Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimun

Berpengaruh terhadap kondisi autoimun

Penyakit autoimun adalah suatu kondisi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang jaringan tubuh yang sehat. Akibatnya, terjadi peradangan kronis dan kerusakan pada jaringan.

Bahan kimia dari berbagai sumber telah dievaluasi, termasuk polutan, bahan kimia industri, pestisida, dan logam berat. Bahan kimia berbahaya juga dapat ditemukan di mana pun, termasuk di udara, tanah, makanan, dan air.

Sebagai contoh, logam berat seperti arsenik, timbal, kadmium, merkuri, dan aluminium dapat berasal dari berbagai sumber, termasuk udara, makanan, air yang terkontaminasi, dan proses industri tertentu.

Paparan bahan kimia baik melalui kontaminasi pada makanan maupun lingkungan berpotensi terakumulasi dalam tubuh. Ini dapat memicu stres oksidatif, peradangan, dan gangguan fungsi organ.

Pada kelompok rentan seperti orang dengan penyakit autoimun, bahan kimia tersebut lebih berisiko karena lebih mudah berikatan dengan reseptor imun dan endokrin yang dapat meningkatkan ekspresi epigenetik. Kemudian, saat tubuh kekurangan cadangan antioksidan, maka akan berakibat pada peradangan dan hilangnya toleransi autoimun.

Kondisi ini bisa diperparah jika terjadi ketidakseimbangan mikrobioma usus (disbiosis). Disbiosis dapat diakibatkan oleh kerusakan dinding usus (leaky gut) dan disregulasi sistem kekebalan mukosa.

Ketika dinding usus rusak, maka bahan kimia yang masuk tubuh akan lebih mudah terdistribusi ke aliran darah. Hal ini dapat memicu respons kekebalan yang berakibat peradangan kronis, stres oksidatif, dan kerusakan jaringan. Pada gilirannya, disregulasi sistem kekebalan mukosa dapat memperburuk kondisi ini, yang menyebabkan respons imun menjadi hiperaktif. Sistem imun pada kondisi ini tidak hanya menargetkan bahan kimia berbahaya saja, tetapi juga sel dan jaringan sehat.

Kondisi tersebut berpotensi memicu atau memperparah penyakit autoimun. Oleh karena itu, bahan kimia berbahaya dapat memiliki efek berjenjang. Mulai dari terganggunya kesehatan usus, kemudian terjadi ketidakkeseimbangan sistem kekebalan tubuh, dan pada akhirnya berpotensi terhadap timbulnya atau perkembangan penyakit autoimun.

Saat ini sudah banyak peneliti yang mengevaluasi dampak bahan kimia dalam produk sehari-hari terhadap perkembangan penyakit autoimun. Berikut ini akan dibahas pengaruh bahan kimia tertentu terhadap penyakit autoimun.

1. Aluminium

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi deodoran (unsplash.com/No Revisions)

Aluminium merupakan salah satu unsur logam yang umum ditemukan di kerak Bumi dan banyak dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Aluminium merupakan elemen non esensial dalam tubuh dan akumulasi jangka panjang dapat mempengaruhi beberapa fungsi organ. Seberapa besar dampak aluminium bagi tubuh tergantung pada kadar aluminium, lama waktu paparan dan cara paparan terhadap logam ini.

Senyawa aluminium biasanya dapat ditemukan sebagian besar dalam produk deodoran dan antiperspiran. Senyawa ini sengaja ditambahkan untuk menghambat keluarnya keringat ke permukaan kulit dan mencegah bakteri.

Beberapa penelitian menyatakan bahwa aluminium yang terpapar setiap hari pada ketiak dapat diserap DNA yang masuk melalui kulit, sehingga memengaruhi hormon estrogen. Hormon estrogen merupakan immuno-enchancing yang dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh.

Pada bidang pangan tahun 1989, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Badan Pangan dan Pertanian (FAO) secara resmi mengakui aluminium sebagai kontaminan pangan.

Berdasarkan keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.492/MENKES/PER/IV/2010, kadar alumunium pada air bersih yaitu 0,2 mg/l. Aluminium dalam tubuh dapat memengaruhi sistem kekebalan tubuh dan menyebabkan imunotoksisitas.

Sebuah studi menyatakan bahwa akumulasi jangka panjang dapat memicu atau memperparah penyakit autoimun. Paparan dalam kadar yang tinggi atau jangka waktu lama menyebabkan kompleks imun yang bersirkulasi meningkat, sementara fungsi kekebalan sel darah merah menurun. Akibatnya, terjadi penurunan kapasitas kompleks imun yang bersirkulasi. Paparan aluminium dalam jangka waktu panjang juga dapat menghambat fungsi kekebalan sel T. Hal ini berhubungan dengan kekebalan humoral, yang mana paparan aluminium dapat menurunkan imunoglobin (IgM) dalam darah (Biological Trace Element Research, 2021).

2. BPA

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi wadah makanan (unsplash.com/S'well)

Bisphenol A (BPA) merupakan monomer yang umum ditemukan pada barang-barang plastik polikarbonat. BPA dapat ditemukan dalam berbagai bentuk produk plastik di industri makanan dan elektronik, serta dalam berbagai jenis barang konsumsi yang umum digunakan, seperti wadah plastik, perkakas, mainan, botol air, dan kertas faks.

BPA telah terbukti sebagai bahan yang mudah larut dalam produk. BPA dalam wadah sangat berisiko apabila terkena panas atau asam. Ini karena zat tersebut akan melepaskan racun ke dalam makanan atau minuman. Sebagai contoh, memanaskan makanan dalam plastik dalam microwave atau menyiapkan makanan dalam kondisi panas dalam wadah plastik juga akan menghasilkan jumlah BPA yang lebih tinggi.

Penggunaan produk yang mengandung BPA dapat mengakibatkan gangguan pada sistem endokrin. Selain itu, bahan kimia ini juga dapat menghambat kerja estrogen di sel, sehingga sangat berisiko terhadap gangguan autoimun tiroid seperti penyakit Graves, tiroiditis Hashimoto, dan lainnya.

Studi yang mengeksplorasi dampak BPA menyebutkan bahwa bahan kimia ini mempunyai peran dalam patogenesis autoimunitas. Lebih mendalam, disebutkan dampak BPA yang dapat memicu hiperproaktinemia, sel imun estrogenik, gangguan enzim sitokrom P450, perubahan jalur transduksi sinyal imun, polarisasi sitokin, aktivasi aril hidrokarbon reseptor Th-17, mimikri molekuler, aktivasi makrofag, aktivasi lipopolisakarida, dan patofisiologi imunoglobulin (Autoimmune Diseases, 2014).

Baca Juga: 7 Gejala Penyakit Autoimun yang Paling Umum, Penting Diketahui!

3. Dioksin

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi polusi udara dari asap kendaraan (unsplash.com/Refhad)

Dioksin merupakan istilah untuk menyebutkan sekelompok zat-zat kimia berbahaya yang termasuk kelompok senyawa chlorinated dibenzo-p dioxin (CCD), chlorinated dibenzofuran (CDF), atau polychlorinated biphenyl (PCB). Senyawa-senyawa ini tersusun oleh atom karbon, hydrogen, oksigen dan klor. 

Senyawa dioksin dapat terbentuk melalui pembakaran sampah, terutama yang tidak menggunakan teknologi tinggi sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan. Dioksin juga dapat dihasilkan dari gas emisi kendaraan, asap rokok, kebakaran hutan, dan sejenisnya.

Dioksin juga dapat terbentuk saat proses pemutihan bubur kertas sebagai impurity pada produksi senyawa klorinat organik. Pada proses ini umumnya menggunakan bahan pemutih yang mengandung klorin. Senyawa klorin tersebut kemudian akan bereaksi dengan senyawa organik untuk membentuk dioksin.

Zat dioksin telah banyak dievaluasi sebagai salah satu penyebab autoimunitas baik pada hewan maupun manusia. Sebuah studi melaporkan bahwa dioksin dapat menyebabkan stres oksidatif, disregulasi sel T, dan gangguan sistem imun (The Journal of Immunology, 2016).

4. Paraben

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi kosmetik (pexels.com/freestocks.org)

Paraben adalah bahan kimia sintetis yang digunakan sebagai pengawet dalam berbagai produk sehari-hari. Penggunaannya dimaksudkan untuk mencegah pertumbuhan bakteri dan jamur yang berbahaya pada produk kosmetik, serta mecegah pembusukan pada makanan.

Sebagai pengawet, paraben memberikan umur simpan produk yang lebih lama. Paraben banyak ditemukan dalam produk kecantikan, sabun mandi, losion tubuh, sampo, deodoran, makeup, dan lain-lain.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa paraben adalah bahan kimia yang dapat menyebabkan masalah pada sistem endokrin. Bahan ini akan menempel pada sel-sel dalam tubuh sehingga memicu pemblokiran atau perubahan fungsi hormon. Perubahan fungsi hormon ini selanjutnya dapat meningkatkan risiko kondisi lainnya seperti perubahan fungsi otak, gula darah tinggi, perubahan hormon tiroid, fungsi imunitas menurun, terjadi sensitivitas, alergi dan ruam, serta kanker.

Food and Drug Administration (FDA) dan Cosmetic Ingredient Review (CIR) telah menguji keamanan paraben dalam makanan dan kosmetik. Dikatakan bahwa penggunaan metil dan propilparaben hingga 0,1 persen aman untuk makanan dan minuman. Untuk kosmetik, paraben aman pada dosis hingga 25 persen. Pada produk kosmetik biasanya mengandung paraben antara 0,01 hingga 0,3 persen.

5. Phthalate

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi mencuci tangan dengan sabun (freepik.com/freepik)

Phthalate atau ester ftalat merupakan bahan kimia yang umum digunakan sebagai plasticizer yang ditambahkan ke dalam plastik supaya plastik menjadi kokoh dan fleksibel.

Phthalate dapat ditemukan dalam perekat, kosmetik, wewangian, lantai vinil, pipa polivinil klorida, mainan tertentu, hingga perlengkapan medis.

Paparan phthalate pada tubuh dapat terjadi di mana-mana dan bisa berasal dari berbagai sumber, termasuk saat menghirup debu, konsumsi makanan yang terkontaminasi, dan melalui kontak kulit dengan produk perawatan.

Menurut laporan dari Centers for Disease Control and Prevention dan National Toxicology Program tahun 2000, paparan phthalate ditemukan berdampak pada gangguan asma, rinitis, dan eksem pada anak-anak serta perubahan perkembangan hormon pada bayi laki-laki. Studi dalam jurnal Environment International (2019) menunjukkan bahwa phthalate dapat memengaruhi perkembangan dan fungsi efektor sistem imunologi.

6. PFAS – PFOA/PTFE

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi penggorengan teflon (pexels.com/RDNE Stock project)

Per- and polyfluoroalkyl substance (PFAS) merupakan substansi kimia oleophobic (antiminyak) dan hydrophobic (antiair). Karena sifatnya itu PFAS banyak dimanfaatkan dalam industri elektronik, otomotif, hingga kesehatan. Pada produk sehari-hari, PFAS dapat ditemukan salah satunya pada teflon. Sejak tahun 2013, teflon tidak lagi menggunakan PFOA.

PFAS bersifat mobile karena sangat mudah larut dan menguap. Di dalam tubuh, PFAS cenderung terakumulasi terutama dalam plasma, ginjal, dan hati. PFAS dalam darah manusia sebagian besar terikat pada albumin dan dapat diangkut ke organ tubuh lainnya.

Beberapa studi telah membuktikan bahwa PFAS dapat memicu kanker ginjal dan testis, gangguan endokrin, kerusakan hati, dan memengaruhi sel kekebalan tubuh dan sistem imunitas.

7. Glifosat

Pengaruh Bahan Kimia Tertentu terhadap Penyakit Autoimunilustrasi menyemprot tanaman (pexels.com/Tima Miroshnichenko)

Glifosat merupakan bahan kimia aktif dalam herbisida roundup. Bahan kimia ini biasanya disemprotkan pada jagung transgenik, kedelai, kapas, gula, dan kanola sebagai pembunuh gulma. Petani mengandalkan ini karena efektivitasnya dalam memberantas gulma.

Bahaya glifosat masih menjadi perdebatan dalam beberapa studi. Glifosat dianggap hampir tidak berbahaya bagi manusia karena herbisida ini berspektrum luas. Namun, menurut Anthony Samsel dan Stephanie Seneff yang merupakan ilmuwan dan konsultan independen dari Deerfield, Amerika Serikat (AS), glifosat menjadi penyebab utama epidemi obesitas dan autisme di AS. Disebutkan bahwa beberapa kondisi seperti Alzheimer, Parkinson, infertilitas, depresi, dan kanker dapat terjadi akibat paparan glifosat.

Sebuah studi dalam Journal of Crop and Weed (2009) mengenai paparan glifosat menggunakan hewan model ikan karnivora. Glifosat ditemukan dapat mengganggu pemecahan protein kompleks di perut yang kemudian akan memicu respons autoimun. Selanjutnya menyebabkan kerusakan pada lapisan dinding usus kecil. Kondisi ini berkaitan dengan penyakit seliak.

Baca Juga: Penyakit Celiac: Penyebab, Gejala, Diagnosis, dan Pengobatan

Niko Utama Photo Writer Niko Utama

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Nurulia

Berita Terkini Lainnya