Cara Mencegah Penularan COVID-19 pada Anak Saat Sekolah Tatap Muka

Berdasarkan panduan terbaru dari IDAI

Satu per satu, berbagai wilayah di Indonesia mulai memberlakukan pembelajaran tatap muka (PTM) atau sekolah luring. Ini karena penurunan kasus COVID-19 yang terjadi belakangan. Kabar mengenai PTM disambut gembira, tetapi banyak pula pihak yang menentangnya karena dianggap terlalu terburu-buru. Benarkah ini keputusan yang tepat?

Bagaimana pun, keselamatan para pelajar harus diutamakan agar tidak menimbulkan klaster baru. Atas dasar itu, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menyampaikan pandangannya terkait pembukaan sekolah yang diunggah di situs resminya pada Jumat (27/8/2021).

Berikut ini cara mencegah penularan COVID-19 pada anak saat sekolah tatap muka. Apa saja yang harus diperhatikan?

1. Sekolah bisa dibuka kembali jika memenuhi beberapa aspek

Cara Mencegah Penularan COVID-19 pada Anak Saat Sekolah Tatap Mukailustrasi penurunan kasus dan kematian (instagram.com/kawalcovid19.id)

Pembelajaran tatap muka bisa dimulai kembali, menimbang penurunan kasus COVID-19 di beberapa wilayah Indonesia, penutupan sekolah yang berlangsung lebih dari setahun, serta telah dilaksanakan vaksinasi untuk anak di atas usia 12 tahun dan dewasa (in progress).

IDAI menyatakan bahwa pembelajaran tatap muka bisa dimulai secara bertahap namun harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Selain itu, anak harus sudah divaksinasi, jika sudah memasuki usia wajib vaksin COVID-19. Guru dan perangkat sekolah (staf) lainnya juga harus sudah divaksinasi.

Menurut IDAI, keputusan pembukaan sekolah ditetapkan tiap daerah masing-masing dengan merujuk pada:

  • Kasus aktif (positivity rate COVID-19 di bawah 8 persen)
  • Angka kematian (yang mengalami penurunan)
  • Cakupan imunisasi COVID-19 pada anak lebih dari 80 persen
  • Ketersediaan tes PCR SARS-COV-2
  • Ketersediaan tempat tidur RS baik layanan rawat inap maupun rawat intensif untuk anak
  • Penilaian kemampuan murid, sekolah, dan keluarga untuk mencegah penularan

"IDAI sangat menunjang untuk sekolah tatap muka. Namun, tentu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi. Syarat kami bukan level PPKM, (tapi) positivity rate (yaitu) di bawah 8 persen. Jika daerah bisa di bawah 8 persen, silakan sekolah tatap muka," ujar Prof. Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA(K), FAAP, FRCPI (Hon.) selaku Ketua Pengurus Pusat IDAI dalam pernyataannya di YouTube pada Selasa (31/8/2021).

2. Keputusan membuka atau menutup sekolah perlu memperhatikan kasus harian

Cara Mencegah Penularan COVID-19 pada Anak Saat Sekolah Tatap Mukailustrasi pembelajaran tatap muka (unicef.org/Dayne)

Lebih lanjut, IDAI menegaskan bahwa keputusan pembukaan sekolah dibuat secara berkala melalui evaluasi mingguan. Sekolah perlu berkoordinasi dengan pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan terkait keputusan membuka atau menutup sekolah dengan memperhatikan kasus harian.

Jika terjadi satu kasus di sekolah, maka sekolah (dibantu dengan Dinas Kesehatan) harus segera melakukan tracing dan mitigasi kasus, menutup sementara kelas atau sekolah yang terpapar, serta melaporkan temuan ke pihak-pihak terkait. Kelas atau sekolah bisa dibuka kembali jika sudah dinyatakan aman.

Pembelajaran tatap muka yang dihentikan sementara bisa diganti dengan kegiatan lain, berdasarkan hasil keputusan bersama berbagai pihak. Termasuk orangtua, guru, sekolah, pemerintah daerah, Dinas Kesehatan, dan Dinas Pendidikan.

3. Anak yang memiliki komorbid tidak dianjurkan untuk sekolah tatap muka

Cara Mencegah Penularan COVID-19 pada Anak Saat Sekolah Tatap Mukailustrasi sekolah tatap muka (reuters.com/Ajeng Dinar Ulfiana)

IDAI menyatakan bahwa orangtua diberi kebebasan memilih sekolah tatap muka atau daring untuk anaknya. Sekolah pun harus memfasilitasi penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan pilihan orang tua.

Sebelum mengambil keputusan masuk sekolah tatap muka, orangtua perlu mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

  • Anak di atas usia 12 tahun yang sudah memperoleh vaksin COVID-19
  • Anak tidak memiliki komorbiditas (termasuk obesitas), jika ada, maka diharapkan berkonsultasi dengan dokter terlebih dahulu
  • Anak sudah bisa memahami protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak, mencuci tangan, mengetahui apa yang boleh dilakukan untuk mencegah transmisi COVID-19 dan hal yang tidak boleh dilakukan karena berisiko tertular atau menularkan COVID-19
  • Guru dan petugas di sekolah telah mendapatkan vaksinasi COVID-19
  • Anggota keluarga di rumah sudah mendapatkan vaksinasi COVID-19

"Tidak boleh ada komorbid, salah satunya adalah obesitas. Kalau dia obesitas, kita tidak anjurkan dia untuk sekolah. Ada komorbid-komorbid lainnya seperti malnutrisi, TBC, dan lainnya," jelas Prof. Aman, sembari mengingatkan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat kematian anak (khususnya pada bayi dan balita) akibat COVID-19 tertinggi di dunia."

4. Sebelum menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, sekolah perlu menyiapkan beberapa hal

Cara Mencegah Penularan COVID-19 pada Anak Saat Sekolah Tatap Mukailustrasi anak mencuci tangan (unicef.org/Ihsan E)

Sesuai panduan yang dikeluarkan oleh IDAI, sekolah perlu melakukan persiapan sebelum menyelenggarakan pembelajaran tatap muka, seperti mempertimbangkan:

  • Kapasitas kelas
  • Sirkulasi udara
  • Durasi belajar
  • Ketersediaan fasilitas (seperti alat pemeriksaan suhu tubuh, sabun dan air mengalir untuk mencuci tangan, ruangan khusus untuk menempatkan atau memisahkan kasus suspek, dan lainnya)
  • Kelengkapan vaksinasi COVID-19 pada guru dan petugas sekolah
  • Mendahulukan sekolah tatap muka pada murid yang telah mendapat vaksinasi COVID-19
  • Kepatuhan mengikuti protokol kesehatan di lingkungan sekolah

Menurut Prof. Aman, ruang kelas harus terbuka dan memiliki ventilasi udara. Anak-anak tidak boleh makan atau minum saat di sekolah. Sebab, masker yang dibuka berpotensi menyebarkan droplet. Itu yang terjadi pada klaster kantor beberapa waktu yang lalu.

Diperlukan kejujuran dari guru, perangkat sekolah, dan wali murid mengenai kondisi kesehatan masing-masing dan tidak menutupi keadaan apabila terinfeksi COVID-19. Jangan ke sekolah kalau ada tanda-tanda sakit seperti batuk, pilek, flu, muntah, diare, dan lainnya. Selain itu, sekolah maupun pemerintah setempat harus transparan menampilkan data kasus COVID-19 pada anak.

"Harus ada dashboard data transparan di setiap daerah. Berapa anak yang sakit? Berapa anak yang meninggal? Ketersediaan tempat rawat anak, testing, ini semua harus kita nilai. Kalau tidak, kita akan membuat klaster baru. Dan akan timbul pula varian baru," Prof. Aman mewanti-wanti.

Terakhir, IDAI menekankan bahwa pandangan ini sifatnya dinamis dan bisa berubah sesuai kondisi yang berkembang.

Baca Juga: WHO Pantau Varian Virus Corona Baru yang Dinamakan 'Mu'

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya