TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Philemaphobia (Fobia Ciuman): Gejala, Risiko, Pengobatan

Termasuk masalah kesehatan mental

ilustrasi ciuman (pexels.com/MART PRODUCTION)

Philemaphobia adalah kondisi yang digambarkan sebagai ketakutan irasional terhadap ciuman. Seseorang dengan philemaphobia atau fobia ciuman mungkin menganggap ciuman adalah ekspresi kasih sayang yang aneh dan menjijikkan. Memikirkan ciuman saja dapat membangkitkan perasaan cemas dan takut pada orang dengan fobia ini.

Seseorang dengan philemaphobia cenderung kesulitan membentuk dan mempertahankan hubungan romantis karena ketakutan yang kuat terhadap ciuman. Karenanya, individu yang bersangkutan mungkin tampak angkuh atau tidak tertarik melibatkan diri dalam hubungan spesial. Tidak jarang juga orang-orang melabelinya "berhati dingin" karena saking cueknya.

1. Gejala

ilustrasi ilustrasi philemaphobia atau fobia ciuman (pexels.com/Alex Green)

Gejala philemaphobia memiliki pola yang mirip jenis fobia spesifik lainnya. Pengalaman masing-masing individu dapat bervariasi tergantung tingkat keparahan fobia. Kendati demikian, beberapa gejala umum yang mungkin terlihat, yakni:

  • Mengalami sensasi panas dingin saat berhadapan dengan situasi yang akan menyebabkan aktivitas berciuman.
  • Peningkatan detak jantung.
  • Sensasi mual yang tidak tertahankan.
  • Tubuh gemetar.
  • Sesak napas.
  • Keringat berlebih.
  • Perasaan cemas atau panik ketika berpikir tentang ciuman.

Dalam beberapa kasus, orang dengan philemaphobia mungkin akan memilih menjauhi situasi apa pun yang melibatkan ciuman. Contoh adalah condong menghindari kegiatan berkencan dan berhubungan secara romantis karena takut akan konsekuensi yang mengharuskannya berciuman dengan orang lain.

Baca Juga: Fobia Sosial: Penyebab, Gejala, Komplikasi, Pengobatan, Pencegahan

2. Faktor risiko

ilustrasi pengalaman traumatis (pexels.com/Karolina Grabowska)

Belum diketahui penyebab pasti philemaphobia. Diyakini bahwa genetika dan lingkungan memainkan peran penting dalam perkembangan fobia ini. Sementara itu, apabila penyakit mental diturunkan secara turun-temurun, maka ada kemungkinan peningkatan risiko.

Alasan lain philemaphobia berkembang adalah mengalami gangguan mental, seperti gangguan kecemasan umum (generalized anxiety disorder/GAD) atau gangguan obsesif kompulsif (obsessive-compulsive disorder/OCD). Jika ini pemicunya, seiring waktu individu tersebut dapat mengembangkan fobia ke arah yang lebih spesifik, termasuk philemaphobia.

Di samping itu, ada beberapa faktor risiko yang telah dikaitkan dengan penyebab philemaphobia, seperti:

  • Pengalaman traumatis seperti dicium tanpa persetujuan atau dalam kasus yang lebih ekstrem pernah mengalami insiden kekerasan seksual atau pemerkosaan.
  • Merasa jijik pada konsep air liur.
  • Ketakutan berlebih pada kuman di area mulut yang dapat menularkan penyakit.
  • Ketakutan berlebih pada bau badan (bromidrophobia).
  • Fobia terhadap sentuhan.

3. Diagnosis

ilustrasi proses diagnosis bersama ahli kesehatan mental (pexels.com/SHVETS production)

Penting untuk dipahami bahwa fobia ialah kondisi yang lebih dari sekadar ketakutan. Ini perlu melibatkan profesional medis untuk membantu menegakkan diagnosis terkait. Adapun syarat untuk diagnosis fobia spesifik, yakni:

  • Seseorang harus mengalami ketakutan yang berlebihan dan tidak masuk akal.
  • Respons kecemasan segera terhadap pemicu.
  • Mengalami banyak kesulitan dalam kehidupan akibat ketakutannya atau penghindaran yang ekstrem.

Philemaphobia tidak diakui sebagai kondisi yang berdiri sendiri dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th Edition (DSM-5). Meskipun begitu, penyedia layanan kesehatan dapat membantu menentukan diagnosis dengan sejumlah prosedur. Ini mungkin melibatkan peninjauan riwayat kesehatan menyeluruh, pemeriksaan fisik, atau tes laboratorium untuk mengesampingkan kondisi lain.

4. Perawatan

ilustrasi praktik meditasi (pexels.com/RF._.studio)

Belum ada metode pengobatan yang secara khusus dirancang untuk mengatasi philemaphobia. Namun, terapi seks, terapi eksposur, dan pemberian obat anti kecemasan mungkin dapat membantu mengurangi gejala yang berkaitan dengan kondisi ini.

Adapun opsi pengobatan dan perawatan lain yang mungkin akan direkomendasikan dokter adalah:

  • Terapi perilaku dialektik (DBT).
  • Terapi perilaku kognitif (CBT).
  • Program struktur berbasis mindfulness-based stress reduction (MBSR).
  • Praktik meditasi.

Baca Juga: 5 Fobia yang Mengganggu Kesehatan Mental, Jangan Diabaikan!

Verified Writer

Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya