Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi main HP sambil tiduran (pexels.com/Eren Li)
ilustrasi main HP sambil tiduran (pexels.com/Eren Li)

Intinya sih...

  • Doomscrolling adalah perilaku kompulsif yang dipicu oleh algoritma media sosial.

  • Perilaku ini memberikan sensasi reward saat menemukan informasi baru, memengaruhi kesehatan fisik dan mental.

  • Dampak jangka pendek meliputi kelelahan fisik, gangguan rutinitas harian, dan penurunan produktivitas.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Pernahkah kamu merasa waktu berlalu begitu cepat saat tangan terus menggulir layar HP, berpindah dari satu berita buruk ke berita buruk lainnya? Terlebih masyarakat saat ini terus disodorkan kabar yang bisa membuat mereka tidak nyaman, mulai dari unjuk rasa yang berakhir ricuh, masalah politik, sampai kematian.

Meski kamu tahu bahwa informasi itu membuat cemas, tetapi anehnya, sulit sekali untuk berhenti. Perilaku inilah yang dikenal sebagai doomscrolling. Fenomena ini bukanlah sekadar kebiasaan buruk, melainkan hasil dari interaksi rumit antara teknologi canggih dan insting psikologis manusia, seolah-olah ada magnet yang menarikmu untuk terus mencari informasi negatif.

Pertanyaannya, mengapa orang bisa terperangkap dalam lingkaran tanpa akhir ini? Mengapa otak justru haus akan berita-berita yang bisa membuat tak nyaman?

Algoritma memperkuat kecemasan

Setiap kali membuka media sosial, kamu bukan cuma menjadi penonton, melainkan juga bagian dari sebuah eksperimen tanpa akhir. Di balik layar, algoritma canggih sedang bekerja, mempelajari setiap detail interaksi seperti video apa yang ditonton sampai selesai, postingan apa yang dibagikan, dan berita apa yang diklik.

Saat mata terpaku pada video kerumunan massa atau berita tentang isu-isu yang membuat dada sesak, algoritma mencatatnya sebagai sinyal ketertarikan. Algoritma tidak peduli apakah konten itu membuat cemas atau tidak, yang diketahui cuma kamu menontonnya.

"Jadi doomscrolling itu orang pakai media sosial, kayak di-scroll terus sampai berjam-jam, bisa 4 jam, bisa 5 jam, dalam satu kali shifting istilahnya," Dr. Widhi Adhiatma, M.Psi., Psikolog, dari Rumah Sakit Atma Jaya menjelaskan dalam Health Talk by IDN Times bertema "Anak Muda Terpapar Berita Konflik Setiap Hari, Bagaimana Dampaknya ke Kesehatan Mental?"

Sebagai respons, algoritma akan terus menyajikan lebih banyak konten serupa, menciptakan siklus yang nyaris mustahil untuk dihentikan. Kamu mungkin merasa perlu terus menggulir untuk tetap terhubung dengan realitas, padahal sebetulnya kamu sedang diberikan umpan terus-menerus oleh sistem yang dirancang dengan satu tujuan, yaitu membuat kamu tetap berada dalam aplikasi tertentu selama mungkin.

Tanpa disadari, rasa ingin tahu dimanipulasi dan kecemasan diperkuat oleh teknologi yang seharusnya mendekatkan kamu pada dunia.

Seperti mendapat reward

ilustrasi orang main HP (pexels.com/RDNE Stock project)

Terkadang, saat melihat kekacauan di luar sana, ada dorongan kuat untuk merasa memiliki kendali. Kamu terus menggulir, mencari informasi, ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Di balik semua itu, kita punya keyakinan bahwa jika kita punya semua data, kita akan lebih siap.

Ironisnya, di balik semua kecemasan itu, ada sedikit "reward" yang membuat kamu terus melakukannya. Setiap kali kamu menemukan informasi baru, otak melepaskan zat kimia yang memberikan sensasi reward.

Rasa puas sesaat ini membuat kamu merasa bahwa usaha yang telah dilakukan tidak sia-sia dan mendorong kamu untuk terus menggulir. Perilaku ini perlahan berubah menjadi kompulsif karena otak terus menuntut reward itu. Kamu jadi terjebak dalam lingkaran yang dibuat oleh diri kamu sendiri, hanya demi mendapatkan ilusi kendali yang fana.

"Scrolling ini kurang tepat. Karena akhirnya perilakunya menjadi kompulsif. Sehingga mau tahu terus dan kita ingin mendapatkan kejelasan. Kejelasan atas situasi yang ada. Dan saat kita makin mencari tahu itu, kita terpuaskan. Terpuaskan ini adalah suatu mekanisme rewarding," jelas Dr. Widhi.

Dampak jangka panjang dan pendek

Doomscrolling adalah perilaku kompulsif yang dapat memengaruhi kesehatan fisik dan mental, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Dalam waktu singkat, doomscrolling dapat menyebabkan beberapa efek langsung pada kehidupan sehari-hari:

  • Kelelahan fisik: Mata bisa terasa lelah dan capek karena terlalu lama menatap layar.

  • Gangguan rutinitas harian: Waktu yang dihabiskan untuk scrolling bisa membuat kamu melewatkan atau menunda aktivitas penting, seperti makan atau tidur.

  • Penurunan produktivitas: Energi dan waktu yang terkuras habis dapat mengganggu kinerja, baik saat bekerja, kuliah, atau melakukan tugas lainnya.

Seiring waktu, kebiasaan ini bisa memicu masalah yang lebih serius, seperti:

  • Meningkatkan kecemasan dan kekhawatiran: Doomscrolling tidak memberikan solusi, melainkan memperkuat kecenderungan untuk merasa cemas. Sensasi reward yang didapat saat menemukan informasi baru justru membuat perilaku ini makin sulit dihentikan, menciptakan siklus kekhawatiran yang terus berulang.

  • Merusak hubungan sosial: Saat kamu lebih fokus pada gadget daripada orang di sekitar, kualitas hubungan dengan teman, pasangan, atau keluarga bisa menurun.

  • Dampak pada kesadaran politik: Ada kemungkinan doomscrolling dapat meningkatkan kesadaran terhadap isu politik, tetapi ini tidak selalu berarti akan berujung pada keterlibatan yang positif atau solusi nyata.

Setelah membahas berbagai dampaknya, dapat disimpulkan bahwa doomscrolling tidak bisa diabaikan. Ini adalah cerminan dari bagaimana interaksi antara naluri bertahan hidup dan teknologi modern dapat menciptakan siklus kecemasan yang sulit dihentikan.

Kesadaran diri adalah langkah awal yang paling penting. Dengan memahami mengapa kamu melakukan doomscrolling, kamu bisa mulai mengambil kendali. Saatnya menyadari bahwa alih-alih terus mencari kabar buruk, kamu bisa memilih untuk memutus siklusnya demi kesehatan mental dan kualitas hidup yang lebih baik.

Editorial Team