6 Film Horor Terburuk 2024 Versi Rotten Tomatoes, Ada Rilisan A24!

Sepanjang 2024, sinefili dimanjakan oleh sederet film berkualitas, baik di bioskop maupun di platform streaming. Dari beragam genre yang ditawarkan, terdapat film horor yang terus menawarkan inovasi dalam menakut-nakuti penonton setiap tahunnya.
Tahun ini, sejumlah judul, seperti Late Night with the Devil, Oddity, The Substance, Longlegs, sampai Exhuma berhasil keluar sebagai unggulan berkat pendekatannya yang unik. Namun, tak semua film horor mendapat apresiasi serupa. Beberapa justru meraih skor rendah di berbagai situs ulasan film, termasuk Rotten Tomatoes, yang terkenal ketat dalam penilaiannya.
Ingin tahu lebih lanjut? Berikut daftar enam film horor yang dibombardir kritik tajam sepanjang tahun ini. Selain eksekusi yang kurang matang, banyak alasan yang membuat film-film ini gagal memenuhi ekspektasi para kritikus.
1. Never Let Go — 56 persen

Never Let Go disutradarai oleh Alexandre Aja, yang sebelumnya pernah menggarap film-film horor sukses, seperti The Hills Have Eyes (2006) dan Crawl (2019). Namun, alih-alih mengulang kesuksesan tersebut, Never Let Go justru menjadi sebuah kekecewaan besar bagi para penggemar horor di tahun ini.
Ceritanya berlatar di dunia pasca-apokaliptik, di mana seorang ibu paranoid (Halle Berry) tinggal terisolasi di sebuah kabin bersama dua putra kembarnya. Mereka hidup dalam ketakutan akan kehadiran kekuatan jahat yang mengintai di luar rumah. Untuk menjaga keselamatan keluarga, sang ibu menerapkan aturan ketat yang membatasi pergerakan mereka.
Meski premisnya menarik, sayangnya, film ini gagal memberikan penjelasan yang memuaskan tentang misteri yang menyelimuti keluarga tersebut. Alur cerita yang membingungkan dan penuh teka-teki membuat penonton merasa frustrasi. Yang lebih mengecewakan lagi, akting para pemain, termasuk Halle Berry, dinilai kurang maksimal oleh sejumlah kritikus.
2. The Seeding — 56 persen

Rilis sejak 26 Januari lalu, The Seeding mengisahkan tentang seorang pendaki yang terjebak di gurun pasir dan bertemu dengan sekelompok anak-anak misterius. Film ini dimulai dengan adegan yang cukup mengerikan, yaitu seorang anak kecil yang memakan jari manusia. Namun, setelah itu, film garapan Barnaby Clay ini seolah kehilangan arah.
Salah satu masalah utama The Seeding adalah karakterisasi yang lemah. Karakter utama, Wyndham (Scott Haze), tak memiliki motivasi dan emosi yang jelas, sehingga sulit untuk membuat penonton berempati terhadapnya. Selain itu, karakter-karakter lain, terutama sekelompok anak-anak misterius, terasa seperti sebuah gimmick tanpa adanya pengembangan karakter yang berarti.
3. Lisa Frankenstein — 52 persen

Lisa Frankenstein adalah film pertama yang ditulis oleh Diablo Cody, pemenang Oscar untuk Best Original Screenplay lewat Juno (2007), dalam 6 tahun terakhir setelah Tully (2018). Film ini mengikuti kisah Lisa (Kathryn Newton), seorang remaja yang terobsesi dengan pemakaman. Setelah kejadian aneh di sebuah pemakaman, Lisa secara tak sengaja menghidupkan kembali sesosok mayat pria dari era Victoria (Cole Sprouse).
Secara visual, debut penyutradaraan Zelda Williams ini sangat menarik. Film ini berusaha memadukan elemen-elemen horor klasik ala Frankenstein dengan sentuhan komedi era 80-an. Namun, Lisa Frankenstein dinilai gagal mencapai keseimbangan antara horor dan komedi, sehingga hasil akhirnya terasa canggung dan tidak konsisten.
Menariknya, walau mendapatkan ulasan negatif dari kritikus, film ini meraih Popcornmeter yang sangat tinggi dari audiens, yakni sebesar 81 persen. Banyak penonton yang memuji chemistry antara Newton dan Sprouse, yang berhasil membawa kehangatan di tengah narasi yang kacau.
4. The Front Room — 40 persen

Selama ini, A24 memang dikenal sebagai studio yang kerap menghasilkan film-film horor bermutu tinggi dan inovatif. Meski demikian, ada beberapa film mereka yang kurang berhasil, termasuk The Front Room yang menjadi debut penyutradaraan dari Max dan Sam Eggers, adik dari Robert Eggers (The Witch).
The Front Room mengusung cerita tentang Belinda (Brandy), seorang profesor kulit hitam yang sedang hamil, dan suaminya, Norman (Andrew Burnap). Kehidupan mereka berubah drastis ketika ibu tiri Norman, Solange (Kathryn Hunter), pindah ke rumah mereka. Solange yang berperilaku rasis dan fanatik mulai membuat suasana rumah menjadi tegang.
Sebagai aktris senior, Hunter tampil memukau dengan perannya sebagai Solange. Namun, hal itu tak cukup untuk menyelamatkan film ini. The Front Room justru terlihat seperti sebuah upaya setengah matang dalam mengawinkan elemen horor dan satire, dan berakhir sebagai parodi Get Out (2017) daripada sebuah karya yang serius.
5. Founders Day — 46 persen

Film slasher adalah salah satu subgenre horor yang paling digemari oleh penonton. Dengan cerita yang sederhana, film jenis ini tak membutuhkan plot yang rumit. Sebagai gantinya, penonton mengharapkan ketegangan, kejutan, dan tentunya, kematian karakter yang brutal. Namun, Founders Day, karya terbaru Erik Bloomquist setelah She Came from the Woods (2022), justru mengabaikan elemen-elemen penting tersebut.
Founders Day mencoba menggabungkan nuansa slasher klasik dengan sentuhan politik, tetapi hasilnya malah mengganggu dan kurang efektif. Penampilan pembunuh berantai yang mengenakan kostum ala founding father terasa konyol alih-alih menambah kesan seram. Selain itu, subplot tentang pemilihan walikota yang seharusnya menambah ketegangan, juga terasa dipaksakan dan tidak relevan.
6. Winnie the Pooh: Blood and Honey II — 46 persen

Selepas kesuksesan komersial Winnie-the-Pooh: Blood and Honey (2023), tak butuh waktu lama bagi sang sutradara, Rhys Frake-Waterfield, untuk merilis sekuelnya, Winnie the Pooh: Blood and Honey II. Film ini kembali menampilkan aksi brutal Pooh dan Piglet yang meneror Hundred Acre Wood. Kali ini, mereka tak hanya berdua; Tigger dan Owl yang sama-sama haus darah turut bergabung.
Setali tiga uang dengan Lisa Frankenstein, angsuran kedua dalam The Twisted Childhood Universe (TCU) ini juga meraih Popcornmeter yang cukup solid, yaitu 74 persen. Banyak penggemar merasa bahwa Winnie the Pooh: Blood and Honey II jauh lebih baik dari pendahulunya. Mereka memuji peningkatan kualitas produksi dan desain monster yang lebih superior.
Namun, tentu saja banyak kritikus yang tak sependapat dengan hal ini. Mereka menyebut Winnie the Pooh: Blood and Honey II sebagai tontonan yang hanya mengandalkan shock value dan mengulang formula horor yang membosankan seperti film sebelumnya.
Dari karya A24 hingga film slasher bertema politik, deretan film horor di atas membuktikan bahwa genre ini tak pernah kehabisan ide. Sayangnya, tak semua ide tersebut berhasil dieksekusi dengan baik.
Apakah kamu pernah menonton salah satunya? Atau mungkin kamu punya pendapat berbeda mengenai film-film tersebut? Yuk, share di kolom komentar!