Waspada Sindrom Impostor, Saat Kamu Sering Meragukan Kemampuan Diri 

Ingat, setiap orang memiliki potensi yang unik

Sindrom impostor (impostor syndrome) disebut juga dengan penipuan yang dirasakan. Maksudnya adalah kondisi ini melibatkan perasaan tidak mampu dan ragu terhadap diri sendiri. Perasaan tersebut erat kaitannya dengan pencapaian dari pendidikan, prestasi, dan pengalaman. Secara sederhana, orang dengan sindrom impostor meragukan kemampuannya serta merasa takut akan kemungkinan "menipu" orang lain.

Sindrom impostor pertama kali teridentifikasi pada tahun 1978. Penelitian awal yang mengeksplorasinya memiliki fokus utama para wanita karier dan berprestasi. Namun, dewasa ini kasus sindrom impostor tampak bisa memengaruhi siapa saja di berbagai kalangan masyarakat. Ini sesuai dengan temuan studi dalam Journal of General Internal Medicine tahun 2019, yang menyatakan bahwa sekitar 9 sampai 82 persen orang bisa mengembangkan gejala sindrom impostor di beberapa fase kehidupan mereka.

Dirangkum dari berbagai sumber, berikut ulasan menarik mengenai sindrom impostor yang perlu kita semua ketahui.

1. Sindrom impostor merepresentasikan konflik antara persepsi diri dan pandangan orang lain

Waspada Sindrom Impostor, Saat Kamu Sering Meragukan Kemampuan Diri ilustrasi diskusi mengenai pekerjaan (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Orang dengan sindrom impostor mengembangkan ketidakpercayaan mengenai pencapaian dalam hidup mereka. Contohnya kesuksesan pendidikan atau pekerjaan. Bahkan, saat orang lain memuji pencapaian tersebut, individu yang bersangkutan justru merasa tidak pantas mendapatkannya dan takut orang lain menyadari hal yang sama.

Karena pemikiran tersebut, maka berkembanglah persepsi menekan diri sendiri untuk bekerja lebih keras, dengan tujuan:

  • Orang lain tidak mengetahui kekurangan atau kegagalannya
  • Merasa layak menyandang suatu peran yang prestise dalam lingkup sosial
  • Menunjukkan citra kecerdasan yang dimiliki
  • Meredakan perasaan bersalah karena merasa telah "menipu" orang lain

Manifestasi lainnya bisa berupa perasaan takut terhadap pemikiran orang lain (yang belum tentu benar), selalu ingin mencapai kesempurnaan, merasa tidak berharga jika tidak bisa mencapai suatu tujuan tertentu, serta merasa kewalahan dengan upaya keras yang dilakukannya. Seiring waktu itu bisa memunculkan siklus berupa rasa bersalah, cemas, bahkan depresi.

2. Orang dengan sindrom impostor terlalu banyak menanamkan keraguan yang berdampak buruk pada citra diri

Waspada Sindrom Impostor, Saat Kamu Sering Meragukan Kemampuan Diri ilustrasi sesi berdebat dalam rapat (pexels.com/cottonbro)

Sindrom impostor dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, meliputi:

  • Prestasi kerja: rasa takut akan kegagalan dapat menyebabkan seseorang memilih untuk menahan diri, menghindari pencapaian yang lebih besar, atau takut melakukan hal yang salah dalam pekerjaan. Kondisi tersebut secara tidak langsung dapat memengaruhi kinerja kerja keseluruhan.

  • Komitmen terhadap tanggung jawab: menurut studi dalam Journal of Business and Psychology tahun 2014, orang dengan sindrom impostor lebih mungkin fokus terhadap tugas terbatas daripada mengambil tugas tambahan. Mereka memilih menghindar tugas tambahan karena takut akan menurunkan kualitas hasil dari tugas tersebut.

  • Keraguan terhadap diri sendiri: bagi orang dengan sindrom impostor, kesuksesan justru menciptakan siklus keraguan pada diri sendiri. Mereka mungkin tidak dapat mengenali pencapaian berharga dan malah sibuk memikirkan hal-hal negatif dari pemikiran orang lain yang tidak berdasar.

  • Ketidakpuasan dan kelelahan bekerja: Studi menunjukkan bahwa orang dengan sindrom impostor cenderung bertahan pada suatu posisi pekerjaan karena merasa tidak percaya mereka bisa melakukan yang terbaik. Mereka terkesan meremehkan potensi diri, sehingga berisiko mengalami frekuensi kelelahan yang lebih tinggi.

  • Kesehatan mental menjadi tidak stabil: meskipun sindrom impostor tidak dianggap sebagai gangguan mental yang berdiri sendiri, tetapi implikasinya begitu terasa pada kesehatan mental. Individu yang bersangkutan bisa mengembangkan perasaan cemas, frustrasi, malu, kurang percaya diri, serta depresi.

Baca Juga: Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausen

3. Klasifikasi sindrom impostor

Waspada Sindrom Impostor, Saat Kamu Sering Meragukan Kemampuan Diri ilustrasi wanita tengah berpikir memecahkan masalah di kantor (pexels.com/Anna Shvets)

Valerie Young, penulis buku The Secret Thoughts of Successful Women: Why Capable People Suffer from the Impostor Syndrome and How to Thrive in Spite of It, mengategorikan sindrom impostor menjadi lima jenis, yakni:

  • Perfeksionis: jenis ini terkesan menuntut kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupan. Akibatnya, seseorang selalu mengkritik diri sendiri dan merasa malu atas kegagalan dalam taraf yang sangat kecil.

  • Ahli: tidak merasa puas ketika sudah menyelesaikan tugas sampai merasa tahu segalanya tentang tugas yang dikerjakan adalah karakteristik jenis ini. Waktu yang dihabiskan untuk mencari informasi kadang justru mempersulit penyelesaian tugas dan proyek yang sedang dikerjakan.

  • Solois: memiliki ciri khas lebih suka bekerja sendiri dan takut meminta bantuan orang lain. Orang jenis ini mungkin akan menolak bantuan orang lain karena menganggapnya akan menurunkan harga diri.

  • Jenius alami: ciri spesifiknya adalah dapat menguasai banyak keterampilan baru dan mungkin merasa lemah ketika menghadapi tujuan yang terlalu sulit.

  • Superhero: gila kerja merupakan sebutan yang lekat dengan pengidap sindrom impostor jenis superhero. Pasalnya, mereka sering kali lebih unggul karena upaya ekstrem bekerja. Akibatnya, mereka sering mengalami kelelahan. Kesehatan fisik dan mental menjadi terdampak.

4. Faktor risiko sindrom impostor

Waspada Sindrom Impostor, Saat Kamu Sering Meragukan Kemampuan Diri ilustrasi anak yang sedari kecil mendapatkan pola asuh salah (pexels.com/cottonbro)

Beberapa faktor berikut bisa meningkatkan risiko berkembangnya sindrom impostor, di antaranya:

  • Peluang baru: orang dengan sindrom impostor mungkin merasa tidak pantas untuk posisi baru dalam pekerjaan atau tidak akan mampu melakukan tugas secara memadai.

  • Lingkungan keluarga: ketika seseorang tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga yang "berbakat", mereka rentan terhadap internalisasi yang tidak dapat dibenarkan. Saat anak-anak dapat melakukan sesuatu dengan mudah, tetapi seiring waktu mereka akan mengalami keraguan ketika menghadapi tugas yang sulit ketika menginjak dewasa.

  • Mengalami kecemasan dan depresi: kondisi ini sangat umum terjadi di kalangan orang dengan sindrom impostor.

  • Berasal dari kelompok masyarakat yang terpinggirkan: studi menjelaskan jika kelompok etnis kecil (terlebih yang bersinggungan langsung dengan praktik diskriminasi) memiliki risiko lebih tinggi mengalami sindrom impostor.

5. Kiat mengatasi sindrom impostor

Waspada Sindrom Impostor, Saat Kamu Sering Meragukan Kemampuan Diri ilustrasi saling berpelukan untuk melepaskan masalah (pexels.com/SHVETS production)

Karena sindrom impostor belum diakui secara resmi sebagai gangguan mental dalam pedoman diagnostik, pengobatan khusus untuk mengatasinya belum dapat ditetapkan. Meskipun demikian, orang dengan sindrom impostor bisa berkonsultasi pada ahli kesehatan mental untuk mendapatkan layanan dari segi psikis.

Adapun upaya untuk menghalau sindrom impostor yang pertama adalah mencoba mengomunikasikan kondisi tersebut dengan orang tepercaya, seperti pasangan, keluarga, atau sahabat.

Kedua adalah dengan mewaspadai gejala sehingga bisa segera merancang strategi penanganan yang tepat.

Hal lain yang tak kalah penting adalah menerima kenyataan bahwa perfeksionisme adalah paham yang tidak sehat dan senantiasa berupaya untuk berpikir positif.

Pada dasarnya membangun kesadaran bahwa kesuksesan tidak membutuhkan kesempurnaan penting untuk ditanamkan. Perasaan menipu dalam kasus sindrom impostor sejatinya melibatkan unsur keraguan terhadap diri sendiri.

Daripada terkungkung oleh perasaan gagal, lebih baik memaknainya dengan proses pembelajaran. Di samping itu, mempraktikkan self-love dapat membantu mempertahankan perspektif yang realistis dan memotivasi diri sendiri untuk tumbuh dan berproses secara positif.

Baca Juga: Ragukan Diri Sendiri, 5 Indikasi Seseorang Mengidap Impostor Syndrome

Indriyani Photo Verified Writer Indriyani

Full-time learner, part-time writer and reader. (Insta @ani412_)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya