TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Studi: Meski Ringan, COVID-19 Menyebabkan Pembekuan Darah

Lebih baik dicegah daripada menyesal di kemudian hari

ilustrasi virus Sars-CoV-2 penyebab COVID-19 (IDN Times/Arief Rahmat)

Makin jelas akibat COVID-19 untuk manusia. Bukan hanya pernapasan, penyakit yang bermula pada akhir tahun 2019 ini juga bisa menyebabkan tromboemboli vena (VTE), kondisi pembekuan darah di pembuluh vena dan dapat menyebabkan trombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru.

Sementara DVT tidak selalu berbahaya, tetapi emboli paru (penyumbatan pembuluh darah di paru-paru) sebagai salah satu bentuk DVT bisa membahayakan nyawa. Akan tetapi, berbagai studi masih kontradiktif mengenai risiko pembekuan darah akibat COVID-19.

1. Melibatkan jutaan penyintas COVID-19 skala nasional

Seorang pasien COVID-19 meletakkan kedua tangan di kepalanya. (ANTARA FOTO/REUTERS/Baz Ratner)

Dimuat dalam jurnal BMJ pada 6 April 2022, sebuah penelitian skala nasional di Swedia ingin mencari tahu berapa lama risiko pembekuan darah bertahan setelah infeksi SARS-CoV-2, dan apa saja faktor yang menyebabkannya.

Mengambil data dari SmiNet (lembaga kesehatan masyarakat Swedia) dan Badan Pusat Statistik (BPS) Swedia antara Februari 2020 hingga Mei 2021, penelitian ini melibatkan 1.057.174 partisipan yang terdiagnosis positif COVID-19. Para peneliti membagi para partisipan ke dalam dua kelompok:

  1. Risiko insiden pembekuan darah dan pendarahan pada partisipan diteliti 6 bulan setelah COVID-19 dan dibandingkan dengan sebelum 6 bulan tersebut.

  2. Risiko insiden pembekuan darah dan pendarahan pada partisipan diteliti selama 30 hari infeksi COVID-19 dan dibandingkan dengan lebih dari 4 juta orang yang tidak terkena COVID-19.

Baca Juga: Fakta soal ITP, Kelainan Darah Efek Samping Vaksin COVID-19

2. Hasil: Risiko pembekuan darah meningkat akibat COVID-19

Hasilnya, dalam kelompok pertama, para peneliti menemukan insiden DVT dan emboli paru lebih tinggi masing-masing 3 dan 6 bulan setelah COVID-19. Selain itu, dibanding saat sebelum COVID-19, risiko pendarahan juga tetap tinggi hingga dua bulan pertama setelah COVID-19.

Di sisi lain, dalam kelompok kedua, para peneliti menemukan bahwa partisipan yang positif COVID-19 berisiko terkena DVT lima kali lipat lebih tinggi dan emboli paru 33 kali lipat lebih tinggi saat 1 bulan pertama setelah infeksi SARS-CoV-2. Risiko pendarahan juga dua kali lipat lebih tinggi pada para partisipan, dibanding yang tidak kena COVID-19.

3. Tak melihat keparahan, komorbiditas ikut memengaruhi

Deep vein thrombosis (DVT) pada tungkai kaki pasien COVID-19 berat. (ijidonline.com/International Journal of Infectious Diseases/2021 Jul;108:363-369)

Peringatan, keparahan bukanlah tolok ukur dari efek pembekuan darah akibat COVID-19. Para peneliti Swedia menemukan bahwa risiko pembekuan darah lebih tinggi pada pasien COVID-19, terlepas dari keparahan gejalanya. Dengan kata lain, baik ringan atau parah, risiko pembekuan darah dan pendarahan tetap sama.

Selain bergejala parah, para peneliti Swedia menemukan bahwa komorbiditas (penyakit penyerta), rawat inap, hingga dilarikan ke unit perawatan intensif (ICU) meningkatkan risiko pembekuan darah. Namun, risiko pendarahan hanya tinggi pada partisipan dengan COVID-19 parah, tetapi tidak pada COVID-19 gejala ringan.

4. Penjelasan mengenai risiko pembekuan darah dan pendarahan akibat COVID-19

Studi ini mencakup tiga gelombang COVID-19 di Swedia, tetapi para peneliti melihat insiden pembekuan darah jauh lebih tinggi pada gelombang pertama COVID-19 dibanding gelombang selanjutnya. Mengapa begitu?

Salah satu peneliti dari Umeå University, Swedia, Dr. Anne-Marie Fors Connolly, turut menjelaskan di balik fenomena tingginya insiden pembekuan darah pada gelombang pertama COVID-19. Menurutnya, pencegahan pembekuan darah (thrombophylaxis) membantu penurunan insiden pembekuan darah di tengah pandemik COVID-19.

"Salah satu temuan yang mengejutkan adalah risiko pendarahan pada pasien COVID-19 ringan tidak meningkat. Salah satu penjelasan adalah bahwa pendarahan sebagai efek samping thrombophylaxis.

"Namun, risiko besar emboli paru yang berpotensi fatal menunjukkan bahwa thrombophylaxis dibutuhkan," ujar Dr. Anne-Marie kepada Medical News Today.

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pasien COVID-19 gejala parah hingga, dari rawat inap sampai masuk ke ICU, terpapar risiko pembekuan darah yang lebih tinggi. Akan tetapi, para peneliti menemukan bahwa angka VTE di kelompok pasien COVID-19 parah tetap tinggi, terlepas dari penggunaan thrombophylaxis.

Berbeda dengan gelombang pertama, para peneliti menduga bahwa vaksinasi (yang diprioritaskan untuk lansia di atas 50 tahun) memainkan peran dalam mencegah COVID-19 dan pembekuan darah. Oleh karena itu, ini juga bisa menjadi jawaban mengapa insiden pembekuan darah lebih rendah pada gelombang pandemik ketiga.

Baca Juga: Studi: Pasien COVID-19 Lebih Berisiko Kena Gangguan Mental

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya