Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seminar “Peran Strategis GPFI dalam Menegaskan Prinsip 4K untuk Menunjang Kesehatan Nasional” oleh GPFI, Kamis (13/11/2025).
Seminar “Peran Strategis GPFI dalam Menegaskan Prinsip 4K untuk Menunjang Kesehatan Nasional” oleh GPFI, Kamis (13/11/2025). (IDN Times/Rifki Wuda)

Intinya sih...

  • Prinsip 4K menjadi fondasi bagi industri farmasi nasional dalam memastikan seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan akses obat yang aman dan bermutu.

  • Studi menemukan bahwa hampir seluruh obat generik dalam negeri memenuhi standar mutu farmakope internasional, baik obat generik maupun obat bermerek menawarkan kualitas yang sebanding.

  • Masih terdapat sejumlah tantangan yang harus diantisipasi, salah satunya tekanan harga obat yang terlalu rendah. GPFI menawarkan empat rekomendasi kebijakan strategis guna memperkuat ekosistem farmasi nasional.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Nasional, Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GPFI) menyelenggarakan seminar bertajuk “Peran Strategis GPFI dalam Menegaskan Prinsip 4K untuk Menunjang Kesehatan Nasional.”, pada Kamis (13/11/2025), di Jakarta.

Melalui prinsip 4K (ketersediaan, keterjangkauan, kualitas, dan kemandirian obat dalam negeri), GPFI berupaya memperkuat layanan kesehatan Indonesia.

Selama lima dekade terakhir, industri farmasi nasional di bawah GPFI berperan penting menghadirkan obat berkualitas dengan harga terjangkau. Hal ini dilakukan untuk memastikan distribusi dan jaminan mutu tetap berjalan optimal melalui kolaborasi erat dengan Kementerian Kesehatan, Badan POM, Kementerian Perindustrian, dan pemangku kepentingan lainnya.

1. Tantangan prinsip 4K

Prinsip 4K menjadi fondasi bagi industri farmasi nasional dalam memastikan seluruh masyarakat Indonesia mendapatkan akses obat yang aman dan bermutu.

Komitmen ini tercermin dari upaya memastikan obat tersedia di semua fasilitas kesehatan sekaligus menjaga harga tetap terjangkau tanpa mengorbankan standar mutu sesuai GMP-CPOB dan Farmakope Indonesia. Hal ini penting untuk memperkuat kemampuan produksi dalam negeri agar tidak bergantung pada bahan baku impor.

Dijelaskan oleh Drs. Elfiano Rizaldi, Direktur Eksekutif GPFI, data IQVIA Kuartal II 2025 menunjukkan bahwa 85 persen obat yang digunakan masyarakat berasal dari obat generik produksi lokal. Sementara itu, ada 15 persen yang merupakan obat bermerek atau originator nonanggota GPFI.

Menurut Elfiano, temuan ini sekaligus membantah anggapan bahwa harga obat di Indonesia terlalu tinggi karena mayoritas obat yang dikonsumsi terbukti terjangkau namun tetap memenuhi standar kualitas.

"Tantangan terbesar Indonesia bukan lagi menurunkan harga, tetapi menjaga keberlanjutan sistem farmasi nasional agar tetap kuat dan berdaya saing," jelasnya.

2. Kualitas obat generik

ilustrasi obat-obatan (IDN Times/Aditya Pratama)

Kualitas obat generik dalam negeri kembali mendapat pengakuan ilmiah melalui hasil penelitian kolaboratif antara Fakultas Farmasi Universitas Pancasila, Imperial College London, dan Erasmus University Rotterdam. Studi ini menganalisis 1.274 sampel obat dan menemukan bahwa hampir seluruhnya memenuhi standar mutu farmakope internasional.

Temuan ini diperkuat oleh penjelasan Prof. Dr. apt. Yusi Anggraini, M.Kes, Co-Principal Investigator penelitian tersebut, yang menegaskan bahwa perbedaan harga tidak selalu mencerminkan perbedaan kualitas.

"Perbedaan harga tidak selalu mencerminkan perbedaan kualitas. Sebagian besar obat generik dalam negeri sudah memenuhi standar mutu tinggi dan aman digunakan masyarakat," jelas Prof. Yusi.

Ia menambahkan bahwa baik obat generik maupun obat bermerek menawarkan kualitas yang sebanding.

"Perlu dilakukan perluasan analisis untuk produk obat lain, sehingga makin memperkuat bukti kualitas obat di Indonesia," tambahnya.

3. Tantangan dan harapan ke depan

Meski industri farmasi nasional menunjukkan perkembangan yang sangat positif, tetapi GPFI menyatakan bahwa masih terdapat sejumlah tantangan yang harus diantisipasi. Salah satu isu utama adalah tekanan harga obat yang terlalu rendah. Hal ini dikhawatirkan dapat melemahkan daya saing dan keberlangsungan industri dalam jangka panjang.

"Jika tekanan harga terus berlanjut tanpa adanya kebijakan yang seimbang, keberlanjutan industri nasional bisa terganggu," ujar Elfiano.

Untuk itu, GPFI menawarkan empat rekomendasi kebijakan strategis guna memperkuat ekosistem farmasi nasional.

Ini termasuk perlunya kajian harga yang lebih komprehensif agar manfaat langsung dirasakan pasien, hingga pembukaan jalur cepat (fast track) oleh BPOM untuk mempermudah perubahan izin edar saat terjadi penyesuaian bahan baku.

Selain itu, keberlanjutan program SatuSehat dinilai krusial untuk memastikan pemantauan ketersediaan obat secara real-time.

Dari data yang dipaparkan GPFI, masa depan industri farmasi nasional menunjukkan optimisme yang kuat untuk makin mandiri dan kompetitif. Kolaborasi antara pemangku kepentingan serta penguatan kualitas menjadi kunci agar obat yang aman dan terjangkau. Upaya ini diharapkan mampu memperkuat fondasi kesehatan nasional secara berkelanjutan.

Editorial Team