Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausen

Benarkah dilakukan untuk mencari perhatian?

Pernahkah kamu berpura-pura sakit? Atau, justru kamu sering melakukannya karena alasan tertentu? Dalam medis, ini dikenal sebagai sindrom Munchausen.

Mungkin terdengar aneh, tetapi pengidap sindrom Munchausen sengaja melakukannya supaya orang-orang peduli padanya dan agar mereka diperhatikan. Kenali lebih dalam tentang sindrom Munchausen di sini!

1. Apa itu sindrom Munchausen?

Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausenilustrasi orang sakit (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Menurut keterangan dari National Health Service (NHS), sindrom Munchausen adalah gangguan psikologis di mana seseorang berpura-pura sakit atau sengaja membuat dirinya sakit. Ini dilakukan agar orang-orang peduli padanya dan menjadi pusat perhatian.

Mengapa dinamai sindrom Munchausen? Ternyata, namanya diambil dari seorang bangsawan Jerman, Baron Munchausen, yang terkenal berkat menceritakan kisah-kisah yang tidak dapat dipercaya.

2. Seperti apa ciri-ciri pengidap sindrom Munchausen?

Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausenilustrasi orang sakit (Pexels/cottonbro)

Pengidap sindrom Munchausen memiliki perilaku yang khas, yakni berpura-pura memiliki gejala fisik, seperti mengaku menderita nyeri dada atau sakit perut. Bahkan, mereka terkadang nekat membuat dirinya sakit dan menyabotase tubuhnya sendiri.

Ciri-ciri lainnya, mereka berpura-pura memiliki gejala psikologis. Misalnya, mengaku mendengar suara atau melihat hal-hal yang sebenarnya tidak ada.

Waspadalah, karena pengidap sindrom Munchausen mungkin sangat manipulatif. Dalam kasus ekstrem, mereka tak segan menjalani pengobatan yang menyakitkan, walaupun mereka tahu itu tidak perlu dilakukan.

3. Kemungkinan, penyebabnya adalah trauma masa kecil

Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausenilustrasi anak yang diabaikan orang tuanya (goodto.com)

Yang tidak disadari, sindrom Munchausen mungkin disebabkan oleh trauma masa kanak-kanak seperti pengabaian orang tua. Seseorang mungkin mempunyai masalah yang belum terselesaikan dengan orang tuanya dan membuat mereka berpura-pura sakit.

Dengan berpura-pura sakit, mereka akan diperhatikan dan dianggap penting. Menurut NHS, seiring bertambahnya usia, mereka mendapatkan perasaan tenang dengan berpura-pura sakit.

Pengidap sindrom Munchausen mungkin berpura-pura sakit sebagai bentuk hukuman pada dirinya sendiri. Yang menarik, berdasarkan bukti yang ada, ditemukan bahwa orang yang pernah sakit berkepanjangan di masa kecil lebih mungkin mengembangkan sindrom ini ketika dewasa.

Baca Juga: Segera ke Psikolog jika Kamu Mengalami 7 Tanda Ini

4. Dikaitkan dengan gangguan kepribadian tertentu

Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausenilustrasi gangguan kepribadian (portstluciehospitalinc.com)

Gangguan kepribadian tertentu dianggap terkait dengan sindrom Munchausen. Misalnya, gangguan kepribadian antisosial di mana seseorang senang memanipulasi karena memberi mereka kekuasaan dan kontrol penuh.

Ada pula gangguan kepribadian borderline yang ditandai dengan suasana hati, perilaku, dan hubungan yang tidak stabil. Dikaitkan pula dengan gangguan kepribadian narsistik, di mana mereka memiliki kebutuhan mendalam akan perhatian dan kekaguman, namun harga dirinya sangat rapuh terhadap kritik.

Ketiga gangguan kepribadian itu memiliki kesamaan, yakni mempunyai identitas diri yang tidak stabil dan kesulitan membangun hubungan yang bermakna dengan orang lain. Dengan berpura-pura sakit, mereka berharap mendapat dukungan dan penerimaan.

5. Bagaimana cara mengobati sindrom Munchausen?

Sering Berpura-pura Sakit? Mungkin Itu Sindrom Munchausenilustrasi konsultasi dengan psikolog (Pexels/Alex Green)

Mengatasi sindrom Munchausen mungkin sulit karena kebanyakan pengidapnya tidak mengakui bahwa mereka memiliki masalah dan menolak pengobatan. Ini membuat profesional kesehatan dianjurkan mengadopsi pendekatan non-konfrontatif yang lembut.

Yang jelas, pengidap sindrom Munchausen memiliki masalah dengan mental, tetapi sering kali mengaku memiliki penyakit fisik. Jika ia sudah mengakui perilakunya, bisa langsung dirujuk ke psikolog atau psikiater untuk penanganan lebih lanjut.

Sebenarnya, tidak ada pengobatan standar untuk sindrom Munchausen. Namun, kombinasi terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi psikoanalisis menunjukkan keberhasilan dalam mengendalikan gejala.

Sebagai informasi, psikoanalisis berfungsi untuk mengungkap motivasi bawah sadar, sedangkan CBT membantu mengidentifikasi keyakinan dan pola perilaku.

Terapi keluarga juga bisa dilakukan. Anggota keluarga akan diajarkan bagaimana mengenali ciri-ciri pengidap sindrom Munchausen yang berpura-pura sakit dan diharapkan tidak menunjukkan perhatian atau dukungan ketika itu terjadi.

Nah, itulah sekilas mengenai sindrom Munchausen beserta ciri-ciri, penyebab, dan cara mengatasinya. Semoga membantu!

Baca Juga: Bukan Autisme, Ini 7 Fakta tentang Sindrom Asperger yang Dikira Sama

Topik:

  • Nurulia
  • Bayu Aditya Suryanto

Berita Terkini Lainnya