugas-tugas yang diberikan kepada partisipan adalah:

  • Bolpoin di mulut: Partisipan menggigit bolpon dengan gigi agar terlihat tersenyum atau dengan bibir agar terlihat netral.
  • Mimikri wajah: Partisipan meniru ekspresi wajah yang bahagia atau netral.
  • Ekspresi wajah bebas: Partisipan diminta tersenyum atau memasang wajah netral.

Para peneliti menelaah respons DEQ untuk menakar apakah tingkat kebahagiaan partisipan berubah saat memasang wajah bahagia atau wajah netral. Selain itu, mereka juga menelaah efek gambar yang bernuansa positif (gambar anjing dan kucing peliharaan, bunga, atau pelangi) terhadap tingkat kebahagiaan pasien menggunakan DEQ.

Hasil: Senyum memang bisa meningkatkan mood

Fake Smile Bisa Bikin Bahagia Benaran? Ini Faktanya!ilustrasi seorang perempuan pura-pura tersenyum atau fake smile (pexels.com/Kat Smith)

Hasilnya, para peneliti menemukan bahwa tingkat kebahagiaan partisipan lebih tinggi saat dipaparkan gambar positif dan setelah memasang ekspresi wajah bahagia. Meski begitu, memasang wajah bahagia saat terpapar gambar-gambar bernuansa positif tidak berdampak signifikan terhadap perasaan bahagia.

Para peneliti mencatat bahwa ekspresi bahagia tidak menurunkan perasaan marah atau kecemasan. Lucunya, partisipan justru melaporkan tingkat kemarahan dan kecemasan tinggi saat mengerjakan tugas bolpoin di mulut (dengan kata lain, dipaksa tersenyum).

Pemimpin penelitian dari Stanford University, Dr. Nicholas A. Coles, menjelaskan bahwa ia juga melakukan penelitian pada Mei 2022 juga dengan data Many Smiles Collaboration untuk melihat efek tersenyum dan cemberut. Hasilnya, memang senyum meningkatkan kebahagiaan dan cemberut meningkatkan kemarahan.

"Memperluas jumlah ekspresi wajah, penelitian ini menunjukkan bahwa efek tersebut bukan sekadar efek plasebo," ujar Dr. Coles, dikutip Medical News Today.

Mengapa fake smile bisa meningkatkan mood?

Mental health counselor IDN Times, Hoshael Waluyo Erlan, menyambut studi tersebut. Sementara facial feedback hypothesis sering ditelaah, dunia belum menelaah lebih lanjut apakah memang ekspresi wajah menentukan emosi manusia, seperti senang karena tersenyum dan sedih atau marah karena cemberut.

"Ekspresi wajah kita punya dampak terhadap emosi kita secara keseluruhan," kata Hoshael kepada IDN Times.

Dilansir Medical News Today, Dr. Nicholas menjelaskan bahwa ada dua teori kontroversial mengapa fake smile bisa membuat kita lebih bahagia, yaitu:

  • Facial feedback mengaktifkan bagian otak yang menyebabkan respons emosi di seluruh tubuh.
  • Sensorimotor feedback dari wajah mengisyaratkan otak untuk menciptakan perasaan. Jadi, umpan balik sensorimotor dari senyum adalah bahagia di otak, sementara cemberut adalah perasaan negatif di otak.

Baca Juga: Inilah Manfaat Memaafkan dan Pengampunan, Gak Rugi!

Berdasar dari kebutuhan dasar manusia?

Fake Smile Bisa Bikin Bahagia Benaran? Ini Faktanya!ilustrasi tersenyum di hadapan cermin (pexels.com/Wilson Vitorino)

Hoshael juga mengatakan bahwa ada banyak penyebab mengapa seseorang memalsukan senyuman. Salah satunya adalah kebutuhan dasar manusia untuk diterima oleh lingkungannya. Untuk tujuan tersebut, senyum adalah ekspresi paling simpel dan umum yang secara normatif dan kolektif diterima oleh umat manusia, terlepas dari kultur dan situasi.

Ia melanjutkan, saat seseorang memasang senyum palsu, maka hal yang terlihat adalah orang tersebut baik-baik saja. Hasilnya, tak akan ada pertanyaan-pertanyaan yang justru memperkeruh keadaan hati atau membuatnya tak nyaman karena harus membuka diri.

Fake smile bisa jadi penyelamat ... untuk alasan itu,” imbuh Hoshael.

Bagi kebanyakan orang, memang adalah lebih mudah untuk menyangkal emosi sendiri. Oleh karena itu, Hoshael berujar bahwa fake smile adalah mekanisme yang unik karena bukan hanya "membohongi" orang lain, yang melakukannya pun sedang "membohongi" diri sendiri.

Jangan terlalu sering menunjukkan fake smile

Berbicara soal fake smile, Hoshael mengiyakan bahwa penelitian ini membuktikan kalau senyum bisa memengaruhi emosi. Namun, berbicara manfaat praktis fake smile terhadap kesehatan mental, belum bisa diterapkan begitu saja.

"Apakah fake smile bisa disarankan? Saya rasa itu bukan pendekatan yang pas ... Ketika seseorang punya masalah emosi atau masalah yang pelik sehingga membuatnya bergelut secara emosional, fake smile bukan solusi praktis," papar Hoshael.

Menurutnya, fake smile bisa membawa kebahagiaan kalau yang melakukannya sadar bahwa ia sedang tersenyum. Namun, jika seseorang terlalu tenggelam dalam emosi dan tak sadar akan senyumnya, maka fake smile tetap tidak berkhasiat apa-apa.

Jadi, apakah senyum yang murni lebih baik? Tentu saja. Akan tetapi, Hoshael meluruskan bahwa bak vitamin yang tak bisa mencegah semua penyakit, maka senyum pun tak bisa serta-merta "menggantikan emosi".

"Saat kita senyum, hari jadi terasa lebih baik. Ini tidak perlu saran saintifik. Kamu jadi merasa senang dan nyaman, sementara orang lain juga menjadi nyaman dengan keramahan yang ditunjukkan oleh senyuman," kata Hoshael.

Fake Smile Bisa Bikin Bahagia Benaran? Ini Faktanya!ilustrasi menangis (pexels.com/Alex Green)

Dengan fake smile, seseorang ingin terlihat bahagia meski keadaan bercerita sebaliknya. Hoshael mengatakan bahwa penyangkalan emosi bukanlah solusi permanen. Jadi, bukan fake smile yang ia permasalahkan, melainkan saat ini dilakukan untuk "membohongi" emosi sendiri.

“Kalau sedang kesal [atau sedih], bertingkahlah sesuai emosi,” kata Hoshael.

Jika senyum palsu digunakan untuk menyangkal emosi, dampak negatif bukan hanya terhadap pelakunya karena lingkungan sekitar pun tahu bahwa yang dipasang di wajah adalah senyuman palsu.

Meski begitu, tak jarang seseorang tak memiliki waktu untuk mengelola atau memahami emosinya sendiri. Jika begitu, Hoshael menyarankan untuk memang tetap tersenyum.

"Ini bisa berhasil, saat kondisi jauh dari ideal untuk mengelola emosi negatif," tambah Hoshael.

Berdiam diri lebih baik daripada memalsukan senyum

Hoshael mengatakan bahwa emosi negatif tetaplah emosi dan perlu diekspresikan. Jadi, jika hati sedang kacau tetapi tak ada ruang atau waktu untuk memproses emosi negatif, ia menyarankan untuk mengambil waktu sejenak dan berdiam diri.

"Mengejutkan betapa jarangnya kita berdiam diri. Kita selalu berbicara dan tidak nyaman dengan keheningan ... Kita senang banget terdistraksi. Ini membuat kita jadi agak sulit mengelola emosi,” kata Hoshael.

Dalam keadaan berdiam diri tersebut, Hoshael menyarankan untuk bertanya dan menelaah emosi dalam diri sendiri. Apa yang dirasakan? Mengapa ada perasaan tersebut? Lalu, apa yang memicu perasaan tersebut? Menurutnya, pertanyaan-pertanyaan ini bisa membantu seseorang memproses emosi negatif.

Fake Smile Bisa Bikin Bahagia Benaran? Ini Faktanya!ilustrasi berdiam diri (pexels.com/MART PRODUCTION)

Lalu, bagaimana bila memang tidak bisa memproses perasaan negatif saat itu juga? Maka, Hoshael menyarankan untuk memasang ekspresi netral. Lalu, jika memang lingkungan kepo hingga membuat kamu merasa tidak nyaman, inilah saatnya untuk menolak.

“Cara terbaik menghadapi emosi adalah menghadapinya, bukan disangkal atau dialihkan,” ujar Hoshael.

Menyinggung beratnya mempertahankan senyum di beberapa sektor usaha (hingga tak jarang para pekerja ditemukan menangis di toilet), Hoshael mengatakan bahwa melatih senyum harus dibarengi dengan pemahaman emosi. Dengan sensitivitas emosi meningkat, seseorang jadi tahu apa yang harus dilakukan di tahap awal emosi.

"Emosi susah dikontrol kalau disadari belakangan ... Jadi, mau di toilet atau di sudut gedung dekat parkiran motor, tidak apa-apa selama emosi kita proses dengan benar,” kata Hoshael.

Harapan studi di masa depan

Saat ditanya mengenai kekurangan studi tersebut, Hoshael mengatakan bahwa penelitian ini masih bersifat eksperimen dan dalam skenario laboratorium sehingga belum bisa dipukul rata ke populasi umum. Dengan metode dan stimulus yang diatur, hal ini berbeda dengan skenario dunia nyata.

"Kebahagiaan bukan hal yang bisa diukur," ujar Hoshael.

Meski begitu, Hoshael berharap penelitian ini bisa direplikasi di Indonesia untuk mengetahui bagaimana orang Indonesia merespons stimulus wajah dan emosi. Tergantung etnis, Hoshael menekankan kalau kontrol emosi adalah hal rumit dan penduduk di belahan Indonesia punya cara berbeda-beda.

"Emosi juga bukan hanya sedih atau senang, dan bagaimana ekspresi wajah bisa mengekspresikan hal tersebut di Indonesia juga bisa ditelaah," tandas Hoshael.

Baca Juga: 'Pria Kok Cengeng!', Curhat Kaum Adam tentang Gangguan Psikologis

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya