Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!

Jangan telan mentah-mentah dulu

Di masa pandemi COVID-19, kita tak hanya melawan penyakit akibat virus corona SARS-CoV-2, tetapi juga wabah disinformasi terkait COVID-19. Di media sosial, kita melihat hoaks bertebaran, tak kalah ganas dengan pandemi itu sendiri.

Belakangan ini, beredar hoaks yang mengatasnamakan Ikatan Dokter Indonesia. Tersebar di platformWhatsApp, hoaks tersebut mencantumkan hasil dari webinar IDI pada 26 Juni 2021 bersama dr. Sugeng Ibrahim, M.Biomed (AAM).

Dikonfirmasi ke IDI, webinar pada tanggal dan narasumber tersebut tidak ada. Apa saja poin-poin tentang COVID-19 yang disebarkan lewat pesan tersebut? Cek faktanya di sini!

1. Klaim: Penyebab orang tertular COVID-19 adalah karena tidak pakai masker atau cara memakainya masker yang salah atau karena sering membuka2 masker

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi mobilitas warga di tengah pandemi COVID-19 (ANTARA FOTO/Fikri Yusuf)

Dihubungi pada Kamis (8/7), edukator dan penggiat edukasi kesehatan COVID-19, dr. R.A. Adaninggar, SpPD, mengatakan bahwa faktor penyebab seseorang terkena COVID-19 adalah ketidakseimbangan antara sistem imun dan jumlah virus corona baru (SARS-CoV-2).

Mengapa jumlah virus dapat lebih banyak? Bukan hanya tidak pakai masker, salah satu faktor utamanya adalah tata cara pemakaian masker yang salah.

"Orang tertular (COVID-19) dan sakit itu jika terjadi ketidakseimbangan antara sistem imun dan jumlah virus. Cara memakai masker yang salah bisa menyebabkan virus yang masuk ke dalam tubuh lebih banyak," ujar dokter yang akrab disapa dr. Ninggar.

2. Klaim: Cara memakai masker harus rapat menutup hidung sampai ke dagu (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Infografik Cara Menggunakan Masker yang Baik (IDN Times/Sukma Shakti)

Pedoman dari berbagai otoritas kesehatan, seperti Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) dan Badan Kesehatan Dunia (WHO), menetapkan kalau cara terbaik untuk mengenakan masker adalah menutupi dari hidung sampai dagu.

Bukan di bawah dagu, apalagi sampai tidak menutupi dagu. Selain itu, masker tidak boleh menyisakan celah. Dengan begitu, perlindungan dari COVID-19 pun jadi maksimal.

Baca Juga: Obat Cacing Ivermectin untuk COVID-19, Efektif Sembuhkan Pasien?

3. Klaim: Masker medis lapis 2 atau kain 3 ply, atau masker N95 cukup 1 saja (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Infografis masker ganda (IDN Times/Izza Namira)

Dokter Ninggar mengingatkan kalau Indonesia dan dunia tengah menghadapi varian B.1.617.2 atau Delta. Varian ini menular jauh lebih cepat dibandingkan varian konvensional. Oleh karena itu, pemakaian masker pun harus ditingkatkan.

"Kalau masker N95, cukup 1 karena memang fit dan filtrasinya sudah baik," ujar dr. Ninggar.

Masker yang dipakai harus tidak menyisakan celah dan filtrasi partikel pun harus teruji. Sayangnya, masker medis biasanya tidak memberikan fitur tersebut, sehingga harus ditutupi dengan masker kain.

4. Klaim: Setelah dipakai, dipotong kemudian dibuang, jangan dibawa masuk ke dalam rumah, dan jangan dipegang-pegang (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi memotong masker (freepik.com/ali_production)

Menanggapi hal tersebut, dr. Eka Ginanjar, SpPD-KKV, FINASIM, FACP, mengatakan kepada IDN Times bahwa masker itu ibarat sebuah saringan teh dan kopi. Semua kuman tersaring di permukaan masker agar tidak masuk ke sistem pernapasan. Namun, bila kita bawa ke rumah hingga dipegang-pegang, maka bisa membahayakan diri sendiri dan orang yang tersayang.

Lalu, setelah pakai, segera buang masker. Baik digunting atau dirobek, upayakan masker tidak layak pakai sehingga tidak didaur ulang oleh oknum tak bertanggung jawab. Pemakaian masker bedah harus diganti tiap 4 jam. Sementara masker kain tidak disarankan, jika sudah pakai, segera cuci masker kain tersebut.

5. Klaim: Virus sebelum bermutasi, penularan tanpa masker terjadi dalam 15 menit; setelah mutasi Delta, bisa terjadi dalam 5 menit

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi penularan virus corona (pixabay.com/mohammed_hassan)

Dokter Ninggar mengingatkan kalau tidak butuh waktu menit untuk varian Delta untuk menular antarmanusia. Di sisi lain, dr. Eka menambahkan kalau mutasi Delta memang masih diteliti dan ditemukan tiga kali lipat lebih mudah menyebar. Beberapa faktor yang berkontribusi adalah:

  • Ciri khas varian Delta yang lebih mudah menempel ke sel inang
  • Batuk dan bersin menyebarkan tetesan kecil atau droplet

Namun, dr. Eka mengingatkan bahwa meskipun daya sebarnya lebih kuat, waktunya masih belum dapat dipastikan antara 15 menit hingga 5 menit.

"Bukan masalah waktunya, melainkan penyebarannya... Meski betul daya sebar (Delta) lebih kuat, prakiraan waktunya belum dapat dipastikan," ujar dokter yang praktik di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kencana tersebut.

6. Klaim: Penyebab kematian bukan karena virusnya, tetapi badai sitokin dan peradangan di paru-paru, sehingga paru-paru berisi cairan dan oksigen tidak dapat masuk ke darah

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!COVID-19 dan badai sitokin (scitechdaily.com)

Anggapan umum bahwa komplikasi yang membunuh pasien COVID-19 tidak dibenarkan oleh dr. Eka. Pada dasarnya, infeksi SARS-CoV-2 yang menjadi "biang kerok" komplikasi seperti badai sitokin dan kerusakan jaringan hingga menyebabkan peradangan pada paru-paru atau pneumonia.

“Ini adalah sebuah rangkaian yang tidak bisa dipecah-pecah. Betul, ada infeksi sekunder dan komplikasi. Tetapi, tidak bisa kita bilang ‘Oh, meninggal karena badai sitokin’. Karena, virus itu yang menyebabkannya," jelas dr. Eka.

Baca Juga: Studi: Vaksin AstraZeneca Ampuh Cegah COVID-19 Varian Delta

7. Klaim: Obat cacing Ivermectin adalah obat cacing untuk anjing, kuda dan hewan lainnya, hanya menghambat replikasi RNA-nya virus, jadi kurang efektif karena penyebab kematian sebenarnya bukan virusnya, akan tetapi badai sitokin

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi ivermectin (deccanherald.com)

Seperti yang kita tahu, ivermectin adalah obat antiparasit atau obat cacing yang naik daun sebagai terapi untuk COVID-19. Menurut sebuah penelitian di Amerika Serikat (AS) pada Maret 2020 yang dimuat dalam jurnal Antiviral Research, memang ivermectin dikatakan dapat mencegah replikasi RNA pada SARS-CoV-2.

Akan tetapi, dr. Ninggar mengingatkan kalau COVID-19 adalah infeksi virus, bukan infeksi parasit. Dengan demikian, ivermectin yang bukan antivirus tidak dapat dianggap terapi untuk COVID-19.

Mengulangi poin dari dr. Eka, dr. Ninggar mengatakan bahwa badai sitokin sendiri bukanlah penyebab utama kematian pada pasien COVID-19. Ini karena badai sitokin tak akan terjadi bila infeksi SARS-CoV-2 tidak terjadi pertama kali. Dengan kata lain, penyebab kematian tersebut tetaplah infeksi virus.

8. Klaim: Terapi plasma convalescent hanya efektif sebelum 5 hari. Gamaras atau Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dari plasma darah orang yang sehat, mahal dan cara stem cell lebih murah

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi terapi plasma konvalesen (courant.com)

Menurut dr. Eka, pemberian praktik tambahan pada pasien COVID-19 tidak bisa sembarangan. Gamaras atau intravenous immunoglobulin (IVIG), terapi plasma konvalesen, hingga pemberian interleukin-6 (IL-6) harus mengikuti keadaan pasien COVID-19.

Sebuah penelitian pada awal 2020 di Indonesia pun juga mengungkapkan keefektifan terapi sel punca atau stem cell dari tali pusat atau plasenta untuk meningkatkan pemulihan pasien COVID-19. Namun, metode ini masih dalam tahap penelitian atau trial, sehingga tidak dapat dijadikan opsi.

"Jadi, gak bisa semua disatukan. Untuk opsi stem cell, masih dalam koridor trial dan belum bisa dianggap pengobatan yang dapat dipakai untuk COVID-19," ujar dr. Eka.

9. Klaim: 3-5 hari timbul gejala, puncak pada hari ke-7 sampai dengan hari ke 10, kemudian menurun. Hari ke-14 akan sembuh. Jadi jika hasil tes antigen negatif, harus dites lagi 5 hari kemudian, kalau negatif lagi barulah berarti bahwa benar-benar sudah negatif (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Ilustrasi petugas medis melakukan rapid tes antigen COVID-19 (ANTARA FOTO/Galih Pradipta)

Tes usap (swab test) antigen memiliki sensitivitas hingga 94 persen dan spesifisitas hingga di atas 97 persen. Namun, menurut UC Health, risiko negatif palsu atau false negative pada swab antigen tinggi.

Hal ini dapat terjadi terutama bila beban virus rendah, tes dilakukan 1-3 hari sebelum gejala muncul atau lebih dari 7 hari setelah gejala muncul. Akibatnya, antigen menunjukkan negatif, sedangkan pasien masih positif dan memicu penyebaran SARS-CoV-2.

10. Klaim: Test antigen negatif jika CT >30. Padahal, benar-benar negatif jika CT >35. Jadi, jika test antigen negatif merupakan false negative, bisa sedang OTG, bisa menulari orang lain, jadi harus segera test PCR. PCR negatif berarti nilai CT-nya di antara 35-40. Makin rendah CT, makin menular dan gejala akan makin berat. Batas negatif jika CT sudah 35 ke atas

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Warga mengikuti rapid test antigen gratis di Alun-alun simpang tujuh, Kudus, Jawa Tengah (ANTARA FOTO/Yusuf Nugroho)

Nilai cycle threshold menunjukkan prakiraan jumlah materi ribonucleic acid (RNA) virus pada hasil swab. Tinggi dan rendahnya nilai CT menentukan jumlah virus.

Semakin tinggi nilai CT, maka semakin rendah jumlah RNA virus yang didapat pada swab. Sebaliknya, semakin rendah CT, maka semakin tinggi jumlah RNA virus. Bila nilai CT melebihi angka cut-off tertentu, maka hasil PCR dianggap negatif.

Nilai CT tidak dapat menunjukkan apakah seseorang masih menularkan COVID-19 atau tidak. Mengutip CDC, pada akhir fase COVID-19 pun, PCR masih bisa positif dengan nilai CT rendah, padahal pasien sudah tidak dapat menularkan lagi. Oleh karena itu, gejala klinis juga harus dipertimbangkan dalam menentukan kesembuhan pasien COVID-19.

Baca Juga: Perbandingan 7 Jenis Vaksin COVID-19 yang Akan Dipakai Indonesia

11. Klaim: Batas saturasi oksigen itu nilainya 90, jika nilainya di bawah itu, harus segera ke rumah sakit terdekat

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi pulse oximeter (pixabay.com/fernando zhiminaicela)

Bukan 90 persen, dr. Eka mengingatkan kalau batas normal saturasi oksigen (SpO2) adalah 95 persen ke atas. Untuk 94 persen ke bawah, ini pertanda SpO2 turun drastis.

"Artinya, tubuh kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan masalah seperti kerusakan jaringan dan sel pada organ vital. Jika sudah di bawah 90, maka sudah bahaya," kata dr. Eka.

Akan tetapi, faktor yang harus diperhitungkan juga adalah kondisi klinis individu. Jika ada gejala lain seperti batuk pilek atau demam, maka pasien harus bergegas ke rumah sakit. Apalagi, jika SpO2 sudah turun, maka fungsi paru-paru sudah bermasalah, sehingga harus secepatnya diberikan pertolongan dan bantuan ventilator.

12. Klaim: Cara menaikkan oksigen, yaitu dengan cara menarik napas dari hidung secara dalam-dalam, tahan 5 detik, lalu buang napas, lakukan minimal 5 kali berturut-turut

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi pedoman teknik proning (IDN Times/Sukma Shakti)

Trik yang diberikan tersebut adalah untuk melatih pernapasan, bukan untuk menaikkan SpO2! Di saat darurat di mana SpO2 turun dan tak ada bantuan oksigen, teknik proning dapat dilakukan. Tidur tengkurap (prone) dipercaya dapat mendongkrak kadar SpO2.

Dilansir Kawal COVID, terdapat 3 posisi proning yaitu:

  • Berbaring tengkurap dengan bantal di leher, area panggul, dan di bawah kaki
  • Duduk dengan bersandar pada bantal yang empuk
  • Berbaring ke sisi kanan dengan bantal di bawah kepala, bawah pinggang, dan di antara kedua kaki

Ketiga posisi tersebut dapat dilakukan bergantian setiap 30 menit. Selain itu, Kawal COVID mengingatkan bahwa ruangan harus memiliki ventilasi yang baik dan pasien harus mendapatkan asupan udara segar sebanyak mungkin. Namun, jika keadaan SpO2 pasien tidak kunjung membaik, segera cari pertolongan!

13. Klaim: Jika ada yang kena COVID, berarti 30 orang di sekitarnya harus diperiksa

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi penularan covid-19 (medium.com)

Dokter Ninggar mengutip bahwa standar rasio tracing dari WHO adalah minimal 30 orang. Namun, dengan catatan, bukan orang sekitar, melainkan kontak erat! Dokter Eka pun mengingatkan kalau kontak erat adalah yang paling penting.

"Gak mesti 30, yang terpenting adalah kontak erat, seperti di satu ruangan dalam waktu tertentu, kontak fisik, dan tidak melakukan social distancing tanpa pelindung diri yang cukup. Kontak erat harus tracing. Jadi, kalau kontak eratnya 30, ya 30. Kalau 100, ya 100," ujar dr. Eka.

14. Klaim: Pencegahan COVID-19 adalah vitamin C 500 mg, D3 1000 IU + berjemur jam 10 pagi, zinc diklolenat 20 mg (biasanya sudah ada bersama dengan sediaan vitamin C), susu murni (bukan kental manis yang isinya sawit, susunya cuma sedikit) atau protein lain misalnya ikan, putih telur, kacang. Vitamin C lebih dari 1.000 mg akan menyebabkan osteoporosis

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Ilustrasi virus corona (familymedicine.com)

Kabar mengenai berbagai asupan vitamin dan suplemen dalam mencegah COVID-19 sudah banyak beredar. Sayangnya, vitamin atau suplemen tidak memiliki pengaruh dalam mencegah COVID-19.

"Pencegahan yang sudah terbukti efektif adalah protokol kesehatan," dr. Ninggar menegaskan.

15. Klaim: Jika sudah divaksinasi, asupan vitamin D3 dan zink tidak perlu

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi suplemen zink (healthambition.com)

Tubuh membutuhkan asupan nutrisi, vitamin, dan mineral, seperti vitamin D3 dan zink sehari-hari, dan sesudah vaksinasi pun, bukan berarti konsumsi harus berhenti. Akan tetapi, jika tak ada kekurangan, maka konsumsi tidak harus dengan suplemen.

"D3 dan zink tetap harus dikonsumsi sesuai kebutuhan harian. Jika tidak terjadi kekurangan, tidak perlu suplemen," jelas dr. Ninggar.

Baca Juga: Kebanyakan Zink, Ini 7 Gejala yang Bisa Kamu Alami

16. Klaim: Jika sudah pernah kena COVID-19, tidak perlu segera vaksinasi, atau divaksinasi setelah jangka waktu 3 bulan kemudian (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Ilustrasi vaksinasi COVID-19 (ANTARA FOTO/Jojon)

Dokter Ninggar melanjutkan bahwa jika seseorang habis pulih dari COVID-19, mereka memang memiliki antibodi yang masih stabil dalam 3 bulan pertama. Oleh karena itu, vaksinasi dapat ditunda setelah 3 bulan.

"Jika kamu dirawat karena COVID-19 dengan terapi antibodi monoklonal atau plasma konvalesen, maka kamu harus menunggu 90 hari sebelum mendapatkan vaksin COVID-19," menurut CDC.

17. Klaim: Jika sudah pernah vaksin kemudian ingin divaksinasi lagi dengan merek vaksin lain, tunggulah setelah 6 bulan

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi penyuntikan vaksin (IDN Times/Arief Rahmat)

Sementara beberapa negara memang telah mengizinkan suntikan tambahan atau booster shot untuk mendongkrak penguatan imun terhadap COVID-19, Indonesia masih menunggu penelitian lebih lanjut.

Dokter Eka mengatakan bahwa jika efektivitas vaksin terhadap beberapa varian COVID-19 minim, maka tidak lepas kemungkinan kalau booster shot akan diperlukan dalam jangka waktu tertentu dan harus tepat waktu. Karena penelitian terkini mengenai booster shot masih minim, masih belum dapat ditentukan durasinya.

18. Klaim: AstraZeneca, Pfizer efikasinya 99 persen, antibodi 1-1,5 tahun, tapi ada risiko penggumpalan darah, karena yang dimasukkan adalah virus hidup yang diubah RNA-nya. Sinovac efikasinya 53 persen, antibodi baru akan dilihat pada bulan Juli ini, yaitu untuk penerima pertama di akhir bulan Januari yang lalu, akan tertipu lebih aman saat divaksinasi

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Ilustrasi vaksin COVID-19 buatan Sinovac (Dokumentasi Sinovac)

Pada dasarnya, vaksin COVID-19 terbagi jadi dua jenis utama: messenger ribonucleic acid (m-RNA) dan virus yang dimatikan atau inactivated. Sementara mRNA memiliki efektivitas tinggi karena pembentukan antibodi lebih kuat, inactivated memiliki efektivitas lebih rendah.

"Tetapi, efektif atau tidak tergantung dari pencapaian kekebalan kelompok atau herd immunity," kata dr. Eka.

Standar efikasi vaksin dari WHO adalah di atas 50 persen, dan sebagian besar vaksin di Indonesia sudah memenuhi standar tersebut. Meski mRNA lebih efektif, harus ada penjagaan ekstra mengenai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) seperti alergi hingga trombosis. Tetap ingat, manfaat vaksin mengalahkan risikonya.

19. Klaim: Sinovac harus di suhu 2-8°C, bertahan di luar dalam wadah esnya selama 6 jam, saat akan dipakai digenggam supaya suhu naik sesuai suhu tubuh, baru kemudian disuntikkan. AstraZeneca, Pfizer harus disimpan di suhu yang lebih rendah (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Vaksin COVID-19 AstraZeneca (ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

Menurut keterangan dari National Health Service (NHS), vaksin dari AS seperti Pfizer dan Moderna memang membutuhkan suhu sedingin -80 derajat Celsius untuk penyimpanan. Hal tersebut demi menjaga kefektifan vaksin.

Namun, NHS mengatakan bahwa AstraZeneca tidak perlu dibekukan dan membutuhkan suhu yang sama seperti Sinovac, yaitu 2-8 derajat Celsius.

"Ketika disuntikkan, memang harus dihangatkan, dengan cara digenggam atau dibiarkan di suhu ruangan. Kalau suhu terlalu rendah, beberapa individu tertentu lebih sulit beradaptasi," kata dr. Eka.

Baca Juga: Positif COVID-19 dengan Gejala Anosmia, Tanda Pulih Lebih Cepat? 

20. Klaim: KIPI terjadi maksimal 3-4 hari, jika lebih dari itu berarti terpapar virus COVID-19 setelah divaksinasi (di mana vaksinnya belum sempat menjadi efektif)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Ilustrasi vaksin atau jarum suntik (IDN Times/Arief Rahmat)

Setelah divaksinasi, biasanya, penerima vaksin akan diminta menunggu 30 menit untuk dipantau apakah ada reaksi KIPI. Jika tidak ada, penerima vaksin dibolehkan pulang. Tidak jarang, penerima vaksin diberikan obat seperti parasetamol jika ada keluhan setelah vaksinasi.

Sementara beberapa penerima vaksin tidak merasakan KIPI, mayoritas penerima vaksin merasakan KIPI seperti:

  • Reaksi lokal: seperti nyeri, kemerahan, bengkak pada lokasi penyuntikan, dan selulitis
  • Reaksi sistemik: seperti demam, nyeri otot di seluruh tubuh, nyeri sendi, tubuh terasa lemah, dan sakit kepala
  • Reaksi lainnya: seperti urtikaria, edema, syok anafilaktik, hingga pingsan

Gejala ini memang mirip dengan gejala COVID-19 dan dapat berlangsung dalam hitungan hari hingga 1 bulan. Namun, KIPI menandakan bahwa sistem imun tubuh sebenarnya sedang merespons vaksin. Kekebalan terbentuk dalam waktu 28 hari setelah vaksin dosis ke-2.

Akan tetapi, jika terjadi gejala COVID-19 dalam kurun waktu 4 hari setelah pemberian vaksin, ada kemungkinan besar kalau penerima vaksin telah terinfeksi SARS-CoV-2 sebelum divaksin.

21. Klaim: Lian Hua berguna untuk mencegah penggumpalan darah. 3x4 kapsul selama 3 hari saja. Efektif hanya untuk gejala sebelum 7 hari. Pemakaian yang terlalu lama akan mengganggu ginjal

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!kapsul Lianhua Qingwen (covid-19.chinadaily.com)

Sempat trending jadi "obat dewa" untuk COVID-19 pada tahun 2020, kapsul Lianhua Qingwen dihentikan peredarannya oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) RI pada 2021. Hal ini karena risiko obat tersebut melebihi manfaatnya dan dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular serta sistem saraf pusat.

"Lianhua hanya berisi obat pereda gejala flu, tidak ada manfaat untuk mencegah penggumpalan darah," tambah dr. Ninggar.

22. Klaim: Uap air panas digunakan untuk mengencerkan lendir di tenggorokan, caranya: segera setelah air mendidih lalu dimasukkan ke ember, tutup dengan handuk, sampai uap air terkumpul, buka handuknya, masukan kepala ke dalam handuk, dengan mata terpejam, sedot dalam-dalam uapnya dengan hidung, mulut tertutup, sehingga uap hanya sampai tenggorokan saja, bukan paru-paru

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi terapi uap (elle.vn)

Dokter Eka mengatakan bahwa terapi uap memang bersifat dekongestan atau untuk melancarkan aliran pernapasan. Karena COVID-19 dapat menyebabkan peradangan pada pernapasan dengan gejala mirip batuk dan pilek, maka uap panas bisa membantu. Tetapi, ia pun mengingatkan kalau ini bukanlah metode pengobatan COVID-19!

"Kalau SARS-CoV-2 masih ada di permukaan maka masih bisa. Cara lain seperti cuci hidung atau kumur-kumur pun bisa membantu agar dibersihkan (SARS-CoV-2), lain cerita kalau sudah masuk ke dalam sel inang," ujar dr. Eka.

23. Klaim: Orang kena COVID-19 dinyatakan benar-benar sembuh dan dapat bertemu dengan orang lain setelah 14 hari

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!Seorang pasien COVID-19 meletakkan kedua tangan di kepalanya (ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner)

Dokter Ninggar mengingatkan kalau klaim tersebut tidak berlaku pada semua orang, sementara masa penularan SARS-CoV-2 memang berlangsung selama 10-14 hari. Namun, bila ada gejala, maka masa penularan tersebut bisa lebih dari periode tersebut.

"Tapi, bila masih ada gejala terutama demam dan batuk, masa menular ini bisa memanjang sampai gejala benar-benar hilang," kata dr. Ninggar.

Baca Juga: [INFOGRAFIS] Rumah Sakit Penuh, Ini 5 Panduan Isolasi Mandiri COVID-19

24. Klaim: Jika isolasi mandiri di rumah, harus di kamar sendiri, kamar mandi dan tempat makan sendiri; setiap hari bersihkan handle pintu dengan air sabun dan orang di rumah tersebut harus terus menggunakan masker. UV ruangan (UVA rendah, UVB tinggi- beda dengan sinar matahari) selama 30 menit, tanpa ada orang lain di situ

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi pasien COVID-19 yang sedang isolasi mandiri (freepik.com/freepik)

Prinsip yang harus diingat adalah isolasi mandiri (isoman) dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang sehat dan mencegah penularan. Dokter Eka mengingatkan apa pun yang keluar dari pasien COVID-19 dapat menularkan. Oleh karena itu, permukaan yang disentuh oleh pasien dapat terpapar SARS-CoV-2 dan orang lain pun berisiko tertular.

Baik dr. Ning dan dr. Eka tidak menyarankan menyinari ruangan dengan sinar ultraviolet (UV). Meskipun memang ampuh untuk sterilisasi ruangan, sinar UV dapat bersifat karsinogenik dalam jangka panjang, dan efektivitasnya pun minim.

25. Klaim: Minyak kayu putih hanya untuk melegakan tenggorokan, bukan untuk membunuh virus COVID-19 (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi minyak esensial eukaliptus (pexels.com/Laryssa Suaid)

Mitos mengenai minyak kayu putih dapat menyembuhkan COVID-19 memang tidak benar. Sayangnya, mitos ini kerap beredar dari waktu ke waktu, terutama di media sosial.

Hal ini dikarenakan minyak kayu putih dapat membunuh virus corona. Namun, virus corona yang diujikan bukanlah SARS-CoV-2 penyebab COVID-19, melainkan Betacorona. Jadi, tentu tidak bisa mencegah apalagi menyembuhkan COVID-19.

Untungnya, layaknya terapi uap, mengendus atau mengoleskan minyak kayu putih dapat berfungsi jadi dekongestan untuk meringankan gejala.

26. Klaim: Ionic silver water berguna untuk membuat jadi basah, bukan untuk membunuh virus COVID-19 (Benar)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi air (bg-21.com)

Ion perak terkenal sebagai komponen dalam berbagai benda, dari sabun, cat, hingga pengering rambut karena dapat mengusir bakteri dan jamur. Partikel ion perak juga dapat digunakan untuk mengobati luka bakar, hingga mengenyahkan virus-virus seperti:

  • HIV
  • Herpes simpleks
  • Hepatitis B
  • RSV
  • Influenza
  • Monkeypox

Akan tetapi, sejauh ini, tak ada penelitian bahwa ion perak dapat membunuh SARS-CoV-2.

27. Klaim: Pada penderita COVID-19 obat yang diberikan: antivirus (avigan atau fluvir efeknya sama saja, bedanya hanya harga, karena buatan Jepang atau Indonesia), vitamin C 1000 mg, vitamin D3 IU 5.000, zink 50 mg, pengencer lendir (flumucil)

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Mardya Shakti)

"Semua obat pada pasien COVID-19 tidak bisa disamaratakan karena kondisi pasien berbeda-beda. Jadi, harus konsultasi dulu ke dokter," dr. Ninggar menerangkan.

28. Klaim: Yang paling penting untuk menanggulangi badai sitokin (supaya tidak sesak napas): kortikosteroid (dexametasone atau methylprednisolone 8 mg 2x1 tablet 7 hari, kemudian menurun ke 4 mg selama 7 hari). Kortikosteroid hanya boleh 7 hari, lebih dari itu malah akan menurunkan imunitas, sedangkan jika kurang dari 7 hari tidak optimal. Antibiotik sering diberikan untuk infeksi sekunder karena jika di rawat di RS kemungkinan ada infeksi nosokomial dari rumah sakit

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Mardya Shakti)

Dokter Ninggar mengingatkan kalau terapi kortikosteroid bukanlah obat untuk mencegah badai sitokin pada pasien COVID-19. Malah, jika digunakan pada fase awal COVID-19, kortikosteroid akan bentrok dengan sistem imun tubuh untuk membunuh SARS-CoV-2.

"Kortikosteroid bukan obat untuk mencegah badai sitokin, tapi hanya boleh dipakai saat kondisi COVID-19 berat dan sudah memasuki fase keradangan."

29. Klaim: Perlu ke RS jika CT <30 dan SpO2 <90

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!medicalxpress.com

Nilai CT tidak bisa dijadikan patokan satu-satunya dalam diagnosis, penularan, dan kesembuhan COVID-19. Selain CT, kondisi klinis pasien pun harus dipantau untuk menentukan pemberian bantuan pada pasien COVID-19.

"Harus dilihat kondisi klinis pasien contohnya penurunan SpO2. Penurunan hingga di bawah 90 persen menunjukkan kondisi klinis yang memburuk dan membutuhkan perawatan suportif di rumah sakit," tandas dr. Ninggar.

30. Klaim: Untuk Indonesia kondisi aman bebas penularan COVID-19 bisa tanpa masker, jika herd immunity sudah tercapai pada 167 juta orang penduduk (yang sudah vaksin dan yang sudah sembuh dari COVID-19). Sekarang ini baru sekitar 44 juta orang yang sudah divaksinasi

Beredar 30 Hoaks tentang Webinar IDI di WhatsApp, Cek Faktanya!ilustrasi herd immunity (ccandh.com)

Agar Indonesia bisa melepaskan masker, memang herd immunity amat dibutuhkan. Dokter Eka mengatakan bahwa hal ini adalah tujuan dari cakupan vaksin yang diperluas. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia menetapkan target hingga 181 juta orang dewasa dan 32,6 juta anak-anak usia 12-17 tahun.

"Yang paling penting adalah cakupan vaksin sebesar-besarnya untuk mencapai herd immunity,” ujar dr. Eka.

Sementara target herd immunity pemerintah sudah jelas ditetapkan, perhitungan pasti herd immunity tidak sesimpel itu. Dokter Ninggar mengingatkan bahwa berbagai faktor pun harus dipertimbangkan, seperti penularan, efikasi vaksin, dan laju vaksinasi SARS-CoV-2.

Itulah beberapa disinformasi yang beredar dengan mencatut nama IDI. Sementara beberapa informasi yang disampaikan ada benarnya, mayoritas informasi tersebut merupakan rahasia umum. Lainnya? HOAKS belaka yang dapat membahayakan nyawa!

Baca Juga: HOAKS Aplikasi O2 Meter Ubah HP Jadi Oksimeter, Ini Faktanya

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya