IDAI Imbau Stop Peresepan Obat Sirop yang Terkontaminasi 

Waspadai kontaminasi dietilen glikol dan etilen glikol

Pada Selasa (18/10) kemarin, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mencatat bahwa kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (GgGAPA) telah mencapai 192 kasus di 20 provinsi. Terbanyak di DKI Jakarta, kasus GgGAPA didominasi oleh balita.

Penyebab GgGAPA masih belum konklusif, tetapi banyak teori bertebaran. Selain multisystem inflammatory syndrom in children (MISC) akibat COVID-19, banyak yang curiga ini adalah penyebab kontaminasi dietilen glikol (DEG) dan etilen glikol (EG) yang terkandung dalam obat sirop anak seperti yang terjadi di Gambia.

1. IDAI: Hentikan DEG dan EG untuk sementara

IDAI Imbau Stop Peresepan Obat Sirop yang Terkontaminasi ilustrasi obat sirop (pexels.com/cottonbro)

Dalam edaran "Himbauan Ikatan Dokter Anak Indonesia Terkait Gangguan Ginjal Akut Progresif Atipikal (GgGAPA)" pada Rabu (19/10), IDAI mempertimbangkan hasil investigasi Kemenkes RI dan BPOM RI terhadap penyebab GgGAPA, yang mana kasusnya meningkat cepat.

Mengikuti keputusan BPOM dan Kemenkes RI, IDAI turut mengimbau untuk menghentikan peresepan obat sirop yang diduga terkontaminasi DEG dan EG. Selain itu, bila memerlukan obat sirop khusus (seperti obat antiepilepsi) yang tidak dapat digantikan, IDAI sarankan konsultasikan dulu ke dokter spesialis atau konsultan anak.

"Tenaga kesehatan dapat meresepkan obat pengganti yang tidak terdapat dalam daftar dugaan obat terkontaminasi atau dengan jenis sediaan lain, seperti supositoria," kata Ketua Pengurus Pusat IDAI, dr. Piprim Basarah Yanuarso, SpA(K) lewat sebuah video pernyataan.

Selain itu, IDAI juga menyarankan obat puyer dalam bentuk monoterapi. Peresepan puyer monoterapi harus dilakukan oleh dokter dengan mempertimbangkan dosis berdasarkan berat badan, kebersihan pembuatan, dan tata cara pemberian.

2. BPOM RI telah melarang DEG dan EG

Pada Sabtu (15/10), BPOM telah mengeluarkan edaran mengenai DEG dan EG. Kasus di Zambia dipicu oleh obat sirop anak yang mengandung DEG dan EG buatan Maiden Pharmaceutical Ltd., di India. Tak tersedia di Indonesia, obat-obatan tersebut adalah:

  • Promethazine Oral Solution
  • Kofexmalin Baby Cough Syrup
  • Makoff Baby Cough Syrup
  • Magrip N Cold Syrup

BPOM menetapkan bahwa obat sirop untuk anak maupun dewasa tidak diperbolehkan menggunakan EG dan DEG. Jika ditemukan sebagai zat pelarut tambahan (terutama di gliserin dan propilen glikol), BPOM menegaskan bahwa batas maksimal DEG dan EG sudah sesuai dengan standar internasional.

Untuk produsen obat yang nekat memproduksi obat dengan EG dan DEG di luar ambang batas, BPOM memperingatkan sanksi berupa peringatan sampai mencabutan izin edar. Produsen obat sirop yang berpotensi mengandung DEG dan EG harus melaporkan hasil pengujian secara mandiri dan mengganti obat dan/atau bahan baku jika perlu.

Baca Juga: Waspadai Gangguan Ginjal Akut, Hindari Obat Cair atau Sirup

3. Rumah sakit diminta tetap awas

IDAI Imbau Stop Peresepan Obat Sirop yang Terkontaminasi ilustrasi tes sampel urine (freepik.com/drobotdean)

IDAI turut mengimbau rumah sakit untuk melakukan pemantauan secara ketat terhadap tanda awal GgGAPA, baik di rawat inap maupun rawat jalan. Selain obat-obatan, rumah sakit diharapkan meningkatkan kewaspadaan deteksi dini GgAPA dan secara kolaboratif mempersiapkan penanganan kasus GgGAPA.

Jika sudah parah (stadium 3), maka pasien GgGAPA harus menjalani cuci darah atau hemodialisis. Sementara pasien anak masih terkendala, Sekretaris Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nefrologi IDAI, dr. Eka Laksmi Hidayati, SpA(K), mengatakan bahwa fasilitas cuci darah anak sudah tersedia di Jakarta, tepatnya di RSCM dan RSAB Harapan Kita.

"Di Jakarta, ada di RSCM dan Harapan Kita. Silakan, boleh datang langsung kalau memang ada gangguan seperti ini agar tidak melalui proses lebih panjang ... Kalau kondisi masih dini, semoga respons pengobatan jadi lebih baik." ujar dr. Eka, pada Selasa (18/10).

4. Imbauan IDAI untuk masyarakat dan orang tua

Setelah mengimbau tenaga kesehatan dan rumah sakit, IDAI juga memberikan imbauan terhadap masyarakat, terutama orang tua. Dokter Piprim meminta masyarakat untuk lebih rasional dengan tidak membeli obat bebas tanpa rekomendasi nakes.

"... sampai didapatkan hasil investigasi menyeluruh oleh Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makanan," ucap dr. Piprim.

Dalam edarannya, BPOM RI juga mengajak masyarakat untuk menggunakan obat secara aman dan selalu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  • Menggunakan obat secara sesuai dan tidak melebihi aturan pakai.
  • Membaca dengan saksama peringatan dalam kemasan.
  • Menghindari penggunaan sisa obat sirup yang sudah terbuka dan disimpan lama.
  • Melakukan konsultasi kepada dokter, apoteker, atau tenaga kesehatan lainnya apabila gejala tidak berkurang setelah 3 (tiga) hari penggunaan obat bebas dan obat bebas terbatas pada upaya pengobatan sendiri (swamedikasi).
  • Melaporkan secara lengkap obat yang digunakan pada swamedikasi kepada tenaga kesehatan.
  • Melaporkan efek samping obat kepada tenaga kesehatan terdekat atau melalui aplikasi layanan BPOM Mobile dan e-MESO Mobile.

BPOM mengimbau masyarakat lebih waspada dan menggunakan obat yang sudah terdaftar di BPOM dari fasilitas pelayanan kefarmasian atau sumber resmi. Selain itu BPOM mengingatkan untuk selalu Cek KLIK (Cek Kemasan, Label, Izin Edar, dan Kedaluwarsa) sebelum membeli atau menggunakan obat.

IDAI Imbau Stop Peresepan Obat Sirop yang Terkontaminasi Ilustrasi anak yang mengeluh sakit perut (freepik.com/freepik)

IDAI juga mengimbau masyarakat untuk tetap waspada terhadap gejala GgGAPA. Meski begitu, jika terlihat gejala-gejala GgGAPA, masyarakat harus tetap tenang.

Dokter Eka menambahkan bahwa pasien GgGAPA harus mendapat pertolongan sesegera mungkin. Menurutnya, urine adalah parameter terbaik untuk melihat fungsi ginjal, terutama bila ureum dan kreatinin meningkat. Hal ini bisa terlihat dari penurunan kadar urine dalam 6 jam.

"Di rumah sakit, kita akan memeriksa parameter fungsi ginjal. Karena ginjal mengeluarkan sisa metabolisme tubuh, maka ketika ginjal terganggu fungsinya, ureum dan kreatinin meningkat. Dari sini, bisa terlihat fungsi ginjal terganggu berapa besar," papar dr. Eka.

Terakhir, dr. Piprim mengatakan bahwa orang tua harus mengurangi aktivitas anak-anak, terutama balita. Mengingat kita masih menghadapi COVID-19, aktivitas yang disebut adalah yang memaparkan risiko infeksi, seperti berkerumun di ruang tertutup, tidak menggunakan masker, dan sebagainya.

Baca Juga: IDAI: Bukan Dilarang, tetapi Waspada Sirop Paracetamol!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya