Peran Vaksin, Skrining, dan Perawatan dalam Melawan Kanker Serviks

Mengapa masih minim di kawasan Asia?

Kanker serviks masih menjadi momok yang menakutkan untuk para perempuan dunia. Faktanya, di Asia Pasifik, kanker yang disebabkan oleh human papillomavirus (HPV) ini menempati posisi kedua sebagai kanker yang paling umum terjadi pada perempuan.

Berita baiknya, dengan perkembangan teknologi masa kini, kanker serviks bisa dicegah. Malah, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mematok target 2030 sebagai sasaran dunia bebas kanker serviks. Bagaimana kita bisa melakukannya?

1. Apa itu HPV?

Peran Vaksin, Skrining, dan Perawatan dalam Melawan Kanker Serviksilustrasi HPV (unr.edu)

Dalam webinar bertajuk "Prevention Is Better Than Cure: Why Women Don’t Seek Early Health Intervention?" pada Kamis (3/3/2022) oleh WAN-IFRA, konsultan ginekologi dan onkologi dari Universiti Malaya, Malaysia, Prof. Yin-Ling Woo, menjelaskan secara singkat mengenai HPV.

Profesor Woo mengatakan bahwa ada ratusan varian HPV. Namun, hanya 14 jenis yang dapat menyebabkan kanker. HPV tipe 16 dan 18 berkontribusi pada 70 persen kasus kanker serviks, sedangkan tipe 6 dan 11 berkontribusi pada 90 persen kasus kanker serviks.

“Faktanya, 80–90 persen laki-laki dan perempuan pasti pernah terjangkit HPV sewaktu-waktu dalam hidup mereka,” kata Prof. Woo.

Seperti kasus varicella-zoster virus (VZV) yang menyebabkan cacar air dan virus herpes, manusia telah mencoba hidup berdampingan dengan HPV. Sebagian besar orang yang terjangkit HPV umumnya sembuh sendiri. Akan tetapi, tidak sedikit HPV yang menetap sementara tetap di bawah kendali tubuh.

Pada kaum perempuan, Prof. Woo memperingatkan bahwa saat sistem imun melemah dan faktor-faktor lainnya, risiko infeksi HPV persisten pun meningkat. Jika dibiarkan, maka lambat laun serviks akan mengalami deformasi dan menjadi kanker.

2. Vaksin HPV sebagai langkah pencegahan utama

Peran Vaksin, Skrining, dan Perawatan dalam Melawan Kanker Serviksilustrasi vaksin HPV (openaccessgovernment.org/Jesada Wongsa)

Pada 1982, penerima Penghargaan Nobel di Bidang Pengobatan pada 2008, Harold zur Hausen, menemukan korelasi antara HPV dan kanker serviks. Sementara faktor imun dan genetik turut berperan, Prof. Woo menekankan bahwa HPV adalah penyebab absolut kanker serviks.

Jika kita bisa mencegah dan mendeteksinya lebih dini, maka angka kanker serviks bisa ditekan. Sejak ditemukan pada 2006, dunia sudah memiliki vaksin terhadap HPV dan tersebar ke seluruh dunia hingga lebih dari 800 juta dosis.

Banyak negara telah mulai memberikan vaksin HPV pada individu berusia 12–13 tahun di sekolah dan fasilitas kesehatan sebagai bagian dari program kesehatan. Vaksin ini diberikan saat gejala-gejala perubahan seksual terlihat pada individu, sehingga bisa mencegah potensi terjangkitnya HPV.

“Tak ada vaksin yang 100 persen melindungi, tetapi vaksin HPV lebih dari 95 persen efektif dalam mencegah terjangkitnya HPV,” ungkap Prof. Woo.

Faktanya, di Indonesia, vaksinasi HPV baru bermula pada tahun 2016, bisa dibilang terlambat dibanding Australia yang telah melakukannya sejak tahun 2007.

Sementara vaksinasi HPV umumnya diberikan kepada perempuan muda yang lebih berisiko kanker serviks, tidak sedikit negara yang memberikan vaksin ini untuk laki-laki. Selain proteksi seksual lanjutan, berbagai jenis kanker, seperti kanker tonsil hingga kanker penis, dapat disebabkan oleh HPV.

Selain itu, vaksinasi HPV untuk laki-laki dapat menciptakan kekebalan kelompok atau herd immunity. Oleh karena itu, demi pencegahan HPV di masa depan, 90 persen perempuan di dunia harus divaksinasi HPV.

“Akan tetapi, jika 60 persen laki-laki dan perempuan sama-sama tervaksinasi, tetap akan ada perlindungan. Inilah mengapa banyak negara memvaksinasi HPV laki-lakinya juga demi melindungi perempuannya dan mengembangkan herd immunity terhadap HPV,” papar Prof. Woo.

Umumnya, vaksin HPV diberikan dalam dua dosis. Kabar baiknya, pada Februari 2022 lalu, Joint Committee on Vaccination and Immunisation (JCVI) di Inggris mengutip penelitian bahwa satu dosis vaksin HPV tetap bisa melindungi dari HPV tipe 16 dan 18, setara dengan dua atau tiga dosis.

Baca Juga: Vaksinasi HPV dan Deteksi Dini Cegah Kanker Serviks

3. Masalah pada skrining HPV dengan Pap smear

Peran Vaksin, Skrining, dan Perawatan dalam Melawan Kanker Serviksilustrasi memeriksakan diri ke ginekolog (pexels.com/MART PRODUCTION)

Selain vaksin, skrining HPV juga tak kalah penting. Bila seseorang telah terjangkit HPV dan virus tersebut membandel, apa yang harus dilakukan? Inilah pentingnya melakukan skrining sebagai tindakan pencegahan kedua.

Mengidentifikasi halangan pada skrining HPV, tidak bisa dipukulrata. Ia mengatakan bahwa halangan sosial dan budaya pada masing-masing daerah berbeda-beda.

Saat ini, skrining HPV kebanyakan dilakukan setiap 1 sampai 3 tahun dengan Pap smear. Selain kendala pada harga, tidak jarang, prosedur pemasukan spekulum ke dalam vagina ini membuat takut dan tidak nyaman. Bahkan, beredar anggapan bahwa tes ini bisa "merenggut keperawanan".

"Jika dihitung, ini berarti tes dilakukan 15 kali seumur hidup, meskipun tidak mengalami sakit. Jadi, perlu diketahui, para perempuan sangat ragu atau enggan untuk menjalani tes tersebut,” kata Prof. Woo.

Kemudian, Prof. Woo mengatakan bahwa kawasan Asia Pasifik, yang mayoritas adalah negara berpendapatan menengah ke bawah, belum ada program Pap smear yang terorganisir. Oleh karena itulah beban kanker serviks amat besar di kawasan ini.

Lalu, halangan juga berada di mindset perempuan. Karena berpikir bahwa ada tes-tes kesehatan lainnya yang penting, maka skrining HPV sering kali diabaikan. Selain itu, kebanyakan perempuan juga menganggap skrining HPV dilakukan hanya saat ada gangguan pada organ reproduksinya.

4. Tes HPV PCR, metode skrining HPV tanpa rasa takut

Peran Vaksin, Skrining, dan Perawatan dalam Melawan Kanker Serviksilustrasi swab test dan PCR (unsplash.com/Mufid Majnun)

Bukan lagi dengan Pap smear, banyak negara dunia telah beralih ke skrining HPV berbasis molekuler, yaitu dengan polymerase chain reaction (PCR). Karena masyarakat sudah akrab dengan konsep PCR selama masa COVID-19, penggunaan PCR untuk skrining HPV juga dianggap memungkinkan. 

"Dengan tes ini, kita bisa mendeteksi penyebabnya secara langsung pada sel, apakah HPV tersebut ada? Lalu, apakah HPV sudah ada cukup lama untuk menyebabkan kanker? Lalu, kita bisa merawatnya," ujar Prof. Woo.

Karena HPV adalah penyebab kanker serviks, dan sudah ada teknologi PCR, tidak perlu lagi spekulum, tes HPV PCR membutuhkan tes usap atau swab test pada vagina untuk mengambil sampel. Prof. Woo mengatakan bahwa tes ini bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional atau bahkan sendiri.

Hasil swab test diproses dengan mesin PCR yang sama untuk mendeteksi SARS-CoV-2 hingga HIV. Prof. Woo meyakinkan bahwa tes HPV PCR ini bisa mendeteksi 14 jenis varian HPV penyebab kanker serviks. Bukan tes setiap atau setiap 5 tahun, Prof. Woo mengatakan tes ini hanya butuh 2 kali seumur hidup.

“Jadi, apa artinya? Jika kita tak memiliki HPV, sangat kecil kemungkinannya untuk terkena kanker serviks dalam 5–10 tahun ke depan. Jadi tak perlu skrining HPV selama 10 tahun ke depan jika hasil tes HPV negatif,” ungkap Prof. Woo.

5. Ditambah perawatan yang benar, dunia optimistis 2030 bebas kanker serviks

Peran Vaksin, Skrining, dan Perawatan dalam Melawan Kanker Serviksilustrasi pita tanda solidaritas kanker serviks (aacr.org)

Tahun 2030, dengan vaksinasi dan skrining sebagai langkah strategis, dunia bisa bebas kanker serviks.

“Bukan 20 tahun, melainkan per 2030, atau 8 tahun dari sekarang,” imbuh Prof. Woo.

Dengan 90 persen cakupan vaksinasi dan 70 persen cakupan skrining tes HPV yang cukup dua kali seumur hidup (35 dan 45 tahun), beban kanker serviks dunia bisa dientaskan.

Lalu, strategi terakhir yang diberikan oleh Prof. Woo adalah perawatan. Jika tes HPV menunjukkan hasil positif, maka pasien harus mendapatkan akses ke perawatan yang sesuai. Oleh karena itu, diharapkan 90 persen pasien kanker serviks wajib mendapat perawatan yang benar.

“Sebagus apa pun skriningnya, jika mereka tak diarahkan untuk dirawat, maka tak akan ada artinya,” tutup Prof. Woo.

Baca Juga: 10 Mitos tentang Kanker Serviks Ini Masih Sering Diyakini Wanita Lho!

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya