22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045

Mumpung masih bisa, yuk, cegah dari sekarang!

Badan Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan obesitas sebagai penumpukan lemak yang berlebihan akibat ketidakseimbangan asupan energi (energy intake) dengan energi yang digunakan (energy expenditure).

Selain itu, berdasarkan data WHO tahun 2016, lebih dari 1,9 miliar orang yang usianya di atas 18 tahun memiliki berat badan berlebih (overweight), sedangkan orang yang obesitas jumlahnya 650 juta jiwa!

Tentunya, ini tidak bisa dianggap remeh karena obesitas mengarah ke perkembangan penyakit tidak menular (PTM). Itulah mengapa Nutrifood mengadakan festival komunitas #BeatObesity secara daring pada Senin (7/3/2022) yang mengangkat tema "Anak Muda Lawan Obesitas".

Salah satu narasumber yang dihadirkan adalah dr. Esti Widiastuti, M.ScPH, Koordinator Substansi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Diabetes Melitus dan Gangguan Metabolik Kementerian Kesehatan RI, yang berbicara mengenai "Kebijakan dan Strategi Pengendalian Obesitas di Indonesia". Simak, yuk!

1. Bisa diketahui dengan menghitung indeks massa tubuh

22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045ilustrasi obesitas (unsplash.com/AllGo - An App For Plus Size People)

Mungkin, sebagian dari kita kesulitan membedakan mana orang yang kelebihan berat badan dan mana yang obesitas. Menurut dr. Esti, batasannya mengacu ke indeks massa tubuh (IMT).

IMT merupakan ukuran lemak tubuh berdasarkan tinggi dan berat badan yang berlaku untuk laki-laki dan perempuan dewasa. Rumus untuk menghitungnya adalah berat badan (dalam kilogram) dibagi tinggi badan kuadrat (dalam satuan meter). Sudah ketemu hasilnya? Berikut pengategoriannya:

  • Di bawah 17: Sangat kurus.
  • 17-18,5: Kurus.
  • 18,5-25: Normal.
  • 25-27: Gemuk atau overweight.
  • 27 ke atas: Obesitas.

2. Bisa juga dengan mengukur lingkar perut

22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045ilustrasi mengukur lingkar perut (pixabay.com/jarmoluk)

Selain itu, dr. Esti juga menjelaskan mengenai obesitas sentral. Istilah ini merujuk pada lemak perut yang berlebihan dan menumpuk sehingga cenderung berdampak negatif pada kesehatan.

Cara mengetahuinya mudah, yaitu dengan mengukur lingkar perut. Seorang laki-laki disebut mengalami obesitas sentral jika lingkar perutnya lebih dari 90 cm dan di atas 80 cm bagi perempuan.

"Kasus obesitas sentral di Indonesia pada umur di atas 15 tahun adalah 18,8 persen di tahun 2007, 26,6 persen di tahun 2013, dan 31 persen di tahun 2018," terangnya.

Jangan sepelekan obesitas sentral karena berisiko lebih tinggi untuk mengembangkan berbagai penyakit seperti stroke, diabetes, hipertensi, osteoartritis, perlemakan hati, sleep apnea, dan masih banyak lagi, mengutip Bangkok Hospital.

3. Kasus obesitas terus naik dari tahun ke tahun

22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045ilustrasi pengidap obesitas (unsplash.com/AllGo - An App For Plus Size People)

Dokter Esti memaparkan data terkait obesitas dalam skala global maupun nasional. Menurutnya, prevalensi obesitas di seluruh dunia naik tiga kali lipat pada tahun 2016 dibandingkan tahun 1975.

Bahkan, menurut The 2018 Congress on Obesity di Vienna, Austria, 22 persen penduduk dunia diprediksi mengalami obesitas pada tahun 2045! Selain itu, diperkirakan 1 dari 8 orang akan mengalami diabetes tipe 2, naik 9 persen dibanding tahun 2017.

Di Indonesia, kasus obesitas pun cenderung mengalami peningkatan. Prevalensi obesitas pada usia di atas 18 tahun adalah 11,7 persen pada tahun 2010, sebanyak 15,4 persen pada tahun 2013, dan 21,8 persen pada tahun 2018.

Bahkan, obesitas juga ditemui di kalangan balita! Pada tahun 2018 kasusnya sebanyak 8 persen, lalu turun menjadi 4,5 persen pada tahun 2019, dan sebanyak 3,8 persen pada tahun 2021.

Baca Juga: 8 Fakta Diet Okinawa Jepang, Bisa Hidup 15 Tahun Lebih Lama

4. Merupakan faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular dan kematian

22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045ilustrasi penyakit jantung (pixabay.com/Pexels)

Obesitas merupakan faktor risiko terjadinya penyakit tidak menular dan penyebab kematian tertinggi ke-5. Obesitas berkontribusi pada kematian akibat penyakit jantung (5,87 persen dari total kematian) serta diabetes dan penyakit ginjal (1,84 persen dari total kematian).

Data dari Global Burden of Disease yang dikutip oleh dr. Esti menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan risiko diabetes melitus hampir dua kali lipat dan hampir empat kali lipat berisiko mengalami komorbid diabetes melitus-hipertensi.

Bahkan, menurut pernyataan American Medical Association (AMA) tahun 2013, obesitas tidak hanya sekadar kelebihan berat badan, tetapi dikategorikan sebagai penyakit, sehingga diperlukan intervensi untuk mencegah dan mengendalikannya.

5. Kemajuan teknologi berkontribusi meningkatkan obesitas

22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045ilustrasi layanan antar makanan (pexels.com/Norma Mortenson)

Obesitas sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi, industrialisasi, dan globalisasi. Menurut data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), sebanyak 33,5 persen orang kurang aktivitas fisik serta jarang bergerak dan berolahraga.

"Salah satu faktor yang menyebabkan obesitas adalah teknologi. Kalau dulu mau makan harus usaha, entah itu memasak atau beli dengan berjalan kaki. Sekarang dengan kemudahan aplikasi, kita (bisa) memesan makanan dengan menjentik jari," ujar dr. Esti.

Selain itu, kita terlalu bergantung pada alat transportasi seperti motor atau mobil. Bahkan, memakai motor untuk ke minimarket yang jaraknya hanya ratusan meter adalah pemandangan umum.

Untuk memindah channel televisi pun tidak perlu menggerakkan badan karena ada remote control. Teknologi yang terlalu memanjakan manusia inilah yang membuat kasus obesitas terus meningkat.

6. Atur pola makan adalah salah satu solusinya

22 Persen Penduduk Dunia Diprediksi Menjadi Obesitas Tahun 2045ilustrasi makan sayur (unsplash.com/Nutriciously)

Masih mengacu pada data Riskesdas, sekitar 95,4 persen orang Indonesia kurang konsumsi sayur dan buah. Selain itu, kita tidak menghitung asupan gula, garam, dan lemak (GGL) yang dikonsumsi setiap hari.

Dokter Esti memberikan panduan mengenai takaran GGL yang tepat. Untuk gula, maksimal 4 sendok makan (sdm) atau 50 gram per hari, garam 1 sendok teh (sdt) atau 2.000 mg per hari, dan lemak 5 sdm atau 67 gram per hari.

Atur pola makan berdasarkan panduan isi piringku. Untuk orang yang memiliki berat badan normal, bagi piring menjadi dua bagian. Dari setengah piring, 2/3 adalah karbohidrat dan 1/3 adalah protein. Setengah piring lainnya, isi 2/3 dengan sayur dan 1/3 buah.

Namun, untuk orang yang obesitas beda lagi. Bagi piring menjadi empat bagian sama rata. Lalu, isi setiap bagian dengan karbohidrat, protein, sayur, dan buah, dr. Esti menganjurkan.

Baca Juga: Sekitar 42 Juta Anak di Dunia Obesitas, Intip 7 Fakta Berikut Ini!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya